Kisruh Pembajakan Siaran Dinilai Tak Bisa Seenaknya Dikloning
A
A
A
JAKARTA - Materi siaran termasuk program yang ada di dalamnya, sudah sepatutnya tak boleh diambil oleh pihak lain tanpa persetujuan pemiliknya, karena tindakan tersebut merugikan pemiliknya.
Hal ini dikatakan pengamat komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing. Menurutnya Emrus, selain merugikan, bisa mematikan kreasi dan inovasi dari pencipta siaran.
"Apa pun karya manusia, apakah itu bentuk program acara atau jurnal atau artikel atau buku atau apa pun, tidak boleh diambil oleh orang lain atau lembaga lain, atau televisi lain," kata Emrus saat ditanya tentang adanya TV Kabel dan parabola berlangganan yang menggunakan materi siaran Lembaga Penyiaran Swasta (FTA) tanpa izin, Kamis (3/10/2019).
(Baca juga: Kisruh Pembajakan FTA, Pengamat: Hak Cipta Dilindungi, Investasi Nyaman)
Emrus menuturkan, kloning siaran banyak terjadi. Dalam hal ini dia memandang ada pencurian atas ide dasar dari suatu acara. Hal seperti ini seharunya tidak boleh terjadi.
"Oleh karena itu saya pikir perlu ada penegasan dibuat dalam bentuk undang-undang, supaya kloning-kloning dengan alasan apa pun tidak boleh, tapi kiterianya harus jelas dibuat," ucap akademisi yang concern dengan pembentukan RUU Penyiaran ini.
Emrus mengingatkan, tanpa adanya kloning, produser atau pencipta program acara dalam suatu siaran dapat lebih kreatif. Mereka bisa semakin berinovasi menghasilkan karya-karya.
Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang (UU) 32/2002 tentang Penyiaran menyebutkan bahwa setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki Hak Siar. Dalam penjelasannya disebutkan Hak Siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara yang diperoleh secara sah dari pemilik Hak Cipta atau penciptanya.
(Baca juga: Soal UU Hak Cipta, #BajakSiaranFTAHrsDihukum Jadi Trending Topic)
Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPID DKI Jakarta Tri Andri Supriadi meminta kepada lembaga penyiaran agar sebelum melakukan aktivitas penyiaran, maka seluruh materi siaran atau mata program acara wajib memiliki persetujuan hak menyiarkan dari lembaga penyiaran pemilik materi siaran.
"Tidak ada kompromi mengenai Hak Siar dan Hak Cipta," ujar Andri dalam siaran pers resmi KPID DKI Jakarta, Sabtu, (28/9/2019).
Artinya, kata dia, setiap lembaga penyiaran harus berkerja sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Hak Siar dan Hak Cipta atas suatu mata acara telah dilindungi dalam undang-undang tersebut.
Andri menegaskan, kloning siaran oleh TV kabel tanpa izin tidak saja melanggar UU, namun sangat merugikan pemilik Hak Siar tersebut. Pemilik Hak Siar telah bekerja keras menghasilkan program acara, namun diedarkan seenaknya.
Pernyataan regulator dalam siaran pers resmi tersebut berseberangan dengan Asosiasi Gabungan Operator TV Kabel Indonesia (GO TV). GO TV mengklaim bahwa menyiarkan siaran FTA tanpa hak siar dari FTA pemilik Hak Siar dan Hak Cipta tidak melanggar Undang-Undang.
Bahkan, beberapa waktu lalu di berbagai media GO TV melalui Wakil Ketua GO TV Mukhlis menyatakan mengecam KPID DKI Jakarta.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan bahwa TV Kabel dan parabola berlangganan harus mendapatkan persetujuan Hak Siar dari pemilik materi siaran Lembaga Penyiaran Swasta bila akan menayangkan materi siaran FTA.
Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat Irsyal Ambiya menjelaskan hal itu dikarenakan setiap lembaga penyiaran harus mencantumkan hak siarnya secara jelas.
Hal ini dikatakan pengamat komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing. Menurutnya Emrus, selain merugikan, bisa mematikan kreasi dan inovasi dari pencipta siaran.
"Apa pun karya manusia, apakah itu bentuk program acara atau jurnal atau artikel atau buku atau apa pun, tidak boleh diambil oleh orang lain atau lembaga lain, atau televisi lain," kata Emrus saat ditanya tentang adanya TV Kabel dan parabola berlangganan yang menggunakan materi siaran Lembaga Penyiaran Swasta (FTA) tanpa izin, Kamis (3/10/2019).
(Baca juga: Kisruh Pembajakan FTA, Pengamat: Hak Cipta Dilindungi, Investasi Nyaman)
Emrus menuturkan, kloning siaran banyak terjadi. Dalam hal ini dia memandang ada pencurian atas ide dasar dari suatu acara. Hal seperti ini seharunya tidak boleh terjadi.
"Oleh karena itu saya pikir perlu ada penegasan dibuat dalam bentuk undang-undang, supaya kloning-kloning dengan alasan apa pun tidak boleh, tapi kiterianya harus jelas dibuat," ucap akademisi yang concern dengan pembentukan RUU Penyiaran ini.
Emrus mengingatkan, tanpa adanya kloning, produser atau pencipta program acara dalam suatu siaran dapat lebih kreatif. Mereka bisa semakin berinovasi menghasilkan karya-karya.
Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang (UU) 32/2002 tentang Penyiaran menyebutkan bahwa setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki Hak Siar. Dalam penjelasannya disebutkan Hak Siar adalah hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara yang diperoleh secara sah dari pemilik Hak Cipta atau penciptanya.
(Baca juga: Soal UU Hak Cipta, #BajakSiaranFTAHrsDihukum Jadi Trending Topic)
Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPID DKI Jakarta Tri Andri Supriadi meminta kepada lembaga penyiaran agar sebelum melakukan aktivitas penyiaran, maka seluruh materi siaran atau mata program acara wajib memiliki persetujuan hak menyiarkan dari lembaga penyiaran pemilik materi siaran.
"Tidak ada kompromi mengenai Hak Siar dan Hak Cipta," ujar Andri dalam siaran pers resmi KPID DKI Jakarta, Sabtu, (28/9/2019).
Artinya, kata dia, setiap lembaga penyiaran harus berkerja sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Hak Siar dan Hak Cipta atas suatu mata acara telah dilindungi dalam undang-undang tersebut.
Andri menegaskan, kloning siaran oleh TV kabel tanpa izin tidak saja melanggar UU, namun sangat merugikan pemilik Hak Siar tersebut. Pemilik Hak Siar telah bekerja keras menghasilkan program acara, namun diedarkan seenaknya.
Pernyataan regulator dalam siaran pers resmi tersebut berseberangan dengan Asosiasi Gabungan Operator TV Kabel Indonesia (GO TV). GO TV mengklaim bahwa menyiarkan siaran FTA tanpa hak siar dari FTA pemilik Hak Siar dan Hak Cipta tidak melanggar Undang-Undang.
Bahkan, beberapa waktu lalu di berbagai media GO TV melalui Wakil Ketua GO TV Mukhlis menyatakan mengecam KPID DKI Jakarta.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan bahwa TV Kabel dan parabola berlangganan harus mendapatkan persetujuan Hak Siar dari pemilik materi siaran Lembaga Penyiaran Swasta bila akan menayangkan materi siaran FTA.
Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat Irsyal Ambiya menjelaskan hal itu dikarenakan setiap lembaga penyiaran harus mencantumkan hak siarnya secara jelas.
(maf)