PNS Tak ke Kantor, Harus Berbasis Kinerja dan Orientasi Hasil
A
A
A
JAKARTA - Wacana mengenai PNS kerja di luar kantor yang dilemparkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mendapat tanggapan dari pakar kebijakan publik. Pakar kebijakan publik UGM Wahyudi Kumorotomo menilai cukup menarik Bappenas menerapkan kebijakan yang memungkinkan ASN bekerja dari rumah. Terutama untuk para staf di Bappenas yang lebih membutuhkan profesionalisme dan kinerja berdasarkan output dan outcome. “Ketimbang sibuk proses bekerja di kantor, barangkali memang lebih cocok untuk tidak harus menerapkan kehadiran di kantor dan disiplin kaku melalui presensi di kantor,” ujar dia.
Dalam pandangannya, daripada para pegawai stres karena terjebak macet atau check-clock di kantor tetapi sekadar untuk mengisi presensi dan tidak benar-benar bekerja secara profesional, lebih baik mengakomodasi para pegawai untuk bekerja di mana saja, yang penting target pekerjaan dan kinerjanya tetap terpenuhi.
Menurut dia, skema ini tepatuntuk jenis-jenis pekerjaan seperti drafting, akuntansi biaya, programming, pembuatan visua lisasi spasial, dan sebagainya yang biasanya dilakukan dalam perencanaan. Memang untuk jenis-jenis pekerjaan yang disebutkan itu banyak yang bisa dikerjakan di rumah atau di mana saja yang memiliki akses komputer dan internet.
“Tapi juga perlu diingat bahwa tidak semua pekerjaan dapat dilakukan di rumah dan tidak mungkin semua hal dikerjakan di rumah tanpa mengomunikasikan dan mendiskusikan secara langsung dengan rekan sekerja di kantor,” tandas Wahyudi.
Dia kemudian memaparkan sejumlah persoalan yang harus diantisipasi para pejabat penilai PNS mengenai implementasi kebijakan dimaksud. Pertama, semua unit di kantor hendaknya paham bahwa sistem penilaian kinerja baru menghendaki pemikiran performance-base devaluation.
“Jadi bukan berarti bahwa kalau ASN boleh bekerja dirumah, lalu mereka seenaknya melakukan banyak pekerjaan sampingan yang akhirnya target kinerja tidak terpenuhi. Indikator kinerja tetap harus jelas meskipun soal presensi menjadi fleksibel dan tidak berdasarkan kehadiran di kantor,” jelasnya.
Kedua, sistem kehadiran yang fleksibel menuntut penilaian yang objektif, fair, dan sekaligus transparan bagi para pegawai yang bekerja dari rumah. Saat ini, kata dia, masih ba nyak pejabat yang menganggapkehadiran adalah hal yang pa -ling pokok dalam menilai kinerja PNS. “Ini yang harus diubah. Bahkan peraturan tentang SKP(sistem kinerja pegawai) dalam PP Nomor 30/2019 tentang Penilaian Kinerja (terutama Pasal 39) masih menetapkan bahwa sebagian besar penilaian pegawai ditentukan oleh atasanlangsung,” beber guru besar Fisipol UGM itu.
Kemudian yang ketiga, uji coba untuk mengakomodasi para PNS bekerja dari rumah ini akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Untuk itu perlu di pertimbangkan untuk segera mengubah beberapa peraturan tentang disiplin pegawai negeri sipil yang termuat dalam PP Nomor53/2010. Sebagai contoh, Pasal 9 ayat (11) dari PP ini masihmengatakan bahwa para pegawai yang tidak memenuhi syarat kehadiran di kantor bisa dikenaisanksi berupa hukuman disiplin.Hal ini, lanjutnya, tidak cocok dengan gagasan penilaian kinerja yang mengakomodasipresensi yang fleksibel. “Pada intinya penerapan sistem ke hadiran di kantor merupakan tuntutan perkembangan za man karena ketersediaan teknologi memang memungkinkan sistem yang lebih mengedepankan profesionalisme ketimbang disiplin kaku. Tapi ketika kebijakan itu diterapkan secara luas, perlu disiapkan perangkat peraturan yang jelas dan semua kemungkinan kegagalan implementasi perlu di -antisipasi sejak dini,” sebutnya.
Senada, pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Asep Sumaryana mengatakan, rencana pemerintah mengubah cara kerjaPNS dari kantor ke rumah, mengindikasikan adanya orientasi pada output atau hasil. Kinerja mereka akan diukurber dasarkan hasil yang diraih.
“Arahnya memang akan dilihat berdasarkan output (hasil). Jadi lebih pada di hasilnya, bukan prosesnya. Nanti bisa dipantau seperti apa hasil kerjanya dalam waktu tertentu. Kalau perilaku tidak bisa dikontrol,” kata Asep.
Menurut dia, penerapan kebijakan PNS bisa bekerja dirumah yang bakal dilakukan pertama kali oleh Bappenas mesti dievaluasi hasilnya, apakah hasilnya nanti sama dengan yang dikerjakan di kantor, atau lebih baik lagi. Kalau lebih baik, bisa dikembangkan ke instansi lainnya.
Karena, menurut Asep, ada beberapa keuntungan didapat ketika PNS bekerja di rumah. Diantaranya dapat mengurangi kemacetan lalu lintas, mengurangi penggunaan ruang, dan lainnya. Tapi, kata dia, kebijakan itu tidak bisa dilakukan serta-merta, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan terencana.
Dia lantas mengingatkan,tidak semua pekerjaan PNS bisadikerjakan di rumah sepertiyang berkaitan dengan pelayanan publik. “Kalau berhubungan dengan pekerjaan perencanaan, itu bisa tidak dikantor. Sementara yang tidak bisa adalah yang berhubungandengan pelayanan publik. Walaupun tidak semua, misalnya pelayanan bank itu bisa fleksibel,” beber dia.
Selain itu, dia mengingatkan, bila ingin menerapkan konsep PNS kerja di rumah, pemerintah mesti melihat kesiapan SDM aparatur sipilnya. Di antaranya apakah mereka siap secara sarana dan prasarana. Karena mereka harus memiliki kesiapan peralatan seperti laptop, listrik, dan peralatan lain. (Suharjono/Arif Budianto/Agus Warsudi)
Dalam pandangannya, daripada para pegawai stres karena terjebak macet atau check-clock di kantor tetapi sekadar untuk mengisi presensi dan tidak benar-benar bekerja secara profesional, lebih baik mengakomodasi para pegawai untuk bekerja di mana saja, yang penting target pekerjaan dan kinerjanya tetap terpenuhi.
Menurut dia, skema ini tepatuntuk jenis-jenis pekerjaan seperti drafting, akuntansi biaya, programming, pembuatan visua lisasi spasial, dan sebagainya yang biasanya dilakukan dalam perencanaan. Memang untuk jenis-jenis pekerjaan yang disebutkan itu banyak yang bisa dikerjakan di rumah atau di mana saja yang memiliki akses komputer dan internet.
“Tapi juga perlu diingat bahwa tidak semua pekerjaan dapat dilakukan di rumah dan tidak mungkin semua hal dikerjakan di rumah tanpa mengomunikasikan dan mendiskusikan secara langsung dengan rekan sekerja di kantor,” tandas Wahyudi.
Dia kemudian memaparkan sejumlah persoalan yang harus diantisipasi para pejabat penilai PNS mengenai implementasi kebijakan dimaksud. Pertama, semua unit di kantor hendaknya paham bahwa sistem penilaian kinerja baru menghendaki pemikiran performance-base devaluation.
“Jadi bukan berarti bahwa kalau ASN boleh bekerja dirumah, lalu mereka seenaknya melakukan banyak pekerjaan sampingan yang akhirnya target kinerja tidak terpenuhi. Indikator kinerja tetap harus jelas meskipun soal presensi menjadi fleksibel dan tidak berdasarkan kehadiran di kantor,” jelasnya.
Kedua, sistem kehadiran yang fleksibel menuntut penilaian yang objektif, fair, dan sekaligus transparan bagi para pegawai yang bekerja dari rumah. Saat ini, kata dia, masih ba nyak pejabat yang menganggapkehadiran adalah hal yang pa -ling pokok dalam menilai kinerja PNS. “Ini yang harus diubah. Bahkan peraturan tentang SKP(sistem kinerja pegawai) dalam PP Nomor 30/2019 tentang Penilaian Kinerja (terutama Pasal 39) masih menetapkan bahwa sebagian besar penilaian pegawai ditentukan oleh atasanlangsung,” beber guru besar Fisipol UGM itu.
Kemudian yang ketiga, uji coba untuk mengakomodasi para PNS bekerja dari rumah ini akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Untuk itu perlu di pertimbangkan untuk segera mengubah beberapa peraturan tentang disiplin pegawai negeri sipil yang termuat dalam PP Nomor53/2010. Sebagai contoh, Pasal 9 ayat (11) dari PP ini masihmengatakan bahwa para pegawai yang tidak memenuhi syarat kehadiran di kantor bisa dikenaisanksi berupa hukuman disiplin.Hal ini, lanjutnya, tidak cocok dengan gagasan penilaian kinerja yang mengakomodasipresensi yang fleksibel. “Pada intinya penerapan sistem ke hadiran di kantor merupakan tuntutan perkembangan za man karena ketersediaan teknologi memang memungkinkan sistem yang lebih mengedepankan profesionalisme ketimbang disiplin kaku. Tapi ketika kebijakan itu diterapkan secara luas, perlu disiapkan perangkat peraturan yang jelas dan semua kemungkinan kegagalan implementasi perlu di -antisipasi sejak dini,” sebutnya.
Senada, pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Asep Sumaryana mengatakan, rencana pemerintah mengubah cara kerjaPNS dari kantor ke rumah, mengindikasikan adanya orientasi pada output atau hasil. Kinerja mereka akan diukurber dasarkan hasil yang diraih.
“Arahnya memang akan dilihat berdasarkan output (hasil). Jadi lebih pada di hasilnya, bukan prosesnya. Nanti bisa dipantau seperti apa hasil kerjanya dalam waktu tertentu. Kalau perilaku tidak bisa dikontrol,” kata Asep.
Menurut dia, penerapan kebijakan PNS bisa bekerja dirumah yang bakal dilakukan pertama kali oleh Bappenas mesti dievaluasi hasilnya, apakah hasilnya nanti sama dengan yang dikerjakan di kantor, atau lebih baik lagi. Kalau lebih baik, bisa dikembangkan ke instansi lainnya.
Karena, menurut Asep, ada beberapa keuntungan didapat ketika PNS bekerja di rumah. Diantaranya dapat mengurangi kemacetan lalu lintas, mengurangi penggunaan ruang, dan lainnya. Tapi, kata dia, kebijakan itu tidak bisa dilakukan serta-merta, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan terencana.
Dia lantas mengingatkan,tidak semua pekerjaan PNS bisadikerjakan di rumah sepertiyang berkaitan dengan pelayanan publik. “Kalau berhubungan dengan pekerjaan perencanaan, itu bisa tidak dikantor. Sementara yang tidak bisa adalah yang berhubungandengan pelayanan publik. Walaupun tidak semua, misalnya pelayanan bank itu bisa fleksibel,” beber dia.
Selain itu, dia mengingatkan, bila ingin menerapkan konsep PNS kerja di rumah, pemerintah mesti melihat kesiapan SDM aparatur sipilnya. Di antaranya apakah mereka siap secara sarana dan prasarana. Karena mereka harus memiliki kesiapan peralatan seperti laptop, listrik, dan peralatan lain. (Suharjono/Arif Budianto/Agus Warsudi)
(nfl)