Cegah Pemanasan Global, Indonesia Komitmen Kurangi Gas Karbon
A
A
A
JAKARTA - Komitmen Indonesia untuk mengatasi ancamanan pemanasan global yang tertuang dalam Paris Agreement (Perjanjian Paris) 2015 harus dilaksanakan secara konsisten. Regulasi dan implementasi kebijakannya pun harus berkelanjutan.
Hal itu disampaikan anggota DPR periode 2019-2024 yang baru saja dilantik 1 Oktober lalu, Dyah Roro Esti Widya Putri saat menjadi pembicara dalam forum Pasific Energy Summit 2019 di Tokyo, Jepang, Rabu 10 Oktober 2019. Panelis lainnya Mark Thurber dari Stanford University, Courtney Weatherby (Stimson Center), serta Se Hyun Ahn (University of Seoul).
“Implementasi Perjanjian Paris 2015 soal pemanasan global harus dilaksanakan secara konsisten. Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif menandatangani Perjanjian Paris, saat ini sudah menunjukkan komitmennya secara serius. Ini sinyal yang baik untuk ke depannya,” papar Dyah Roro Esti.
Politisi millenial dari Partai Golkar tersebut juga menyebutkan dalam komitmennya, Indonesia mempunyai target penurunan emisi karbon sebesar 29% hingga 2030 dan penurunan emisi karbon sebesar 41% dengan syarat adanya kontribusi asing.
”Climate action merupakan aksi kepedulian kita terhadap masa depan generasi penerus bangsa. Indonesia juga perlu mengedepankan sustainable development,” katanya.
Ancaman pemanasan global saat ini adalah nyata. Sudah saatnya seluruh stakeholders bergerak melakukan tindakan positif untuk mengurangi emisi karbon dari sektor kehutanan yang punya kontribusi besar serta sektor energi.
”Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mendukung upaya global menjaga lingkungan salah satunya dengan menjaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celcius sejauh ini sangat kuat dan konsisten,” jelas Dyah Roro Esti.
Seperti diketahui, Indonesia secara konsisten dan berkelanjutan terlibat aktif bersama 189 negara lainnya dalam perubahan iklim yang mendorong upaya penurunan emisi global.
Sektor kehutanan ditargetkan 17,2% dari 29% yang akan dicapai melalui pengurangan deforestasi dari 0,9 juta hektar per tahun pada 2010 menjadi 0,35 juta hektare per tahun pada 2030.
Selain itu, ditargetkan pemulihan 2 juta hektare lahan gambut dan rehabilitasi 2 juta hektare lahan terdegradasi pada 2030. Prioritas ketiga yakni peningkatan pengelolaan hutan produksi baik hutan alam dan hutan tanaman.
“Sudah saatnya untuk mengenalkan konsep carbon pricing, salah satunya memasukkan harga jual batu bara ditambah dengan cost pemeliharaan lingkungan, sehingga dengan demikian harga jual energi baru dan terbarukan bisa bersaing,” katanya.
Hal itu disampaikan anggota DPR periode 2019-2024 yang baru saja dilantik 1 Oktober lalu, Dyah Roro Esti Widya Putri saat menjadi pembicara dalam forum Pasific Energy Summit 2019 di Tokyo, Jepang, Rabu 10 Oktober 2019. Panelis lainnya Mark Thurber dari Stanford University, Courtney Weatherby (Stimson Center), serta Se Hyun Ahn (University of Seoul).
“Implementasi Perjanjian Paris 2015 soal pemanasan global harus dilaksanakan secara konsisten. Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif menandatangani Perjanjian Paris, saat ini sudah menunjukkan komitmennya secara serius. Ini sinyal yang baik untuk ke depannya,” papar Dyah Roro Esti.
Politisi millenial dari Partai Golkar tersebut juga menyebutkan dalam komitmennya, Indonesia mempunyai target penurunan emisi karbon sebesar 29% hingga 2030 dan penurunan emisi karbon sebesar 41% dengan syarat adanya kontribusi asing.
”Climate action merupakan aksi kepedulian kita terhadap masa depan generasi penerus bangsa. Indonesia juga perlu mengedepankan sustainable development,” katanya.
Ancaman pemanasan global saat ini adalah nyata. Sudah saatnya seluruh stakeholders bergerak melakukan tindakan positif untuk mengurangi emisi karbon dari sektor kehutanan yang punya kontribusi besar serta sektor energi.
”Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mendukung upaya global menjaga lingkungan salah satunya dengan menjaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celcius sejauh ini sangat kuat dan konsisten,” jelas Dyah Roro Esti.
Seperti diketahui, Indonesia secara konsisten dan berkelanjutan terlibat aktif bersama 189 negara lainnya dalam perubahan iklim yang mendorong upaya penurunan emisi global.
Sektor kehutanan ditargetkan 17,2% dari 29% yang akan dicapai melalui pengurangan deforestasi dari 0,9 juta hektar per tahun pada 2010 menjadi 0,35 juta hektare per tahun pada 2030.
Selain itu, ditargetkan pemulihan 2 juta hektare lahan gambut dan rehabilitasi 2 juta hektare lahan terdegradasi pada 2030. Prioritas ketiga yakni peningkatan pengelolaan hutan produksi baik hutan alam dan hutan tanaman.
“Sudah saatnya untuk mengenalkan konsep carbon pricing, salah satunya memasukkan harga jual batu bara ditambah dengan cost pemeliharaan lingkungan, sehingga dengan demikian harga jual energi baru dan terbarukan bisa bersaing,” katanya.
(cip)