1,3 Juta Gedung Belajar Rusak, DPR Usulkan RUU Sarpras Sekolah
A
A
A
JAKARTA - Temuan banyaknya sekolah rusak di mana 1,3 juta dari 1,8 juta bangunan sekolah rusak membuat Komisi X DPR mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Fasilitasi Sarana Prasarana Sekolah (RUU Sarpras Sekolah) agar pemerintah memiliki skema yang pasti soal perbaikan sarpras sekolah.
Namun, RUU ini masih diperdebatkan lantaran ada pemikiran apakah perlu aturan berupa UU atau dengan Instruksi Presiden (Inpres) saja sebagaimana kebijakan di era Presiden Suharto di mana Inpres dikeluarkan untuk kebutuhan kekurangan bangunan sekolah di masa itu.
"Ada setidaknya 11 RUU yang diusulkan untuk masuk prolegnas. Namun, belum diputuskan RUU mana saja yang benar-benar akan diusulkan secara resmi ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Jadi semua yang ada di prolegnas long list periode lalu hampir semuanya diajukan lagi, tapi masih menunggu sikap fraksi-fraksi pada Senin depan," kata Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Fikri menjelaskan, untuk pendidikan ada sekitar 6 RUU, 4 RUU merupakan revisi UU sebelumnya yakni UU 20/2003 tenntang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU Nomor 20/2013 Tentang Pendidikan Kedokteran.
"Ada masukan bahwa ketiga UU itu dijadikan satu sebagaimana kebijakan Presiden Jokowi untuk membuat omnibus law. Tetapi, belum ditentukan mana yang masuk prolegnas prioritas kecuali UU Sisdiknas yang usianya sudah 16 tahun. Yang jelas, banyak pertimbangan fraksi bahwa UU itu harus diubah," ucap Fikri.
Serta sambung Fikri, ada 2 RUU usulan baru yakni RUU tentang Fasilitasi Sarana dan Prasarana Pendidikan dan RUU tentang Pendidikan Kedokteran Hewan. Tetapi RUU Fasilitasi Sarpras itu masih menjadi perdebatan.
"Masih perdebatan, itu usulan dari mba Estin(My Esti Wijayanti, Anggota Fraksi PDIP)," ujarnya.
Fikri menjelaskan, usulan RUU itu didasari atas temuan Panitia Kerja (Panja) Sarpras Sekolah Komisi X periode DPR lalu yang diketuai dirinya sendiri. Di situ ditemukan ada 1,3 juta dari 1,8 juta ruang kelas mengalami kerusakan.
Ada yang ringan, sedang dan berat. Tetapi, pemerintah tidak memiliki skema untuk merehabilitasinya sampai berapa lama. Sementara, 250 ribu yang masuk kategori rusak berat.
"Fakta yang muncul di APBN, pemerintah pusat hanya mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki hanya 20-25 ribu, itu untuk yang rusak berat. Sementara yang rusak berat 250 ribu," jelasnya.
"Kalau 25 ribu terus-terusan dipergunakan aja kan dalam 10 tahun itu mulainya baru 2008 kemarin. Berarti kan, peristiwa di Pasuruan yang SD ambruk kemudian ada siswa dan guru meninggal bisa saja terjadi karena yang rusak berat 250 ribu," sambungnya.
Karena itu, politikus PKS ini menambahkan, usulan ini masih ditampung karena ada pemikiran untuk menggunakan Inpres seperti di zaman Soeharto untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan memperbaiki sekolah yang ada di zaman itu.
"Ini usulan ditampung tetapi apakah perlu menjadi UU atau tidak karena dulu zaman orba pak suharto ada Inpres makannya ada SD Inpres, itu untuk mengatasi kekurangan sekolah, dan perbaikan-perbaikan. Sekarang ini perlu atau tidak, dan inpres kan bukan UU. Itu yang masih diperdebatkan," jelasnya.
Namun, RUU ini masih diperdebatkan lantaran ada pemikiran apakah perlu aturan berupa UU atau dengan Instruksi Presiden (Inpres) saja sebagaimana kebijakan di era Presiden Suharto di mana Inpres dikeluarkan untuk kebutuhan kekurangan bangunan sekolah di masa itu.
"Ada setidaknya 11 RUU yang diusulkan untuk masuk prolegnas. Namun, belum diputuskan RUU mana saja yang benar-benar akan diusulkan secara resmi ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Jadi semua yang ada di prolegnas long list periode lalu hampir semuanya diajukan lagi, tapi masih menunggu sikap fraksi-fraksi pada Senin depan," kata Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Fikri menjelaskan, untuk pendidikan ada sekitar 6 RUU, 4 RUU merupakan revisi UU sebelumnya yakni UU 20/2003 tenntang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU Nomor 20/2013 Tentang Pendidikan Kedokteran.
"Ada masukan bahwa ketiga UU itu dijadikan satu sebagaimana kebijakan Presiden Jokowi untuk membuat omnibus law. Tetapi, belum ditentukan mana yang masuk prolegnas prioritas kecuali UU Sisdiknas yang usianya sudah 16 tahun. Yang jelas, banyak pertimbangan fraksi bahwa UU itu harus diubah," ucap Fikri.
Serta sambung Fikri, ada 2 RUU usulan baru yakni RUU tentang Fasilitasi Sarana dan Prasarana Pendidikan dan RUU tentang Pendidikan Kedokteran Hewan. Tetapi RUU Fasilitasi Sarpras itu masih menjadi perdebatan.
"Masih perdebatan, itu usulan dari mba Estin(My Esti Wijayanti, Anggota Fraksi PDIP)," ujarnya.
Fikri menjelaskan, usulan RUU itu didasari atas temuan Panitia Kerja (Panja) Sarpras Sekolah Komisi X periode DPR lalu yang diketuai dirinya sendiri. Di situ ditemukan ada 1,3 juta dari 1,8 juta ruang kelas mengalami kerusakan.
Ada yang ringan, sedang dan berat. Tetapi, pemerintah tidak memiliki skema untuk merehabilitasinya sampai berapa lama. Sementara, 250 ribu yang masuk kategori rusak berat.
"Fakta yang muncul di APBN, pemerintah pusat hanya mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki hanya 20-25 ribu, itu untuk yang rusak berat. Sementara yang rusak berat 250 ribu," jelasnya.
"Kalau 25 ribu terus-terusan dipergunakan aja kan dalam 10 tahun itu mulainya baru 2008 kemarin. Berarti kan, peristiwa di Pasuruan yang SD ambruk kemudian ada siswa dan guru meninggal bisa saja terjadi karena yang rusak berat 250 ribu," sambungnya.
Karena itu, politikus PKS ini menambahkan, usulan ini masih ditampung karena ada pemikiran untuk menggunakan Inpres seperti di zaman Soeharto untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan memperbaiki sekolah yang ada di zaman itu.
"Ini usulan ditampung tetapi apakah perlu menjadi UU atau tidak karena dulu zaman orba pak suharto ada Inpres makannya ada SD Inpres, itu untuk mengatasi kekurangan sekolah, dan perbaikan-perbaikan. Sekarang ini perlu atau tidak, dan inpres kan bukan UU. Itu yang masih diperdebatkan," jelasnya.
(maf)