Akun Penyebar Kabar Bohong Semakin Meresahkan
A
A
A
JAKARTA - Era digital semakin tumbuh pesat yang ditandai dengan membesarnya pengguna internet di Tanah Air. Namun masyarakat tetap harus waspada. Terlebih akun penyebar kebencian atau provokatif di media sosial (medsos) makin merebak.
Tingginya sirkulasi informasi di medsos maupun aplikasi pesan instan memang menjadi faktor pemicu semakin berkembangnya akun hoaks, kabar bohong, berita palsu, dan ujaran kebencian di Indonesia maupun dunia. Terlebih sejak medsos eksis dan dimanfaatkan secara luas untuk berkomunikasi serta menyampaikan isi hati dan pikiran.
Karena itu perlu literasi digital lebih intens agar masyarakat tak mudah menyebarkan sebuah informasi dan berkomentar terhadap sesuatu di dunia maya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada April 2019 mengidentifikasi keberadaan 486 hoaks melalui mesin AIS. Jumlah hoaks tersebut merupakan yang terbanyak sejak Agustus 2018. Total jumlah hoaks yang diidentifikasi, diverifikasi, dan divalidasi oleh Kominfo menjadi 1.731 hoaks terhitung sejak Agustus 2018 sampai dengan April 2019.
Selama April 2019 tersebut terdapat 209 hoaks kategori politik. Dengan demikian total hoaks kategori politik yang diidentifikasi, diverifikasi, dan divalidasi oleh Kominfo menjadi 620 hoaks. Sebagai informasi, isi hoaks politik ini antara lain berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
Pemerintah mengambil sikap tegas terhadap penyebaran hoaks dengan mengeluarkan beberapa undang-undang (UU), antara lain UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Sejumlah pengelola akun provokatif sudah ditangkap dan ditindak. Admin akun Instagram @rif_opposite, MAM, misalnya, ditangkap polisi lantaran diduga rutin mengunggah konten hoaks, ujaran kebencian, dan SARA. Korban konten negatif yang diunggah pelaku adalah pejabat negara, mantan presiden, tokoh agama, Polri, KPU, dan lembaga quick count.Polisi juga belum lama ini menangkap seorang dosen bernama SDS yang diduga menyebarkan ujaran kebencian perihal people powerdi Facebook.
Akun Facebook yang digunakan dosen salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung itu bernama Solatun Dulah Sayuti (SDS). Ada juga pemilik sosmed yang kerap menyebarkan ujaran kebencian di akun Instagram bernama @wb.official.id dan channel Youtube, yakni Muslim Cyber Army alias MCA. Pria bernama AY tersebut menayangkan ujaran kebencian kepada para penyelenggara negara. Ada lagi akun @murtadhaone yang menyebarkan provokasi berupa screen shoot grupWhatsApp siswa STM peserta demonstrasi. Belakangan, akun ini mendadak lenyap. Akun lainnya yang menyebarkan hal serupa yakni akun @eko_kunthadi namun kemudian pemilik menghapusnya. Akun @murtadhaone bersama akun @dennysiregar7 juga menyebarkan provokasi dan berita palsu bahwa mobil ambulans milik Pemprov DKI Jakarta mengangkut batu dan bensin untuk para demonstran. Hingga kini, polisi belum menangkap Denny Siregar maupun yang lainnya.
Yang menarik, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) melalui surveinya mengungkap bahwa sebenarnya pengguna internet makin cerdas dalam melawan berita bohong atau hoaks yang disebarkan melalui dunia maya.
Proses survei dilakukan secara onlinedalam kurun waktu 28 Februari hingga 15 Maret 2019 dan direspons oleh 941 responden. Sebanyak 88% responden menjawab bahwa hoaks adalah berita bohong yang disengaja, 49% berpendapat hoaks adalah berita yang menghasut, 61% berpendapat hoaks adalah berita yang tidak akurat, 31% berpendapat hoaks sebagai berita yang menjelekkan orang lain.
Hasil itu dapat dimaknai bahwa masyarakat memiliki kepekaan tinggi terhadap berita-berita yang menjelekkan orang lain. Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengemukakan, pihaknya memiliki Tim AIS Subdit Pengendalian Konten Ditjen Aplikasi Informatika yang bertugas melakukan pengaisan, identifikasi, verifikasi, dan validasi terhadap seluruh konten internet yang beredar di cyber spaceIndonesia, baik konten hoaks, terorisme dan radikalisme, pornografi, perjudian maupun konten negatif lainnya.
"Saat ini Tim AIS berjumlah sekitar 100 personel yang dibagi dalam beberapa tim dengan pembagian tiga shift yang didukung oleh mesin AIS yang bekerja seharian penuh selama 24 jam, 7 hari seminggu tanpa henti," ujar pria yang akrab dengan sapaan Nando tersebut kepada KORAN SINDO. Nando menyebut timnya akan menandai akun yang dicurigai provokatif, lalu akan mengajukan take downkepada platform medsos atas akun tersebut apabila memang terbukti.
Akun tersebut, lanjut dia, otomatis akan terblokir dan tidak bisa digunakan. Selanjutnya tim akan berkoordinasi dengan Mabes Polri untuk menindaklanjutinya terhadap pemilik akun penyebar kebencian tersebut. “Selain mengidentifikasi sendiri, kami juga menerima laporan dari instansi atau masyarakat terhadap aktivitas suatu akun. Tim akan menganalisis konten sesuai dengan aturan apakah melanggar atau tidak,” kata Nando.
Nando mengatakan, agar akun penyebar kabar bohong ini tak semakin subur, sejak 2017 pihaknya telah meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Digital #SiBerkreasi untuk melawan penyebaran konten negatif di dunia maya. Kegiatan ini dihelat bersama-sama Bekraf serta berbagai komunitas seperti Internet Goverment Forum, ICT Watch, Pengelola Nama Domain Indonesia (PaNDI), Nawala.org, Indonesia Child Protection (ID-COP ECEAT Indonesia, RAS Foundation dan Yayasan Sejiwa).
Agenda pemerintah, komunitas dan ekosistem ini adalah untuk menyebarkan konten positif berupa sharingtatap muka, mencetak buku, event terbuka untuk umum, kampanye internet sehat dan lainnya. “Sekarang sudah sekitar 100 organisasi dan perguruan tinggi yang terlibat. Kegiatan ini akan terus dikembangkan agar hasilnya maksimal,” tuturnya.
Pengamat media sosial Hariqo Wibawa Satria mengakui, akun medsos dengan konten negatif belakangan terus menjamur. Umumnya mereka hadir karena keterpanggilan akibat fanatisme terhadap sesuatu atau seseorang yang amat mendalam. Ada juga memang yang dibayar atau menjadi ladang penghasilan.
“Saat aksi mahasiswa kemarin misalnya, normalnya anak muda melihat ada sesuatu yang salah. Mereka akan melakukan gerakan secara gotong-royong. Selain itu dilampiaskan juga di medsos. Begitu juga saat pilpres yang lalu,” sebutnya. Menurut dia, agar penyebaran konten hoaks tak melebar, pemerintah sebaiknya melakukan aturan ekstrem dengan membatasi sementara pembuatan akun-akun baru atau moratorium.
Pemerintah juga lebih mengaktifkan lagi akun official-nya dengan informasi resmi sehingga ketika masyarakat menerima informasi apa pun bisa mengetahui jawabannya dengan benar. Selain itu interaksi dengan followersjuga harus dimaksimalkan. “Buzzer-buzzeryang membabi-buta mendukung satu pihak juga harus ditertibkan dan ditindak,” tegas Direktur Eksekutif Komunikonten tersebut.
Hariqo mengutarakan, Presiden sebaiknya memiliki juru bicara yang menjadi corong pemerintah untuk menjelaskan suatu isu yang beredar sehingga informasinya valid. Hal ini juga menjadi salah satu cara agar akun-akun penyebar hoaks tersebut tak tumbuh subur. Sementara itu psikolog sosial Ade Iva Wicaksono mengutarakan, maraknya akun penyebar kebencian merupakan dampak revolusi digital yang makin luas dengan berkembangnya medsos.
Nyatanya, karakter masyarakat Indonesia merasa bahagia sekali apabila komentar atau pandangannya terhadap suatu isu yang disebarkan lewat medsos diapresiasi orang lain dengan me-likeatau me-retweet-nya. “Ada pride, kepuasan, dan harga diri yang meningkat yang dirasakan orang tersebut. Dia tidak berpikir cuitannya tersebut adalah kabar bohong atau membawa kehancuran,” ujarnya.
Berkurangnya empati terhadap sesuatu dan orang lain juga menjadi masalah di masyarakat sehingga yang terjadi, ucapan menyudutkan menjadi sebuah hal yang biasa. Mereka yang seperti itu, kata Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila tersebut, punya sifat yang selalu ingin berkomentar terhadap masalah apa pun meskipun sebenarnya dia tak terlalu mendalami isunya. Istilah yang belakangan merebak mengenai sosok mereka adalah sebutan social justice warrior (SJW).
Dan akhirnya bisa jadi setelah banyak diperbincangkan, akun tersebut menjadi buzzer resmi yang dibayar pihak tertentu. “Itu sebuah konsekuensi. Jadi pemilik akun hoaks ini memang terbagi dua. Satu yang memang dari awal mencari makan di situ dan yang kedua, mereka yang mendapat kepuasan ekspresi dengan mengomentari segala hal di medsos,” ucap Iva.
Dia mengatakan, makin banyaknya akun provokatif juga akibat polarisasi ideologi yang kental sejak Pilpres 2014 dan mencapai puncaknya tahun ini. Ditambah lagi penegakan hukum masih lemah sehingga masyarakat tak takut melanggar aturan, padahal payung hukumnya sudah jelas. “Beda dengan di luar negeri yang cukup tegas. Masyarakatnya pun jadi taat hukum,” kata Iva. (Rendra Hanggara)
Tingginya sirkulasi informasi di medsos maupun aplikasi pesan instan memang menjadi faktor pemicu semakin berkembangnya akun hoaks, kabar bohong, berita palsu, dan ujaran kebencian di Indonesia maupun dunia. Terlebih sejak medsos eksis dan dimanfaatkan secara luas untuk berkomunikasi serta menyampaikan isi hati dan pikiran.
Karena itu perlu literasi digital lebih intens agar masyarakat tak mudah menyebarkan sebuah informasi dan berkomentar terhadap sesuatu di dunia maya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada April 2019 mengidentifikasi keberadaan 486 hoaks melalui mesin AIS. Jumlah hoaks tersebut merupakan yang terbanyak sejak Agustus 2018. Total jumlah hoaks yang diidentifikasi, diverifikasi, dan divalidasi oleh Kominfo menjadi 1.731 hoaks terhitung sejak Agustus 2018 sampai dengan April 2019.
Selama April 2019 tersebut terdapat 209 hoaks kategori politik. Dengan demikian total hoaks kategori politik yang diidentifikasi, diverifikasi, dan divalidasi oleh Kominfo menjadi 620 hoaks. Sebagai informasi, isi hoaks politik ini antara lain berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
Pemerintah mengambil sikap tegas terhadap penyebaran hoaks dengan mengeluarkan beberapa undang-undang (UU), antara lain UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Sejumlah pengelola akun provokatif sudah ditangkap dan ditindak. Admin akun Instagram @rif_opposite, MAM, misalnya, ditangkap polisi lantaran diduga rutin mengunggah konten hoaks, ujaran kebencian, dan SARA. Korban konten negatif yang diunggah pelaku adalah pejabat negara, mantan presiden, tokoh agama, Polri, KPU, dan lembaga quick count.Polisi juga belum lama ini menangkap seorang dosen bernama SDS yang diduga menyebarkan ujaran kebencian perihal people powerdi Facebook.
Akun Facebook yang digunakan dosen salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung itu bernama Solatun Dulah Sayuti (SDS). Ada juga pemilik sosmed yang kerap menyebarkan ujaran kebencian di akun Instagram bernama @wb.official.id dan channel Youtube, yakni Muslim Cyber Army alias MCA. Pria bernama AY tersebut menayangkan ujaran kebencian kepada para penyelenggara negara. Ada lagi akun @murtadhaone yang menyebarkan provokasi berupa screen shoot grupWhatsApp siswa STM peserta demonstrasi. Belakangan, akun ini mendadak lenyap. Akun lainnya yang menyebarkan hal serupa yakni akun @eko_kunthadi namun kemudian pemilik menghapusnya. Akun @murtadhaone bersama akun @dennysiregar7 juga menyebarkan provokasi dan berita palsu bahwa mobil ambulans milik Pemprov DKI Jakarta mengangkut batu dan bensin untuk para demonstran. Hingga kini, polisi belum menangkap Denny Siregar maupun yang lainnya.
Yang menarik, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) melalui surveinya mengungkap bahwa sebenarnya pengguna internet makin cerdas dalam melawan berita bohong atau hoaks yang disebarkan melalui dunia maya.
Proses survei dilakukan secara onlinedalam kurun waktu 28 Februari hingga 15 Maret 2019 dan direspons oleh 941 responden. Sebanyak 88% responden menjawab bahwa hoaks adalah berita bohong yang disengaja, 49% berpendapat hoaks adalah berita yang menghasut, 61% berpendapat hoaks adalah berita yang tidak akurat, 31% berpendapat hoaks sebagai berita yang menjelekkan orang lain.
Hasil itu dapat dimaknai bahwa masyarakat memiliki kepekaan tinggi terhadap berita-berita yang menjelekkan orang lain. Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengemukakan, pihaknya memiliki Tim AIS Subdit Pengendalian Konten Ditjen Aplikasi Informatika yang bertugas melakukan pengaisan, identifikasi, verifikasi, dan validasi terhadap seluruh konten internet yang beredar di cyber spaceIndonesia, baik konten hoaks, terorisme dan radikalisme, pornografi, perjudian maupun konten negatif lainnya.
"Saat ini Tim AIS berjumlah sekitar 100 personel yang dibagi dalam beberapa tim dengan pembagian tiga shift yang didukung oleh mesin AIS yang bekerja seharian penuh selama 24 jam, 7 hari seminggu tanpa henti," ujar pria yang akrab dengan sapaan Nando tersebut kepada KORAN SINDO. Nando menyebut timnya akan menandai akun yang dicurigai provokatif, lalu akan mengajukan take downkepada platform medsos atas akun tersebut apabila memang terbukti.
Akun tersebut, lanjut dia, otomatis akan terblokir dan tidak bisa digunakan. Selanjutnya tim akan berkoordinasi dengan Mabes Polri untuk menindaklanjutinya terhadap pemilik akun penyebar kebencian tersebut. “Selain mengidentifikasi sendiri, kami juga menerima laporan dari instansi atau masyarakat terhadap aktivitas suatu akun. Tim akan menganalisis konten sesuai dengan aturan apakah melanggar atau tidak,” kata Nando.
Nando mengatakan, agar akun penyebar kabar bohong ini tak semakin subur, sejak 2017 pihaknya telah meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Digital #SiBerkreasi untuk melawan penyebaran konten negatif di dunia maya. Kegiatan ini dihelat bersama-sama Bekraf serta berbagai komunitas seperti Internet Goverment Forum, ICT Watch, Pengelola Nama Domain Indonesia (PaNDI), Nawala.org, Indonesia Child Protection (ID-COP ECEAT Indonesia, RAS Foundation dan Yayasan Sejiwa).
Agenda pemerintah, komunitas dan ekosistem ini adalah untuk menyebarkan konten positif berupa sharingtatap muka, mencetak buku, event terbuka untuk umum, kampanye internet sehat dan lainnya. “Sekarang sudah sekitar 100 organisasi dan perguruan tinggi yang terlibat. Kegiatan ini akan terus dikembangkan agar hasilnya maksimal,” tuturnya.
Pengamat media sosial Hariqo Wibawa Satria mengakui, akun medsos dengan konten negatif belakangan terus menjamur. Umumnya mereka hadir karena keterpanggilan akibat fanatisme terhadap sesuatu atau seseorang yang amat mendalam. Ada juga memang yang dibayar atau menjadi ladang penghasilan.
“Saat aksi mahasiswa kemarin misalnya, normalnya anak muda melihat ada sesuatu yang salah. Mereka akan melakukan gerakan secara gotong-royong. Selain itu dilampiaskan juga di medsos. Begitu juga saat pilpres yang lalu,” sebutnya. Menurut dia, agar penyebaran konten hoaks tak melebar, pemerintah sebaiknya melakukan aturan ekstrem dengan membatasi sementara pembuatan akun-akun baru atau moratorium.
Pemerintah juga lebih mengaktifkan lagi akun official-nya dengan informasi resmi sehingga ketika masyarakat menerima informasi apa pun bisa mengetahui jawabannya dengan benar. Selain itu interaksi dengan followersjuga harus dimaksimalkan. “Buzzer-buzzeryang membabi-buta mendukung satu pihak juga harus ditertibkan dan ditindak,” tegas Direktur Eksekutif Komunikonten tersebut.
Hariqo mengutarakan, Presiden sebaiknya memiliki juru bicara yang menjadi corong pemerintah untuk menjelaskan suatu isu yang beredar sehingga informasinya valid. Hal ini juga menjadi salah satu cara agar akun-akun penyebar hoaks tersebut tak tumbuh subur. Sementara itu psikolog sosial Ade Iva Wicaksono mengutarakan, maraknya akun penyebar kebencian merupakan dampak revolusi digital yang makin luas dengan berkembangnya medsos.
Nyatanya, karakter masyarakat Indonesia merasa bahagia sekali apabila komentar atau pandangannya terhadap suatu isu yang disebarkan lewat medsos diapresiasi orang lain dengan me-likeatau me-retweet-nya. “Ada pride, kepuasan, dan harga diri yang meningkat yang dirasakan orang tersebut. Dia tidak berpikir cuitannya tersebut adalah kabar bohong atau membawa kehancuran,” ujarnya.
Berkurangnya empati terhadap sesuatu dan orang lain juga menjadi masalah di masyarakat sehingga yang terjadi, ucapan menyudutkan menjadi sebuah hal yang biasa. Mereka yang seperti itu, kata Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila tersebut, punya sifat yang selalu ingin berkomentar terhadap masalah apa pun meskipun sebenarnya dia tak terlalu mendalami isunya. Istilah yang belakangan merebak mengenai sosok mereka adalah sebutan social justice warrior (SJW).
Dan akhirnya bisa jadi setelah banyak diperbincangkan, akun tersebut menjadi buzzer resmi yang dibayar pihak tertentu. “Itu sebuah konsekuensi. Jadi pemilik akun hoaks ini memang terbagi dua. Satu yang memang dari awal mencari makan di situ dan yang kedua, mereka yang mendapat kepuasan ekspresi dengan mengomentari segala hal di medsos,” ucap Iva.
Dia mengatakan, makin banyaknya akun provokatif juga akibat polarisasi ideologi yang kental sejak Pilpres 2014 dan mencapai puncaknya tahun ini. Ditambah lagi penegakan hukum masih lemah sehingga masyarakat tak takut melanggar aturan, padahal payung hukumnya sudah jelas. “Beda dengan di luar negeri yang cukup tegas. Masyarakatnya pun jadi taat hukum,” kata Iva. (Rendra Hanggara)
(nfl)