#HukumPencuriHakCiptaFTA Jadi Trending Topic, Netizen Tuntut UU Hak Cipta FTA Dilindungi Hukum
A
A
A
JAKARTA - #HukumPencuriHakCiptaFTA menjadi trending topic hari ini. Netizen menuntut hak cipta Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) atau TV free-to-air (FTA) dilindungi penegak hukum dari para pembajak siaran yang tak mengindahkan UU Hak Cipta.
"Kalau masih kurang jelas, UU Penyiaran No. 32/2002 Pasal 43 ayat 1 juga bisa dijadikan dasar. Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar. Tuh kaaaan, TV parabola&kabel yg blm punya hak siar, baca tu!!!" kata akun Ety @estiryu
"Kalau Parabola & TV Kabel Berlangganan ga punya hak siar siaran FTA dan tetap cuek nyiarin, artinya melanggar UU Hak Cipta!!!" ujar akun Sip-ah @chygwn_.
Kegeraman netizen juga tampak pada tweet dari akun Al Kahfi Time @kahfitime. Dia mencutikan, "Mau jadi apa kita, gua ga habis pikir kok TV parabola dan kabel terus- terusan ga hormati hak cipta begitu, hukum harus ditegakkan!#HukumPencuriHakCiptaFTA."
Lantas, akun nanamarna @nanazahrat45 mengatakan, bila hak cipta dilindungi, maka akan berdapak baik bagi investasi di Indonesia. "Ya intinya sih, kalau hak cipta dilindungi dan pembajakan bisa diberantas, maka ini akan berdampak baik bagi iklim investasi di Tanah Air kitaaa. Setuju ngga sih??" ujarnya.
Suara netizen tersebut senada dengan Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham Agung Damarsasongko yang menegaskan lembaga penyiaran memiliki hak ekonomi atas karya siaran. Menurutnya hak ekonomi tersebut berupa memberi izin atau melarang pihak lain melakukan penyiaran ulang siaran, komunikasi siaran, fiksasi siaran, dan penggandaan fiksasi siaran.
"Setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran," kata Agung.
Senada dengan Direktorat Hak Cipta & Desain Industri Kemenkumham Anggota Bidang PS2P KPID DKI Jakarta Bambang Pamungkas menegaskan pengaturan hak siar dan hak cipta memiliki korelasi.
"Keduanya memiliki nilai ekonomi, artinya hak siar memiliki nilai kapital atau keuntungan dan hak cipta berkenaan dengan royaliti yang dibayarkan serta asas original," ungkapnya.
Hal itu berdasarkan UU 32/2002 Pasal 43 tentang hak siar yang menyebutkan pada ayat 1 bahwa setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar. Dalam penjelasannya hak siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran (ditengarai memiliki Izin Penyelenggara Penyiaran/IPP) untuk menyiarkan program atau acara yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya.
Komisi Penyiaran Indonesia menegaskan bahwa TV Kabel dan parabola berlangganan harus mendapatkan persetujuan hak siar dari pemilik materi siaran Lembaga Penyiaran Swasta (FTA) bila akan menayangkan materi siaran FTA.
Hal itu diamini oleh KPI Pusat. Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat Irsyal Ambiya menjelaskan hal itu dikarenakan setiap lembaga penyiaran harus mencantumkan hak siarnya secara jelas.
Adapun, Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPID DKI Jakarta Tri Andry meminta kepada lembaga penyiaran agar sebelum melakukan aktivitas penyiaran, maka seluruh materi siaran atau mata program acara wajib memiliki persetujuan hak menyiarkan dari lembaga penyiaran pemilik materi siaran.
"Tidak ada kompromi mengenai Hak Siar dan Hak Cipta," ujar Tri Andry.
Artinya, lanjut Tri Andry, setiap lembaga penyiaran harus berkerja sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Hak Siar dan Hak Cipta atas suatu mata acara telah dilindungi dalam undang-undang tersebut.
"Yang dimaksud Hak Siar yakni hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program dan acara tertentu yang diperoleh secara sah yang dimiliki Hak Cipta atau pencipta," katanya. Hal itu diungkapkan dalam siaran pers resmi KPID DKI Jakarta, Sabtu, (28/9/2019).
Tri Andry menambahkan kloning siaran oleh TV kabel tanpa izin tidak saja melanggar UU, namun sangat merugikan pemilik Hak Siar tersebut. Pemilik Hak Siar telah bekerja keras menghasilkan program acara, namun diedarkan seenaknya.
"Seperti kita punya pohon pisang. Kita yang kasih pupuk, menyiram dan merawat, ketika pisang itu berbuah, orang lain yang panen. Setelah dipanen, dibuat pisang goreng dan dijual, marah nggak pemiliknya?," tegas Tri Andry menjawab pertanyaan wartawan.
Tri Andry menuturkan walaupun LPS menggunakan sistem free to air (FTA) secara gratis, namun jika ada TV Kabel dan parabola berlangganan yang hendak menyiarkan, maka harus meminta izin terhadap pemilik Hak Cipta. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 25 ayat 1 dan 2 UU Hak Cipta.
Hal itu ditegaskan kembali oleh KPID DKI Jakarta dan seluruh regulator yang hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Tata Kelola Materi Siaran terhadap Hak Siar dan Hak Cipta di Lembaga Penyiaran” yang digelar oleh PS2P KPID DKI Jakarta pada Rabu, 26 September 2019.
"Kalau masih kurang jelas, UU Penyiaran No. 32/2002 Pasal 43 ayat 1 juga bisa dijadikan dasar. Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar. Tuh kaaaan, TV parabola&kabel yg blm punya hak siar, baca tu!!!" kata akun Ety @estiryu
"Kalau Parabola & TV Kabel Berlangganan ga punya hak siar siaran FTA dan tetap cuek nyiarin, artinya melanggar UU Hak Cipta!!!" ujar akun Sip-ah @chygwn_.
Kegeraman netizen juga tampak pada tweet dari akun Al Kahfi Time @kahfitime. Dia mencutikan, "Mau jadi apa kita, gua ga habis pikir kok TV parabola dan kabel terus- terusan ga hormati hak cipta begitu, hukum harus ditegakkan!#HukumPencuriHakCiptaFTA."
Lantas, akun nanamarna @nanazahrat45 mengatakan, bila hak cipta dilindungi, maka akan berdapak baik bagi investasi di Indonesia. "Ya intinya sih, kalau hak cipta dilindungi dan pembajakan bisa diberantas, maka ini akan berdampak baik bagi iklim investasi di Tanah Air kitaaa. Setuju ngga sih??" ujarnya.
Suara netizen tersebut senada dengan Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham Agung Damarsasongko yang menegaskan lembaga penyiaran memiliki hak ekonomi atas karya siaran. Menurutnya hak ekonomi tersebut berupa memberi izin atau melarang pihak lain melakukan penyiaran ulang siaran, komunikasi siaran, fiksasi siaran, dan penggandaan fiksasi siaran.
"Setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran," kata Agung.
Senada dengan Direktorat Hak Cipta & Desain Industri Kemenkumham Anggota Bidang PS2P KPID DKI Jakarta Bambang Pamungkas menegaskan pengaturan hak siar dan hak cipta memiliki korelasi.
"Keduanya memiliki nilai ekonomi, artinya hak siar memiliki nilai kapital atau keuntungan dan hak cipta berkenaan dengan royaliti yang dibayarkan serta asas original," ungkapnya.
Hal itu berdasarkan UU 32/2002 Pasal 43 tentang hak siar yang menyebutkan pada ayat 1 bahwa setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar. Dalam penjelasannya hak siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran (ditengarai memiliki Izin Penyelenggara Penyiaran/IPP) untuk menyiarkan program atau acara yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya.
Komisi Penyiaran Indonesia menegaskan bahwa TV Kabel dan parabola berlangganan harus mendapatkan persetujuan hak siar dari pemilik materi siaran Lembaga Penyiaran Swasta (FTA) bila akan menayangkan materi siaran FTA.
Hal itu diamini oleh KPI Pusat. Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat Irsyal Ambiya menjelaskan hal itu dikarenakan setiap lembaga penyiaran harus mencantumkan hak siarnya secara jelas.
Adapun, Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPID DKI Jakarta Tri Andry meminta kepada lembaga penyiaran agar sebelum melakukan aktivitas penyiaran, maka seluruh materi siaran atau mata program acara wajib memiliki persetujuan hak menyiarkan dari lembaga penyiaran pemilik materi siaran.
"Tidak ada kompromi mengenai Hak Siar dan Hak Cipta," ujar Tri Andry.
Artinya, lanjut Tri Andry, setiap lembaga penyiaran harus berkerja sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Hak Siar dan Hak Cipta atas suatu mata acara telah dilindungi dalam undang-undang tersebut.
"Yang dimaksud Hak Siar yakni hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program dan acara tertentu yang diperoleh secara sah yang dimiliki Hak Cipta atau pencipta," katanya. Hal itu diungkapkan dalam siaran pers resmi KPID DKI Jakarta, Sabtu, (28/9/2019).
Tri Andry menambahkan kloning siaran oleh TV kabel tanpa izin tidak saja melanggar UU, namun sangat merugikan pemilik Hak Siar tersebut. Pemilik Hak Siar telah bekerja keras menghasilkan program acara, namun diedarkan seenaknya.
"Seperti kita punya pohon pisang. Kita yang kasih pupuk, menyiram dan merawat, ketika pisang itu berbuah, orang lain yang panen. Setelah dipanen, dibuat pisang goreng dan dijual, marah nggak pemiliknya?," tegas Tri Andry menjawab pertanyaan wartawan.
Tri Andry menuturkan walaupun LPS menggunakan sistem free to air (FTA) secara gratis, namun jika ada TV Kabel dan parabola berlangganan yang hendak menyiarkan, maka harus meminta izin terhadap pemilik Hak Cipta. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 25 ayat 1 dan 2 UU Hak Cipta.
Hal itu ditegaskan kembali oleh KPID DKI Jakarta dan seluruh regulator yang hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Tata Kelola Materi Siaran terhadap Hak Siar dan Hak Cipta di Lembaga Penyiaran” yang digelar oleh PS2P KPID DKI Jakarta pada Rabu, 26 September 2019.
(pur)