Wacana Mengembalikan Pilkada ke DPRD Dinilai Langkah Mundur dan Tak Produktif

Sabtu, 09 November 2019 - 19:41 WIB
Wacana Mengembalikan...
Wacana Mengembalikan Pilkada ke DPRD Dinilai Langkah Mundur dan Tak Produktif
A A A
JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mewacanakan evaluasi terhadap pemilihan kepala daerah. Fokus evaluasi disebabkan oleh biaya politik pilkada langsung yang dinilai tinggi. Wacana yang disampailan oleh Mendagri ini kemudian disambut oleh beberapa partai politik dengan mengusulkan pemilihan kepala daerah kembali kepada DPRD.

"Usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD ini jelas logika yang melompat, tidak produktif terhadap wacana mengevaluasi pilkada, serta merupakan langkah mundur demokratisasi di Indonesia," kata Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil kepada wartawan, Sabtu (9/11/2019).

Menurut Fadli, idealnya, jika ingin melakukan evaluasi pilkada, khususnya terkait dengan biaya politik yang tinggi, pembentuk undang-undang, utamanya elit politik, mesti menjawab dan menemukan penyebab biaya politik yang tinggi itu apa.

Bukan sebaliknya, para elit parpol secara tiba-tiba langsung mengusulkan pemilihan pemimpin daerah kembali ke DPRD. Apakah dengan mengembalikan pemilihan ke DPRD otomatis biaya politik akan menjadi rendah, hal itu dinilainya tak langsung otomatis.

Fadli menekankan, respon elit politik, juga kemendagri terhadap narasi evaluasi pilkada langsung harusnya lebih komprehensif, dan menyentuh pokok masalah. Jika fokusnya biaya politik yang tinggi, harus betul-betul diklasifikasikan secara benar, pada komponen apakah calon kepala daerah mengeluarkan biaya terbesar.

"Jangan-jangan, pengeluaran uang yang besar dari kepala daerah, justru terhadap kegiatan yang harusnya tidak boleh dilakukan di dalam pilkada. Salah satunya adalah uang yang dikeluarkan untuk mahar politik atau tiket pencalonan," papar dia.

Dilanjutkan Fadli, dugaan tingginya angka mahar politik dalam setiap kontestasi pilkada selalu jadi masalah yang belum terselesaikan. Salah satu penyebabnya adalah kelemahan dari sistem penegakan hukum dalam larangan praktik mahar politik.

Menurut dia, tak jarang bakal calon kepala daerah pun kebanyakan mengungkap praktik mahar politik ini setelah yang bersangkutan gagal menjadi calon kepala daerah. Pada titik ini, eveluasi pilkada langsung harusnya fokus kepada masalah mahar politik.

"Jangan sampai, persoalannya ada di dalam perilaku elit politik, serta sistem rekrutmen kepala daerah di partai yang belum demokratis, namun justru hak konstitusional warga negara untuk memilih pemimpin yang lantas diberangus. Ini tentu saja sebuah langkah yang tak produktif," tutur dia.

Fadli menuturkan, dari evaluasi yang dilakukan lembaganya, penyelesaian praktik mahar politik bisa diselesaikan dengan beberapa langkah. Pertama, membuat transparan dan akuntabel sumbangan setiap orang kepada partai, jika memang itu dilakukan di dalam kontestasi pilkada.

Artinya, kata dia, uang yang diberikan kepada partai, harus dicatatkan dan dilaporkan secara terbuka. Nominalnya mesti mengikuti batasan sumbangan kepada partai politik sebagaimana diatur di dalam UU Partai Politik. Dengan begitu, seorang bakal calon tidak boleh memberikan uang dengan nominal begitu besar, dan tidak dicatatkan dan dilaporkan.

Kedua, jika uang yang diberikan dengan alasan dipergunakan untuk kampanye, uang tersebut mesti dicatatkan di dalam laporan awal dana kampanye pasangan calon. Jika tidak dicatatkan, langkah penindakan pelanggaran laporan dana kampanye dapat dilakukan oleh Bawaslu.

Kemudian yang ketiga, rumusan larangan mahar politik di dalam UU Pilkada harus diperbaiki. Klausul "memberikan" imbalan dari bakal calon kepada partai, bisa diganti dengan menjanjikan. Kemudian klausul "menerima" imbalan dari bakal calon untuk partai, diganti dengan "meminta".

"Dengan begitu, pembuktian pelanggaran mahar politik dapat lebih mudah. Penegakan hukum akan bisa berjalan dengan efektif," jelas dia.

Ditambahkannya, selain soal mahar politik, besarnya biaya politik pasangan calon juga disebabkan oleh tidak adanya batasan belanjan kampanye yang realistis dan memadai di dalam UU Pilkada. Harusnya, agar pasangan calon tidak mengeluarkan uang tanpa batas, mesti ada batasan belanja kampanye yang secara rasional memang membatasi, bukan sekedar basa basi.

Di samping itu, aturan batasan belanja kampanye juga mesti diikuti dengan langkah penegakan hukum dari pengawas pemilu terhadap kejujuran laporan dana kampanye dengan realitas aktifitas kampanye di lapangan.

"Dengan begitu, laporan dana kampanye yang tidak komprehensif dan tidak mencerminkan kegiatan kampanye yang sebenarnya dapat ditindak tegas," ucapnya.

Fadli menilai, jika memang serius ingin mengevalusi pilkada, dan punya niat baik menguatkan demokrasi, elit politik harusnya bicara soal masalah utama biaya politik tinggi seperti yang diuraikan di atas, yang lantas tidak secara sert merta, dan tiba-tiba mengembalikan pemilihan ke DPRD.

"Itu adalah langkah mundur, dan memberengus hak konstitusional warga negara. Jangan rampas partisipasi politik warga negara yang dalam praktiknya mulai menguat dan menunjukkan kontribusi bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia," pungkasnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0664 seconds (0.1#10.140)