Tenaga Kerja, Link Pendidikan-Industri yang Tak Match

Selasa, 05 November 2019 - 10:04 WIB
Tenaga Kerja, Link Pendidikan-Industri yang Tak Match
Tenaga Kerja, Link Pendidikan-Industri yang Tak Match
A A A
Bambang Satrio Lelono mendapatkan tugas khusus dari bos barunya, Ida Fauziyah. Ida, katanya, menginginkan kementeriannya fokus meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan melibatkan industri. “Supaya (dilakukan) perbaikan sistem pelatihannya. Kebutuhan industri apa, kemudian dibuat program latihannya,” terang Dirjen Pembinaan, Pelatihan, dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) itu.

Link and match. Begitu kira-kira istilah untuk menyebut konsep penyesuaian program pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja, seperti dikatakan Bambang. Bukan idiom baru sebenarnya. Gagasan soal pendidikan berbasis pasar kerja memang sudah lama digaungkan sejak masa Orde Baru. Tujuannya tidak lain memperbesar penyerapan tenaga kerja, khususnya pada sektor industri.

Sayangnya, hingga kini, link and match belum terbukti sakti. Daya serap lapangan kerja masih menjadi masalah pelik bagi setiap masa pemerintahan di negeri ini. Kemenaker boleh mengklaim sudah menciptakan lapangan kerja untuk 10.340.690 orang kurang dari lima tahun. Namun pada saat bersamaan, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan angka pengangguran di Indonesia mencapai 6,87 juta orang alias hanya turun 50 ribu dalam setahun.

Lebih buruk lagi, mari lihat daya serap industri didominasi pekerja yang berpendidikan sekolah dasar. Menurut data BPS Februari lalu, porsinya sekitar 40,51%. Daya serap tenaga kerja terus meningkat, tetapi tidak signifikan. Pada 2015, industri nasional menyerap sekitar 15,54 juta orang, lalu tiga tahun kemudian sudah menampung 18 juta orang. Saat menjabat Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa tiap tahun industri menyerap sekitar 672 ribu pekerja per tahun.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sendiri sudah merevitalisasi SMK. Ke depan, jumlah SMK akan lebih banyak dibandingkan sekolah menengah atas (SMA). Sistem kurikulum akan mengikuti kebutuhan industri. Ini mengubah dari supply base ke demand base.

Bahrun, Direktur Pembinaan SMK Kemendikbud, mengatakan pihaknya bekerja sama dengan beberapa perusahaan untuk pembentukan kurikulum dan praktik kerja langsung. Sebut saja misalnya untuk pariwisata, Kemendikbud akan bekerja dengan salah satu jaringan perhotelan besar di Indonesia. “Kami membuat kelas-kelas industri,” terangnya kepada SINDO Weekly, Kamis pekan lalu.

Sejalan dengan itu, Kemenaker pun memberdayakan sejumlah balai latihan kerja (BLK). Di sana, para pencari kerja diberikan aneka keterampilan, antara lain pengelasan, otomotif, dan teknologi informasi (TI). Tahun ini, Kemenaker punya program pembangunan 1.000 BLK komunitas dengan dana sekitar Rp1 triliun. Pola pelatihan di BLK itu akan menerapkan strategi skilling, up-skilling, dan re-skilling.

September lalu, Kemenaker meresmikan empat BLK di empat daerah, yakni Sidoarjo, Banyuwangi, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), serta Belitung. BLK Sidoarjo dipersiapkan untuk spesialisasi industri manufaktur, sedangkan BLK Banyuwangi untuk SDM di sektor pariwisata.

Upaya ini sejalan dengan perkembangan kabupaten di ujung timur Jawa itu yang tengah digandrungi oleh para pelancong. BLK Belitung dan Pangkep akan fokus memberikan pelatihan mengenai pariwisata dan kebutuhan untuk industri manufaktur. “Masyarakat memiliki akses yang lebih luas untuk mengikuti pelatihan vokasi,” ujar Bambang.

Ida belum banyak bicara secara terbuka mengenai program kerjanya selama menjabat sebagai menteri. Saat dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi), ia hanya mengemukakan tentang pembukaan lapangan pekerjaan dan kartu prakerja. Dalam rapat pertama dengan pejabat teras Kemenaker, Ida mencanangkan pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya. “Karenanya, kami harus sungguh-sungguh,” terangnya, beberapa waktu lalu.

Di pihak lain, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang punya kepentingan langsung untuk mempertemukan SDM dan pasar tenaga kerja juga mempunyai Program Diklat 3 in 1-Pelatihan, sertifikasi kompetensi, dan penempatan kerja. “Kami akan mendorong transformasi sektor manufaktur dan pembangunan wilayah industri,” terang Menperin Agus Gumiwang.

Sebagai negara berpenduduk besar, program link and match bagi Indonesia tentu saja sangat tepat. Namun, apa yang diharapkan tidak selalu sesuai kenyataan. Faktanya, keterampilan yang diberikan dalam dunia pendidikan kerap terlambat dibandingkan perubahan dunia industri yang semakin cepat. Akibatnya, apa yang dihasilkan dunia pendidikan belum “match” dengan kebutuhan industri.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai perlu ada perbaikan untuk program link and match yang sudah berjalan selama ini. “Tantangan utama bagi tenaga kerja adalah ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan industri,” ujarnya.

Ketika semua pendidikan dan pelatihan diarahkan pada penguasaan keterampilan diri, tantangan baru datang: digitalisasi industri. Revolusi digital (4.0) diprediksi akan membabat beberapa jenis pekerjaan. Namun, Kemenaker coba percaya diri dengan menyebutkan bakal menghadirkan 3,7 juta pekerjaan baru.

Jusuf Kalla (JK), sebelum purnatugas, juga berpendapat demikian. Saudagar Bugis itu merujuk pada perubahan-perubahan yang terjadi di masa lalu: warung telepon habis oleh kehadiran telepon genggam. “Memang banyak pekerjaan yang hilang, tetapi timbul job baru,” terangnya.

Jokowi sudah menginstruksikan beberapa langkah untuk mengantisipasi kegagapan menghadapi revolusi 4.0. Pemerintah, katanya, akan melakukan sinkronisasi regulasi, peningkatan kualitas SDM, dan membangun ekosistem inovasi industri. “Peningkatan insentif untuk investasi di bidang teknologi,” terang mantan Wali Kota Solo itu.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan penerapan link and match itu membutuhkan upaya saling memahami antara dunia pendidikan dan industri. Jadi, kekurangan kompetensi tenaga kerja bisa dengan cepat diatasi.

Ia juga mengingatkan link and match bukan membuat dunia pendidikan seperti pelatihan. Terkait dengan penguasaan TI, ia mengatakan itu memang sebuah kebutuhan. “Namun, yang penting bagaimana digitalisasi bisa mengubah budaya kerja orang menjadi lebih bergairah,” pungkasnya. (Fahmi W. Bahtiar)
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7747 seconds (0.1#10.140)