Harmonisasi Kelembagaan Penting untuk Selesaikan Masalah Papua

Senin, 21 Oktober 2019 - 10:11 WIB
Harmonisasi Kelembagaan Penting untuk Selesaikan Masalah Papua
Harmonisasi Kelembagaan Penting untuk Selesaikan Masalah Papua
A A A
JAKARTA - Peneliti Pusat Penelitian LIPI Adriana Elisabeth, mengatakan, harmonisasi kelembagaan sangat dibutuhkan dalam menangani permasalahan di Papua. Menurutnya, setiap lembaga pemerintahan baik di pusat maupun daerah harus bahu-membahu dalam penyelesaian konflik di Bumi Cendrawasih tersebut.

Adriana menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber dalam Kuliah Umum Program Studi Ilmu Hubungan Internasional USNI dengan tema "Jalan Damai Penyelesaian Konflik di Papua" di Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta, Senin (21/10/2019).

"Kita harus menjalankan harmonisasi pendekatan yakni dengan adanya dialog dan pendekatan pembangunan. Harmonisasi kelembagaan itu penting karena setiap lembaga harus bahu membahu dalam mengatasi konflik di Papua," kata Adriana.

Dalam melakukan resolusi konflik di Papua, kata Adriana, perlu manajemen konflik dengan mengurangi perbedaan pemahaman. Pencegahan konflik juga diperlukan melalui pendekatan keamanan manusia dengan cara membangun kohesi sosial antarwarga Papua.

"Kemudian pemberdayaan secara inklusif; adanya perdamaian dalam agama, masyarakat, perempuan dan pemuda, dan adanya ketahanan nasional dengan cara evaluasi regulasi, penguatan kelembagaan, koordinasi dan sinergi," ujarnya.

Adriana juga mengungkapkan sejumlah kemajuan dalam kelanjutan pembangunan Papua. Di antaranya pembangunan infrastruktur dan generasi milenial Papua melalui otonomi khusus.

Namun, menurutnya, ada juga perubahan yang berdampak negatif, seperti IPM Papua dan Papua Barat yang masih terendah di Indonesia, penyelesaian kasus pelanggaran HAM, dan adanya siklus kekerasaan yang masih stagnan.

Pembicara lainnya dari Bappenas yang membidangi masalah Papua, Moksen Idris Sirferfa, mengatakan, Papua merupakan “kakak” bagi negara-negara di kawasan Pasifik seperti Kepulauan Solomon, Fiji, dan yang lainnya. Maka dari itu, kata dia, mereka mulai memikirkan menjalin kerja sama dengan Indonesia.

"Tidak hanya Malaysia dan Singapura sebagai negara serumpun, negara di kawasan Pasifik juga merupakan negara serumpun. 70% ras Melanesia ada di Papua," katanya.

Di samping itu, Moksen juga menjelaskan adanya pembagian Papua dalam konteks internasional, nasional, dan regional, yakni konteks internasional yang terdiri dari geopolitik, geo-ekonomi, perkembangan IT, dan tren global pembangunan.

"Dalam konteks regional yang terdiri dari dinamika politik lokal, dinamika pelaksanaan otsus, pendekatan sosial dalam melaksanakan perencanaan pembangunan, penguatan peran dalam pembangunan," ujarnya.

Kemudian untuk konteks nasional, lanjut dia, terdiri dari kebijakan politik Otsus, pemekaran provinsi, kabupaten dan kota 2002-2010, kebijakan percepatan pembangunan Papua 2007, 2011, 2017, dan kebijakan adopsi berbasis wilayah adat dalam RPJMN 2014-2019.

Tokoh muda Papua, Methodius Kosas, menjelaskan kehidupan situasi dan kondisi yang terjadi di Papua dari beberapa tahun yang lalu sudah diwarnai oleh kekerasan.

Methodius mengatakan, penting bagi masyarakat Papua diberikan pelatihan skill dan menggali kompetensi masyarakat Papua. Salah satunya dengan mendirikan asrama. "Intinya Papua damai tanpa adanya kekerasan, menghargai satu sama lain dan keterlibatan antarpihak," jelasnya.

Ketua Program Studi Hubungan Internasional USNI, Pradono Budi Saputro, dalam kesempatan itu menjabarkan soal Papua yang resmi bergabung dengan NKRI setelah diadakannya Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat ) pada 1969.

Hasil tersebut, lanjut dia, kemudian dikukuhkan dengan resolusi PBB 2504. Namun, menurutnya, tidak semua kelompok puas dengan hasil Pepera tersebut, salah satunya adalah kelompok yang bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Kemudian, lanjut dia, adanya Non Government Organization (NGO) yang mengangkat isu Papua yaitu Melanessia Sparehard Group (MSG) dan adanya WLMP yang merupakan organisasi nonpemerintah yang telah disahkan oleh PBB untuk mengatasi isu permasalahan HAM yang ada di Papua.

"Indonesia sebagai negara anggota observer WLMP dan MSG untuk mengatasi permasalahan yang ada Papua dengan cara melakukan diplomasi persuasif," jelas Pradono.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5868 seconds (0.1#10.140)