Milenial Diminta Kritis Lawan Propaganda Radikalisme
A
A
A
JAKARTA - Terorisme merupakan aksi yang tidak terjadi secara tiba-tiba. Tahapan seseorang memilih jalan kekerasan adalah diawali dengan terkontaminasi doktrin radikalisme.
Karena itu, menyelamatkan bangsa dari aksi terorisme sejalan dengan pentingnya menyelamatkan anak bangsa dari "virus" dan doktrin intoleransi, kebencian dan ajakan kekerasan yang bisa menyasar siapapun dan di manapun.
“Paham-paham radikalisme ini banyak bertebaran di media sosial (medsos) walaupun offline juga ada. Nah anak muda sebagai generasi milenial kan tidak bisa jauh dari yang namanya media sosial (medsos) sehingga kita anak-anak muda harus bisa membentengi diri ketika bermain medsos. Salah satu caranya berpikir kritis, meningkatkan critical thinking kita. Jadi kalau ada narasi-narasi yang agak aneh, menyebar kebencian, itu kita kritisi dulu, benar gak sih,” ujar mantan returnis ISIS, Nurshadrina Khaira Dhania di Jakarta, Rabu 20 November 2019.
Seperti diketahui, Nursadrina Khaira Dhaina pernah terpapar ideologi dan rayuan paham ISIS melalui medsos saat berada di bangku SMA.
Dia bahkan mengajak belasan keluarganya, termasuk ayah, ibu, kakak, adik, nenek, paman, dan lain-lain, pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS pada 2016 silam. Namun harapannya untuk hidup di negeri khilafah ternyata hanya mimpi belaka.
Di sana, Dhania dan keluarganya hidup tersiksa dengan kesadisan ISIS. Janji-janji manis yang pernah dibayangkan pun tak terbukti. Setiap hari dia dipaksa melihat kekerasan dan pembunuhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Beruntung, Dhania dan keluarganya bisa melarikan diri keluar dari Suriah dan kemudian berhasil dipulangkan oleh pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2017 lalu.
Dari pengalaman pahit itu, Dhania meminta generasi muda Indonesia untuk benar-benar mewaspadai apa pun bentuk propaganda yang dilakukan kelompok ISIS dan radikalisme lainnya. Dia bahkan menggarisbawahi terkait narasi-narasi yang menggunakan dalil-dalil agama.
“Dalam surat Al-Hujurat ayat 6 sendiri kan Tuhan memerintahkan kita untuk selalu memeriksa berita yang datang kepada kita agar tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan kita. Setelah itu kita bertanya kepada orang-orang yang lebih mengetahui, apakah itu aparat pemerintahan atau kepada alim ulama,” tutur gadis berumur 20 tahun itu.
Dhania mengatakan, sulit untuk mengetahui ciri-ciri orang yang menyebarkan radikalisme karena hal itu berkaitan dengan paham atau ideologi yang ada di kepala.
“Kita tidak bisa menilai seseorang terkena paham radikalisme dari fisiknya saja, apa dia berjenggot atau pakai celana cingkrang. Kita baru bisa mengetahuinya ketika kita berbincang dengan mereka atau dengan melihat tulisan-tulisannya di medsos,” ungkap Dhania.
Dia mengungkapkan, biasanya mereka yang terpapar paham radikal merasa dirinya paling benar yang lainnya salah. Biasanya juga setuju kepada tindakan-tindakan kekerasan. Lalu ketika ada kelompok lain yang menyampaikan argumen tidak mau didengarkan
Menurut dia, radikalisme bisa muncul karena pemahaman agamanya yang kurang. Padahal seharusnya jika dipelajari lebih dalam ternyata tidak seperti itu.
“Dengan kita mendalaminya, jadi lebih paham sehingga nanti ketika kita bertemu orang baik di offline maupun bertemu narasi-narasi berita di online kita bisa mengetahui kalau ada yang menggunakan dalil a, dalil b hanya untuk kepentingan mereka. Karena mereka ambil dalilnya ada satu ayat dicomot kemudian dibuat doktrin. Padahal sebenarnya Tuhan menjelaskan bahwa ayat-ayatnya itu saling menjelaskan satu sama lain," tuturnya.
Dhania juga menuturkan sulit untuk menghapus narasi radikalisme di medsos karena mereka bisa saja membuat akun lagi meskipun sudah pernah dihapus sebelumnya.
Menurut dia, pemerintah berperan penting tidak hanya untuk melakukan kontra narasi tetapi juga bisa membuat sosialisasi kepada masyarakat sehingga bisa memberdayakan masyarakat untuk melakukan pencegahan di lingkungan sekitarnya.
“Harus ada kolaborasi antara pemerintah, organisasi sosial dan juga masyarakat. Selain itu bisa juga dengan menampilkan orang-orang yang pernah terkena paham radikalisme ini untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa bahaya radikalisme ini memang nyata adanya dan ada orang yang pernah terpapar, jadi bukan rekayasa atau buatan dari pemerintah atau pihak mana pun,” tuturnya.
Saat ini, Dhania aktif menyebarkan narasi-narasi Islam yang damai serta kontra narasi melawan propaganda radikalisme baik melalui media online maupun medsos. Menurutnya, ini dilakukan karena harus ada narasi-narasi pembanding untuk melawan propaganda radikalisme.
“Kita mencoba terus campaign-campaign dan tidak dengan memojokkan. Biasanya orang yang ilmu agamanya rendah dan dia mencari agamanya untuk pertobatan jangan kita malah salah-salahkan justru harusnya kita rangkul,” tutur Dhania.
Karena itu, menyelamatkan bangsa dari aksi terorisme sejalan dengan pentingnya menyelamatkan anak bangsa dari "virus" dan doktrin intoleransi, kebencian dan ajakan kekerasan yang bisa menyasar siapapun dan di manapun.
“Paham-paham radikalisme ini banyak bertebaran di media sosial (medsos) walaupun offline juga ada. Nah anak muda sebagai generasi milenial kan tidak bisa jauh dari yang namanya media sosial (medsos) sehingga kita anak-anak muda harus bisa membentengi diri ketika bermain medsos. Salah satu caranya berpikir kritis, meningkatkan critical thinking kita. Jadi kalau ada narasi-narasi yang agak aneh, menyebar kebencian, itu kita kritisi dulu, benar gak sih,” ujar mantan returnis ISIS, Nurshadrina Khaira Dhania di Jakarta, Rabu 20 November 2019.
Seperti diketahui, Nursadrina Khaira Dhaina pernah terpapar ideologi dan rayuan paham ISIS melalui medsos saat berada di bangku SMA.
Dia bahkan mengajak belasan keluarganya, termasuk ayah, ibu, kakak, adik, nenek, paman, dan lain-lain, pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS pada 2016 silam. Namun harapannya untuk hidup di negeri khilafah ternyata hanya mimpi belaka.
Di sana, Dhania dan keluarganya hidup tersiksa dengan kesadisan ISIS. Janji-janji manis yang pernah dibayangkan pun tak terbukti. Setiap hari dia dipaksa melihat kekerasan dan pembunuhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Beruntung, Dhania dan keluarganya bisa melarikan diri keluar dari Suriah dan kemudian berhasil dipulangkan oleh pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2017 lalu.
Dari pengalaman pahit itu, Dhania meminta generasi muda Indonesia untuk benar-benar mewaspadai apa pun bentuk propaganda yang dilakukan kelompok ISIS dan radikalisme lainnya. Dia bahkan menggarisbawahi terkait narasi-narasi yang menggunakan dalil-dalil agama.
“Dalam surat Al-Hujurat ayat 6 sendiri kan Tuhan memerintahkan kita untuk selalu memeriksa berita yang datang kepada kita agar tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan kita. Setelah itu kita bertanya kepada orang-orang yang lebih mengetahui, apakah itu aparat pemerintahan atau kepada alim ulama,” tutur gadis berumur 20 tahun itu.
Dhania mengatakan, sulit untuk mengetahui ciri-ciri orang yang menyebarkan radikalisme karena hal itu berkaitan dengan paham atau ideologi yang ada di kepala.
“Kita tidak bisa menilai seseorang terkena paham radikalisme dari fisiknya saja, apa dia berjenggot atau pakai celana cingkrang. Kita baru bisa mengetahuinya ketika kita berbincang dengan mereka atau dengan melihat tulisan-tulisannya di medsos,” ungkap Dhania.
Dia mengungkapkan, biasanya mereka yang terpapar paham radikal merasa dirinya paling benar yang lainnya salah. Biasanya juga setuju kepada tindakan-tindakan kekerasan. Lalu ketika ada kelompok lain yang menyampaikan argumen tidak mau didengarkan
Menurut dia, radikalisme bisa muncul karena pemahaman agamanya yang kurang. Padahal seharusnya jika dipelajari lebih dalam ternyata tidak seperti itu.
“Dengan kita mendalaminya, jadi lebih paham sehingga nanti ketika kita bertemu orang baik di offline maupun bertemu narasi-narasi berita di online kita bisa mengetahui kalau ada yang menggunakan dalil a, dalil b hanya untuk kepentingan mereka. Karena mereka ambil dalilnya ada satu ayat dicomot kemudian dibuat doktrin. Padahal sebenarnya Tuhan menjelaskan bahwa ayat-ayatnya itu saling menjelaskan satu sama lain," tuturnya.
Dhania juga menuturkan sulit untuk menghapus narasi radikalisme di medsos karena mereka bisa saja membuat akun lagi meskipun sudah pernah dihapus sebelumnya.
Menurut dia, pemerintah berperan penting tidak hanya untuk melakukan kontra narasi tetapi juga bisa membuat sosialisasi kepada masyarakat sehingga bisa memberdayakan masyarakat untuk melakukan pencegahan di lingkungan sekitarnya.
“Harus ada kolaborasi antara pemerintah, organisasi sosial dan juga masyarakat. Selain itu bisa juga dengan menampilkan orang-orang yang pernah terkena paham radikalisme ini untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa bahaya radikalisme ini memang nyata adanya dan ada orang yang pernah terpapar, jadi bukan rekayasa atau buatan dari pemerintah atau pihak mana pun,” tuturnya.
Saat ini, Dhania aktif menyebarkan narasi-narasi Islam yang damai serta kontra narasi melawan propaganda radikalisme baik melalui media online maupun medsos. Menurutnya, ini dilakukan karena harus ada narasi-narasi pembanding untuk melawan propaganda radikalisme.
“Kita mencoba terus campaign-campaign dan tidak dengan memojokkan. Biasanya orang yang ilmu agamanya rendah dan dia mencari agamanya untuk pertobatan jangan kita malah salah-salahkan justru harusnya kita rangkul,” tutur Dhania.
(dam)