Ai Nurhidayat Bangun Kebhinekaan lewat Kelas Multikultural
A
A
A
AI Nurhidayat memiliki cita-cita luhur yang patut diapresiasi, yakni mengenalkan keberagaman Indonesia lewat pendidikan. Dia bersama kawan-kawannya membangun kelas multikultural di SMK Bakti Parigi di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Saat ini, ketika semua orang membicarakan upaya menjaga kebhinekaan, Ai justru telah mempraktikkan konsep keberagaman itu melalui pendirian kelas multikultural di SMK Bakti Karya Parigi yang dibangun pada 2016. Baik itu dari proses perekrutan siswa, kurikulum, pendekatan budaya, hingga suasana belajar.
Ketua Yayasan Darma Bakti Karya yang menaungi SMK tersebut mengaku heran ketika dia mengajak beberapa rekannya dari Papua untuk bermain ke Pangandaran. Sebab, warga lokal terpukau dan antusias sekali berkenalan dan mengobrol dengan rekan-rekan dari Papua tersebut. Ini menunjukkan masih minimnya pengetahuan warga di kampungnya terhadap budaya luar.
“Di titik ini saya baru mikir, kita sama-sama tahu Bhineka Tunggal Ika, tahu Pancasila dan NKRI, serta juga tahu ada Papua. Tapi, kita sebatas tahu, belum mengalami interaksi dengan orang Papua,” ungkapnya.
Ai kemudian memiliki ide brilian memperkenalkan keberagaman Indonesia baik dari suku hingga budayanya melalui sekolah. Dia merekrut tidak hanya anak-anak dari Papua, namun juga dari daerah konflik untuk gabung ke sekolahnya. Ai tidak menyeleksi siswanya dari klasifikasi ekonomi atau prestasi. Tapi dia hanya ingin anak itu komitmen menyelesaikan sekolahnya selama tiga tahun di Pangandaran.
Para siswa yang direkrut inilah yang akan menjadi duta budaya dari daerah mereka. Ai mengatakan, daripada membuang uang banyak mendatangi semua daerah, lebih baik menjemput dan menyekolahkan mereka semua dalam satu sekolah.
“Konsepnya itu jangan sampai kita asing di negeri sendiri dengan sesama. Siswa pun akan toleran karena mereka menggali dan dan adaptasi satu sama lain. Hubungan pun akan terlihat dinamis karena keberagaman ini bertemu dan dirasakan (langsung) oleh mereka,” ujarnya.
Ai membuka kelas multikultural ini sejak 2016, dan hingga saat ini sudah ada 105 siswa dari empat angkatan yang telah menimba ilmu di sana. Tercatat ada 25 suku dari 20 provinsi yang sudah bergabung. Mereka semua mendapat beasiswa penuh selama tiga tahun. Mulai dari tiket pesawat, asrama, hingga makan dan minum. (Neneng Zubaidah)
Saat ini, ketika semua orang membicarakan upaya menjaga kebhinekaan, Ai justru telah mempraktikkan konsep keberagaman itu melalui pendirian kelas multikultural di SMK Bakti Karya Parigi yang dibangun pada 2016. Baik itu dari proses perekrutan siswa, kurikulum, pendekatan budaya, hingga suasana belajar.
Ketua Yayasan Darma Bakti Karya yang menaungi SMK tersebut mengaku heran ketika dia mengajak beberapa rekannya dari Papua untuk bermain ke Pangandaran. Sebab, warga lokal terpukau dan antusias sekali berkenalan dan mengobrol dengan rekan-rekan dari Papua tersebut. Ini menunjukkan masih minimnya pengetahuan warga di kampungnya terhadap budaya luar.
“Di titik ini saya baru mikir, kita sama-sama tahu Bhineka Tunggal Ika, tahu Pancasila dan NKRI, serta juga tahu ada Papua. Tapi, kita sebatas tahu, belum mengalami interaksi dengan orang Papua,” ungkapnya.
Ai kemudian memiliki ide brilian memperkenalkan keberagaman Indonesia baik dari suku hingga budayanya melalui sekolah. Dia merekrut tidak hanya anak-anak dari Papua, namun juga dari daerah konflik untuk gabung ke sekolahnya. Ai tidak menyeleksi siswanya dari klasifikasi ekonomi atau prestasi. Tapi dia hanya ingin anak itu komitmen menyelesaikan sekolahnya selama tiga tahun di Pangandaran.
Para siswa yang direkrut inilah yang akan menjadi duta budaya dari daerah mereka. Ai mengatakan, daripada membuang uang banyak mendatangi semua daerah, lebih baik menjemput dan menyekolahkan mereka semua dalam satu sekolah.
“Konsepnya itu jangan sampai kita asing di negeri sendiri dengan sesama. Siswa pun akan toleran karena mereka menggali dan dan adaptasi satu sama lain. Hubungan pun akan terlihat dinamis karena keberagaman ini bertemu dan dirasakan (langsung) oleh mereka,” ujarnya.
Ai membuka kelas multikultural ini sejak 2016, dan hingga saat ini sudah ada 105 siswa dari empat angkatan yang telah menimba ilmu di sana. Tercatat ada 25 suku dari 20 provinsi yang sudah bergabung. Mereka semua mendapat beasiswa penuh selama tiga tahun. Mulai dari tiket pesawat, asrama, hingga makan dan minum. (Neneng Zubaidah)
(nfl)