Boyamin Saiman Merespons Pernyataan Hamdan Zoelva
A
A
A
JAKARTA - Boyamin Saiman Law Firm meminta seluruh pihak, terutama para praktisi hukum (advokat dan lawyer), untuk menghormati majelis hakim dalam memutus suatu perkara, termasuk perkara perdata Nomor 223 yang diputus majelis hakim yang diketuai Sunarso pada 18 Juli 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim menolak seluruh gugatan yang diajukan pengusaha Tomy Winata terhadap PT Geria Wijaya Prestige (GWP), dan tergugat lainnya, antara lain Harijanto Karjadi selaku penjamin dan pemegang saham perusahaan pemilik dan pengelola Hotel Kuta Paradiso di Bali tersebut.
"Mari kita sama-sama menghormati proses hukum yang istilah asing Res Judicata, artinya Kita harus hormati putusan meskipun putusan tersebut dianggap salah/keliru," kata Boyamin Saiman, kuasa hukum PT GWP, dalam keterangan pers, Selasa (8/10/2019).
"Kalau tidak puas dengan putusan pengadilan, ada prosedur mengajukan banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali. Gunakan koridor hukum yang ada. Kecewa boleh, tapi jangan main kekerasan," sambungnya.
(Baca juga: Sengketa Piutang, Eks Bank Sindikasi Serahkan ke BPPN)
Menurut Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) tersebut, advokat atau lawyer boleh melakukan pembelaan atau menyodorkan berbagai bukti dan argumentasi, tapi hakim dalam pengambilan putusan tentu mempunyai pertimbangan sendiri, baik dari sisi legal justice, social justice, maupun philoshopy justice.
"Hakim dalam memutus perkara tentu tidak sembarangan dan sudah mempertimbangkan berbagai aspek, dan kita semua wajib menghormati putusan itu, apapun isinya. Bisa dipahami dan dimaklumi, siapapun yang berada di pihak yang kalah dalam berperkara akan kecewa dan tidak puas. Tapi marilah kita semua memiliki kedewasaan dalam menjaga martabat dan wibawa hukum di Tanah Air," kata Boyamin.
Sebelumnya, Hamdan Zoelva dkk selaku kuasa hukum Desrizal Chaniago, menggelar jumpa pers, Senin (7/10/2019) di Jakarta, menjelaskan latar belakang aksi pemukulan yang dilakukan Desrizal selaku kuasa hukum Tomy Winata terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang pembacaan putusan perkara perdata Nomor 223 tanggal 18 Juli 2019.
Seperti diketahui, ketika hakim tengah membacakan pertimbangan putusan, Desrizal melepas ikat pinggang dan beranjak menuju meja hakim dan lalu menyabetkan ikat pinggang tersebut kepada majelis hakim.
Dua hakim yang terkena sabetan adalah hakim ketua H Sunarso dan hakim anggota, Duta Baskara. Hamdan Zoelva pada intinya mengatakan bahwa Desrizal merasa kecewa dengan pertimbangan putusan majelis hakim, karena tidak mempertimbangkan fakta dan bukti yang dia sodorkan di persidangan.
Menurut dia, aksi Desrizal tersebut bersifat spontan. Hari ini, Selasa (8/10/2019), perkara penganiayaan tersebut mulai disidangkan di PN Jakarta Pusat.
Jaksa penuntut umum, Permana mendakwa Desrizal melakukan penganiayaan dengan menggunakan ikat pinggang atas diri hakim ketua Sunarso dan hakim anggota Duta Baskara.
Atmajaya Salim, salah satu kuasa hukum Desrizal, menyatakan akan mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan tersebut, termasuk menjelaskan mengapa kliennya melakukan aksi itu.
Seperti diketahui, dalam salah satu pertimbangan hukum putusan perkara 223, majelis hakim menggunakan pendapat ahli dari mantan hakim agung M Yahya Harahap dan Guru Besar Hukum Bisnis UGM, Nindyo Pramono.
Yahya Harahap pada intinya mengatakan dengan dialihkan atau diserahkan/dilimpahkan dalam bentuk cessie (hak tagih) suatu kredit sindikasi kepada BPPN berdasarkan kesepakatan bersama antara bank sindikasi dengan BPPN, maka semua tagihan atas kredit sindikasi yang macet tersebut telah selesai dan tuntas secara keseluruhan dan BPPN-lah yang memikul kewajiban hukum untuk menyerahkan hasil penagihan itu kepada masing-masing anggota bank sindikasi secara proporsional sesuai dengan besar kecilnya pinjaman kredit yang diberikannya.
"Jika ada bank sindikasi yang belum mendapat penyelesaian secara proporsional dari BPPN, maka yang harus dituntut oleh anggota bank sindikasi adalah BPPN, bukan debitur," katanya.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim menolak seluruh gugatan yang diajukan pengusaha Tomy Winata terhadap PT Geria Wijaya Prestige (GWP), dan tergugat lainnya, antara lain Harijanto Karjadi selaku penjamin dan pemegang saham perusahaan pemilik dan pengelola Hotel Kuta Paradiso di Bali tersebut.
"Mari kita sama-sama menghormati proses hukum yang istilah asing Res Judicata, artinya Kita harus hormati putusan meskipun putusan tersebut dianggap salah/keliru," kata Boyamin Saiman, kuasa hukum PT GWP, dalam keterangan pers, Selasa (8/10/2019).
"Kalau tidak puas dengan putusan pengadilan, ada prosedur mengajukan banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali. Gunakan koridor hukum yang ada. Kecewa boleh, tapi jangan main kekerasan," sambungnya.
(Baca juga: Sengketa Piutang, Eks Bank Sindikasi Serahkan ke BPPN)
Menurut Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) tersebut, advokat atau lawyer boleh melakukan pembelaan atau menyodorkan berbagai bukti dan argumentasi, tapi hakim dalam pengambilan putusan tentu mempunyai pertimbangan sendiri, baik dari sisi legal justice, social justice, maupun philoshopy justice.
"Hakim dalam memutus perkara tentu tidak sembarangan dan sudah mempertimbangkan berbagai aspek, dan kita semua wajib menghormati putusan itu, apapun isinya. Bisa dipahami dan dimaklumi, siapapun yang berada di pihak yang kalah dalam berperkara akan kecewa dan tidak puas. Tapi marilah kita semua memiliki kedewasaan dalam menjaga martabat dan wibawa hukum di Tanah Air," kata Boyamin.
Sebelumnya, Hamdan Zoelva dkk selaku kuasa hukum Desrizal Chaniago, menggelar jumpa pers, Senin (7/10/2019) di Jakarta, menjelaskan latar belakang aksi pemukulan yang dilakukan Desrizal selaku kuasa hukum Tomy Winata terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang pembacaan putusan perkara perdata Nomor 223 tanggal 18 Juli 2019.
Seperti diketahui, ketika hakim tengah membacakan pertimbangan putusan, Desrizal melepas ikat pinggang dan beranjak menuju meja hakim dan lalu menyabetkan ikat pinggang tersebut kepada majelis hakim.
Dua hakim yang terkena sabetan adalah hakim ketua H Sunarso dan hakim anggota, Duta Baskara. Hamdan Zoelva pada intinya mengatakan bahwa Desrizal merasa kecewa dengan pertimbangan putusan majelis hakim, karena tidak mempertimbangkan fakta dan bukti yang dia sodorkan di persidangan.
Menurut dia, aksi Desrizal tersebut bersifat spontan. Hari ini, Selasa (8/10/2019), perkara penganiayaan tersebut mulai disidangkan di PN Jakarta Pusat.
Jaksa penuntut umum, Permana mendakwa Desrizal melakukan penganiayaan dengan menggunakan ikat pinggang atas diri hakim ketua Sunarso dan hakim anggota Duta Baskara.
Atmajaya Salim, salah satu kuasa hukum Desrizal, menyatakan akan mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan tersebut, termasuk menjelaskan mengapa kliennya melakukan aksi itu.
Seperti diketahui, dalam salah satu pertimbangan hukum putusan perkara 223, majelis hakim menggunakan pendapat ahli dari mantan hakim agung M Yahya Harahap dan Guru Besar Hukum Bisnis UGM, Nindyo Pramono.
Yahya Harahap pada intinya mengatakan dengan dialihkan atau diserahkan/dilimpahkan dalam bentuk cessie (hak tagih) suatu kredit sindikasi kepada BPPN berdasarkan kesepakatan bersama antara bank sindikasi dengan BPPN, maka semua tagihan atas kredit sindikasi yang macet tersebut telah selesai dan tuntas secara keseluruhan dan BPPN-lah yang memikul kewajiban hukum untuk menyerahkan hasil penagihan itu kepada masing-masing anggota bank sindikasi secara proporsional sesuai dengan besar kecilnya pinjaman kredit yang diberikannya.
"Jika ada bank sindikasi yang belum mendapat penyelesaian secara proporsional dari BPPN, maka yang harus dituntut oleh anggota bank sindikasi adalah BPPN, bukan debitur," katanya.
(maf)