Pengamat: Partai Koalisi Berebut Kursi, Hilang Sudah Fungsi Legislatif
A
A
A
JAKARTA - Rapat Paripurna pengesahan jadwal acara sidang pemilihan pimpinan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang digelar di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (2/10) diwarnai interupsi. Beragam sanggahan disampaikan fraksi partai politik untuk mengusung wakilnya maju sebagai Ketua dan Wakil Ketua MPR RI periode 2019-2024.
Fenomena tersebut telah diprediksi sejak lama oleh Pengamat Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio. Menurutnya, tarik menarik serta lobi-lobi politik akan berlangsung intens jelang sidang pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MPR RI yang rencana digelar hari ini, Kamis (3/10/2019).
"Begitu masuk periode kedua pemerintahan Jokowi, masing-masing Partai Politik akan mencari panggungnya sendiri-sendiri untuk menyelamatkan panggung mereka nanti di 2024. Makanya jangan heran kalau kemudian masing-masing partai politik, ketua-ketuanya juga bermanuver untuk mendapatkan jabatan publik, supaya mereka tetap terlihat di atas," kata Hendri saat dihubungi, Rabu, 2 Oktober 2019.
Peran legislatif yang senyata berfungsi sebagai pengawas eksekutif justru memudar. Bukan tanpa sebab, para legislator yang bertanggung jawab dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan pro rakyat justru kerap kali bertemu dengan presiden.
"Kalau kemudian sistem pengawasan justru yang mengawasi adalah pendukung partai politik yang kemudian berada di jaringan koalisi pemerintah, bahkan sering sekali bertemu dengan presiden untuk mendiskusikan hal-hal lobi-lobi politik, ya apa yang mau diawasi, gitu kan," ungkapnya.
Kendati demikian, Hendri meyakinkan jika harapan masih bertumpu pada terpilihnya perwakilan partai oposisi pemerintah, seperti Partai Gerindra untuk mengisi kursi Ketua MPR. Sehingga peran pengawasan tetap berjalan, bukan sebaliknya.
"Nah ini sekarang nih kejadian, tapi ya bolehlah kita masih tetap berharap kan. Nanti kita lihat di tahun ketiga, kalau kita belajar dari SBY, tahun ketiga, itu biasanya kocar-kacir partai politik. di situ kita baru bisa melihat apa pun yang dihajatkan oleh pak Jokowi akan dikritik oleh DPR. Kenapa? Panggung lagi-lagi. Semakin mengkritik pemerintah, semakin mengkritik pak Jokowi, panggungnya makin kelihatan," ungkapnya.
Manuver para elit politik itu terlihat dari penunjukkan Puan Maharani mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia periode 2019-2024. Posisinya menggeser Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang berasal dari Partai Golkar sebagai calon Ketua MPR RI periode 2019-2024.
Dukungan partai koalisi kepada Bamsoet untuk menduduki kursi Ketua MPR RI semakin menguat dalam parlemen. Hal tersebut diduga berkaitan dengan kepentingan pembentukan Menteri kabinet kerja jilid 3 pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Sehingga, tidak hanya ditunjuk sebagai pimpinan MPR, peluang partai oposisi untuk menjadi anggota MPR RI pun semakin tertutup rapat.
"Nah, jadi kemudian rakyat melihat para elit politik kemudian bagi-bagi kursi sendiri, nah itulah yang terjadi saat ini. Miris nggak? ya miris, tapi mau diapain lagi, karena mereka semua memiliki pragmatisme politik untuk 2024. Wajar nggak? ya wajar karena memang politik ujungnya kepentingan dan kekuasaan makanya mereka mempersiapkan diri dari sekarang. Buat rakyat rugi? ya rugi," pungkasnya.
Fenomena tersebut telah diprediksi sejak lama oleh Pengamat Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio. Menurutnya, tarik menarik serta lobi-lobi politik akan berlangsung intens jelang sidang pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MPR RI yang rencana digelar hari ini, Kamis (3/10/2019).
"Begitu masuk periode kedua pemerintahan Jokowi, masing-masing Partai Politik akan mencari panggungnya sendiri-sendiri untuk menyelamatkan panggung mereka nanti di 2024. Makanya jangan heran kalau kemudian masing-masing partai politik, ketua-ketuanya juga bermanuver untuk mendapatkan jabatan publik, supaya mereka tetap terlihat di atas," kata Hendri saat dihubungi, Rabu, 2 Oktober 2019.
Peran legislatif yang senyata berfungsi sebagai pengawas eksekutif justru memudar. Bukan tanpa sebab, para legislator yang bertanggung jawab dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan pro rakyat justru kerap kali bertemu dengan presiden.
"Kalau kemudian sistem pengawasan justru yang mengawasi adalah pendukung partai politik yang kemudian berada di jaringan koalisi pemerintah, bahkan sering sekali bertemu dengan presiden untuk mendiskusikan hal-hal lobi-lobi politik, ya apa yang mau diawasi, gitu kan," ungkapnya.
Kendati demikian, Hendri meyakinkan jika harapan masih bertumpu pada terpilihnya perwakilan partai oposisi pemerintah, seperti Partai Gerindra untuk mengisi kursi Ketua MPR. Sehingga peran pengawasan tetap berjalan, bukan sebaliknya.
"Nah ini sekarang nih kejadian, tapi ya bolehlah kita masih tetap berharap kan. Nanti kita lihat di tahun ketiga, kalau kita belajar dari SBY, tahun ketiga, itu biasanya kocar-kacir partai politik. di situ kita baru bisa melihat apa pun yang dihajatkan oleh pak Jokowi akan dikritik oleh DPR. Kenapa? Panggung lagi-lagi. Semakin mengkritik pemerintah, semakin mengkritik pak Jokowi, panggungnya makin kelihatan," ungkapnya.
Manuver para elit politik itu terlihat dari penunjukkan Puan Maharani mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia periode 2019-2024. Posisinya menggeser Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang berasal dari Partai Golkar sebagai calon Ketua MPR RI periode 2019-2024.
Dukungan partai koalisi kepada Bamsoet untuk menduduki kursi Ketua MPR RI semakin menguat dalam parlemen. Hal tersebut diduga berkaitan dengan kepentingan pembentukan Menteri kabinet kerja jilid 3 pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Sehingga, tidak hanya ditunjuk sebagai pimpinan MPR, peluang partai oposisi untuk menjadi anggota MPR RI pun semakin tertutup rapat.
"Nah, jadi kemudian rakyat melihat para elit politik kemudian bagi-bagi kursi sendiri, nah itulah yang terjadi saat ini. Miris nggak? ya miris, tapi mau diapain lagi, karena mereka semua memiliki pragmatisme politik untuk 2024. Wajar nggak? ya wajar karena memang politik ujungnya kepentingan dan kekuasaan makanya mereka mempersiapkan diri dari sekarang. Buat rakyat rugi? ya rugi," pungkasnya.
(pur)