Pemerintah Diharapkan Serius Perhatikan Soal Perlindungan Satwa
A
A
A
JAKARTA - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Protection of Forest & Fauna (Profauna) mendesak pemerintahan baru Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin untuk lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa.
Komitmen dan spirit pemerintahan sebelumnya dimulai dari Era Soeharto yang menelurkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 1993 perlu dilanjutkan dengan upaya konkret yang faktual saat ini.
Chairman Profauna Rosek Nursahid menjelaskan, permasalahan perlindungan satwa memang terus berkembang dan makin membutuhkan perhatian khusus.
"Lihat saja perburuan, penangkapan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi makin masif. Ini mengancam ekosistem flora dan fauna yang menjadi perhatian global," kata Rosek Nursahid, Jumat (15/11/2019).
Menurut dia, isu-isu perburuan dan perdagangan satwa makin menunjukkan kondisi yang sudah kritis. "Ambil contoh satwa burung, beberapa jenis tertentu hampir punah karena kurangnya perhatian dari pemerintah," tegasnya.
Sebenarnya lanjut dia, komitmen pemerintah dalam melindungi satwa sudah menjadi perhatian khusus di zaman Presiden Soeharto. Di era Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
Dalam keppres itu disebutkan, tiga satwa yang dinyatakan sebagai satwa nasional yakni Komodo, Ikan Siluk Merah, dan Elang Jawa. Juga, dalam keppres tersebut dinyatakan bunga nasional yakni Melati, Anggrek Bulan, dan Padma Raksasa (Rafflesia Arnoldi).
Keppres yang ditetapkan tanggal 9 Januari 1993 dan ditandatangani langsung Oleh Soeharto itu memiliki andil besar membawa nama satwa Komodo dan bunga Rafflesia Arnoldi hingga terkenal seperti sekarang.
"Seiring perkembangan zaman, tantangan untuk melindungi satwa dan fauna juga bergeser," paparnya.
Rosek menilai, jika dahulu tantangan di era Orba adalah regulasi, sekarang di zaman ini tantangannya berupa implementasi penegakan hukum di lapangan.
"Banyak kasus yang disidangkan di pengadilan justru dijerat dengan hukuman minimal. Hal ini karena aturan kita mengatur hukuman maksimal, sehingga faktanya berbeda di lapangan," ujarnya.
Karena itu Rosek mendesak, pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi dan Ma'ruf Amin serta kalangan DPR yang baru dapat membuat regulasi baru yang mengatur hukuman minimal.
Bertepatan dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang biasa diperingati pada 5 November, Profauna mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa.
"Kami dari Profauna mendesak adanya regulasi tentang hukuman minimal 2 tahun untuk orang yang terbukti melakukan perburuan, penangkapan, serta perdagangan satwa yang dilindungi," tegasnya.
Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan di era Orde Baru, juga pernah mengisahkan perlakuan penguasa terhadap binatang. Emil mengungkapkan kisah tentang Soeharto dan penggiringan kawanan gajah agar masuk kembali ke dalam hutan.
Emil Salim menuliskan, kisah itu dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories' terbitan Gramedia, tahun 2012 silam. Emil Salim menceritakan peristiwa itu terjadi saat dia menjadi menteri yang mengawasi dan melestarikan alam.
Tiba-tiba dia mendapatkan telepon dari Palembang. Isi telepon tersebut menyatakan, para tentara yang ada di sana sedang bersiap-siap hendak menembak rombongan gajah yang 'mengamuk'.
Komitmen dan spirit pemerintahan sebelumnya dimulai dari Era Soeharto yang menelurkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 1993 perlu dilanjutkan dengan upaya konkret yang faktual saat ini.
Chairman Profauna Rosek Nursahid menjelaskan, permasalahan perlindungan satwa memang terus berkembang dan makin membutuhkan perhatian khusus.
"Lihat saja perburuan, penangkapan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi makin masif. Ini mengancam ekosistem flora dan fauna yang menjadi perhatian global," kata Rosek Nursahid, Jumat (15/11/2019).
Menurut dia, isu-isu perburuan dan perdagangan satwa makin menunjukkan kondisi yang sudah kritis. "Ambil contoh satwa burung, beberapa jenis tertentu hampir punah karena kurangnya perhatian dari pemerintah," tegasnya.
Sebenarnya lanjut dia, komitmen pemerintah dalam melindungi satwa sudah menjadi perhatian khusus di zaman Presiden Soeharto. Di era Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
Dalam keppres itu disebutkan, tiga satwa yang dinyatakan sebagai satwa nasional yakni Komodo, Ikan Siluk Merah, dan Elang Jawa. Juga, dalam keppres tersebut dinyatakan bunga nasional yakni Melati, Anggrek Bulan, dan Padma Raksasa (Rafflesia Arnoldi).
Keppres yang ditetapkan tanggal 9 Januari 1993 dan ditandatangani langsung Oleh Soeharto itu memiliki andil besar membawa nama satwa Komodo dan bunga Rafflesia Arnoldi hingga terkenal seperti sekarang.
"Seiring perkembangan zaman, tantangan untuk melindungi satwa dan fauna juga bergeser," paparnya.
Rosek menilai, jika dahulu tantangan di era Orba adalah regulasi, sekarang di zaman ini tantangannya berupa implementasi penegakan hukum di lapangan.
"Banyak kasus yang disidangkan di pengadilan justru dijerat dengan hukuman minimal. Hal ini karena aturan kita mengatur hukuman maksimal, sehingga faktanya berbeda di lapangan," ujarnya.
Karena itu Rosek mendesak, pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi dan Ma'ruf Amin serta kalangan DPR yang baru dapat membuat regulasi baru yang mengatur hukuman minimal.
Bertepatan dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang biasa diperingati pada 5 November, Profauna mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa.
"Kami dari Profauna mendesak adanya regulasi tentang hukuman minimal 2 tahun untuk orang yang terbukti melakukan perburuan, penangkapan, serta perdagangan satwa yang dilindungi," tegasnya.
Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan di era Orde Baru, juga pernah mengisahkan perlakuan penguasa terhadap binatang. Emil mengungkapkan kisah tentang Soeharto dan penggiringan kawanan gajah agar masuk kembali ke dalam hutan.
Emil Salim menuliskan, kisah itu dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories' terbitan Gramedia, tahun 2012 silam. Emil Salim menceritakan peristiwa itu terjadi saat dia menjadi menteri yang mengawasi dan melestarikan alam.
Tiba-tiba dia mendapatkan telepon dari Palembang. Isi telepon tersebut menyatakan, para tentara yang ada di sana sedang bersiap-siap hendak menembak rombongan gajah yang 'mengamuk'.
(maf)