Nelayan Terdakwa Suap Gubernur Kepri Tak Punya Uang Sewa Pengacara
A
A
A
JAKARTA - Abu Bakar, nelayan berpendidikan sekolah dasar (SD) hanya bisa tertunduk di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Pria kelahiran Pulau Panjang, 21 November 1983 itu hadir dalam ruang sidang dengan mengenakan batik lengan panjang bercorak dan peci hitam. Agenda persidangan adalah pembacaan surat dakwaan Nomor: 89/ TUT.01.04 /24/09/ 2019 atas nama Abu Bakar yang telah disusun Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saat persidangan dibuka, hakim menanyakan beberapa hal termasuk mengapa Abu Bakar tidak didampingi oleh tim penasihat hukum.
Abu Bakar mengatakan, selama proses penyidikan di KPK sebenarnya dirinya memiliki atau didampingi oleh kuasa hukum. Tapi saat perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan dan disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Abu Bakar tidak didampingi tim penasihat hukum.
Dia mengaku sudah tidak memiliki biaya untuk membayar jasa penasihat hukum. Akhirnya dia didampingi oleh penasihat hukum dari Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ketua JPU Yadyn mengatakan, Abu Bakar bersama-sama dengan tersangka pengusaha Kock Meng telah melakukan perbuatan pidana kurun April hingga Juli 2019 di sejumlah lokasi. Di antara di rumah Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau (Kepri) di Pelabuhan Telaga Punggur, Kota Batam, hingga di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjungpinang.
Abu Bakar diduga telah melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan yang harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, yakni memberi uang sejumlah Rp45 juta dan SGD11.000 kepada tersangka Nurdin Basirun selaku Gubernur Kepri.
Uang suap diterima Nurdin melalui tersangka Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Kepri dan Budy Hartono selaku Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Kepri.
"Dengan maksud agar Nurdin Basirun selaku Gubernur Provinsi Kepulauan Riau menandatangani Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut, yang bertentangan dengan kewajiban Nurdin Basirun selaku Gubernur Provinsi Kepulauan Riau," kata JPU Yadyn saat membacakan surat dakwaan atas nama Abu Bakar.
Dia membeberkan, seluruh uang suap berasal dari tersangka Kock Meng. Pemberian uang suap terpecah dalam dua bagian dan proses.
Pertama, pemberian Rp45 juta bermula saat Johanes Kodrat, orang kepercayaan Kock Meng memperkenalkan Abu Bakar kepada Kock Meng pada September 2018. Perkenalan terjadi saat pertemuan di Restoran Jawa Melayu di Tanjung Piayu Laut, Kota
Batam.
Dalam pertemuan, Kock Meng menyampaikan ke Abu Bakar terkait rencana Kock Meng membuka restoran di daerah Tanjung Piayu. Izin pendirian restoran sudah dimiliki oleh Kock Meng tapi belum memiliki izin pemanfaatan ruang laut. Atas penyampaian Kock Meng, Abu Bakar menjelaskan terkait izin-izin apa saja yang diperlukan dalam membuka restoran terkait dengan pemanfaatan laut. Abu Bakar juga menyampaikan ke Kock Meng bahwa Abu Bakar mengenal Budy Hartono.
"Pada pertemuan tersebut terdakwa (Abu Bakar), Kock Meng, dan Johanes Kodrat bermaksud membuat perusahaan dengan nama PT Kelong Abadi Sejahtera untuk kepentingan pembangunan dan pengelolaan restoran serta penginapan di pesisir Tanjung Piayu, Batam," kata JPU Yadyn.
Satu bulan berselang, JPU Yadyn melanjutkan, Abu Bakar dan Kock Meng menemui Budy Hartono di kantor Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Kepri untuk mengajukan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut.
Pada saat itu, Kock Meng mengajukan permohonan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut Nomor: 01/IPRL/BTM/X/2018 yang berlokasi di Tanjung Piayu, Batam seluas 50.000 m2 dan Abu Bakarmengajukan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut Nomor: 018/Per-Lam/BTM/2018 yang berlokasi di Perairan Kelurahan Sijantung Jembatan Lima Barelang, Batam seluas 20.000 m2.
"Pada pertemuan tersebut, Budy Hartono menyampaikan kepada terdakwa dan Kock Meng terkait syarat dan mekanisme pengajuan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut dengan 'biaya pengurusan' sejumlah Rp50 juta, mendengar penyampaian tersebut, terdakwa dan Kock Meng menyetujuinya," ujarnya.
Setelah tahun berganti, pada April 2019 Abu Bakar datang lagi menemui Budy Hartono di kantornya guna menanyakan permohonan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut yang sudah diajukan Abu Bakar dan Kock Meng.
Budy kemudian menyampaikan kepada Abu Bakar bahwa draf Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut sudah diajukan tapi nota dinas belum ditandatangani oleh Edy Sofyan. Karenanya drag tersebut belum bisa diajukan ke Nurdin Basirun.
"Budy Hartono juga menyampaikan kepada Terdakwa, bahwa untuk menerbitkan nota dinas diperlukan 'biaya pengurusan' sejumlah Rp50 juta yang telah disepakati sebelumnya antara Budy Hartono dengan terdakwa dan Kock Meng," imbuhnya.
JPU Yadyn mengungkapkan selepas pertemuan, kemudian Abu Bakar menemui Kock Meng dan menyampaikan pernyataan Budy.
Kock Meng menyanggupi penyediaan uang Rp50 juta. Berikutnya Kock Meng memerintahkan Johanes Kodrat agar menyerahkan uang Rp50 juta dalam pecahan Rp100.000 ke Abu Bakar. Uang tersebut dibawa dan diserahkan Johanes ke Abu Bakar di Pelabuhan Sijantung.
Abu Bakar lantas membawa keseluruhan uang dan hanya menyerahkan Rp45 juta ke Budy di rumah Edy. Sisanya yakni Rp5 juta untuk operasional Abu Bakar.
Setelah menerima dari Abu Bakar, Budy kemudian menyerahkan total Rp45 juta ke Edy. Selanjutnya Budy juga menyerahkan dua dokumen ke Abu Bakar. Satu, Nota Dinas Nomor: 523/DKP/IV/2019 yang telah ditandatangani oleh Edy selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pempy Kepri. Dua, Izin Prinsip Pemanfaatan Laut Nomor: 120/0796/DKP/SET tertanggal 7 Mei 2019 yang ditandatangani oleh Nurdin Basirun selaku Gubernur Kepri terkait permohonan Izin Pemanfaatan Ruang Laut dari Kock Meng seluas 50.000 m2 dan Abu Bakar seluas 20.000 m2.
"Edy Sofyan kemudian menggunakan uang sejumlah Rp45 juta pemberian dari Terdakwa untuk kepentingan Nurdin Basirun pada saat melakukan kunjungan ke pulau-pulau yang dilanjutkan dengan makan bersama dengan rombongan. Edy Sofyan melakukan pembayaran untuk pengeluaran kegiatan tersebut atas sepengetahuan Nurdin Basirun," tuturnya.
Pria kelahiran Pulau Panjang, 21 November 1983 itu hadir dalam ruang sidang dengan mengenakan batik lengan panjang bercorak dan peci hitam. Agenda persidangan adalah pembacaan surat dakwaan Nomor: 89/ TUT.01.04 /24/09/ 2019 atas nama Abu Bakar yang telah disusun Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saat persidangan dibuka, hakim menanyakan beberapa hal termasuk mengapa Abu Bakar tidak didampingi oleh tim penasihat hukum.
Abu Bakar mengatakan, selama proses penyidikan di KPK sebenarnya dirinya memiliki atau didampingi oleh kuasa hukum. Tapi saat perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan dan disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Abu Bakar tidak didampingi tim penasihat hukum.
Dia mengaku sudah tidak memiliki biaya untuk membayar jasa penasihat hukum. Akhirnya dia didampingi oleh penasihat hukum dari Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ketua JPU Yadyn mengatakan, Abu Bakar bersama-sama dengan tersangka pengusaha Kock Meng telah melakukan perbuatan pidana kurun April hingga Juli 2019 di sejumlah lokasi. Di antara di rumah Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau (Kepri) di Pelabuhan Telaga Punggur, Kota Batam, hingga di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjungpinang.
Abu Bakar diduga telah melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan yang harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, yakni memberi uang sejumlah Rp45 juta dan SGD11.000 kepada tersangka Nurdin Basirun selaku Gubernur Kepri.
Uang suap diterima Nurdin melalui tersangka Edy Sofyan selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Kepri dan Budy Hartono selaku Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Kepri.
"Dengan maksud agar Nurdin Basirun selaku Gubernur Provinsi Kepulauan Riau menandatangani Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut, yang bertentangan dengan kewajiban Nurdin Basirun selaku Gubernur Provinsi Kepulauan Riau," kata JPU Yadyn saat membacakan surat dakwaan atas nama Abu Bakar.
Dia membeberkan, seluruh uang suap berasal dari tersangka Kock Meng. Pemberian uang suap terpecah dalam dua bagian dan proses.
Pertama, pemberian Rp45 juta bermula saat Johanes Kodrat, orang kepercayaan Kock Meng memperkenalkan Abu Bakar kepada Kock Meng pada September 2018. Perkenalan terjadi saat pertemuan di Restoran Jawa Melayu di Tanjung Piayu Laut, Kota
Batam.
Dalam pertemuan, Kock Meng menyampaikan ke Abu Bakar terkait rencana Kock Meng membuka restoran di daerah Tanjung Piayu. Izin pendirian restoran sudah dimiliki oleh Kock Meng tapi belum memiliki izin pemanfaatan ruang laut. Atas penyampaian Kock Meng, Abu Bakar menjelaskan terkait izin-izin apa saja yang diperlukan dalam membuka restoran terkait dengan pemanfaatan laut. Abu Bakar juga menyampaikan ke Kock Meng bahwa Abu Bakar mengenal Budy Hartono.
"Pada pertemuan tersebut terdakwa (Abu Bakar), Kock Meng, dan Johanes Kodrat bermaksud membuat perusahaan dengan nama PT Kelong Abadi Sejahtera untuk kepentingan pembangunan dan pengelolaan restoran serta penginapan di pesisir Tanjung Piayu, Batam," kata JPU Yadyn.
Satu bulan berselang, JPU Yadyn melanjutkan, Abu Bakar dan Kock Meng menemui Budy Hartono di kantor Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov Kepri untuk mengajukan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut.
Pada saat itu, Kock Meng mengajukan permohonan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut Nomor: 01/IPRL/BTM/X/2018 yang berlokasi di Tanjung Piayu, Batam seluas 50.000 m2 dan Abu Bakarmengajukan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut Nomor: 018/Per-Lam/BTM/2018 yang berlokasi di Perairan Kelurahan Sijantung Jembatan Lima Barelang, Batam seluas 20.000 m2.
"Pada pertemuan tersebut, Budy Hartono menyampaikan kepada terdakwa dan Kock Meng terkait syarat dan mekanisme pengajuan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut dengan 'biaya pengurusan' sejumlah Rp50 juta, mendengar penyampaian tersebut, terdakwa dan Kock Meng menyetujuinya," ujarnya.
Setelah tahun berganti, pada April 2019 Abu Bakar datang lagi menemui Budy Hartono di kantornya guna menanyakan permohonan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut yang sudah diajukan Abu Bakar dan Kock Meng.
Budy kemudian menyampaikan kepada Abu Bakar bahwa draf Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut sudah diajukan tapi nota dinas belum ditandatangani oleh Edy Sofyan. Karenanya drag tersebut belum bisa diajukan ke Nurdin Basirun.
"Budy Hartono juga menyampaikan kepada Terdakwa, bahwa untuk menerbitkan nota dinas diperlukan 'biaya pengurusan' sejumlah Rp50 juta yang telah disepakati sebelumnya antara Budy Hartono dengan terdakwa dan Kock Meng," imbuhnya.
JPU Yadyn mengungkapkan selepas pertemuan, kemudian Abu Bakar menemui Kock Meng dan menyampaikan pernyataan Budy.
Kock Meng menyanggupi penyediaan uang Rp50 juta. Berikutnya Kock Meng memerintahkan Johanes Kodrat agar menyerahkan uang Rp50 juta dalam pecahan Rp100.000 ke Abu Bakar. Uang tersebut dibawa dan diserahkan Johanes ke Abu Bakar di Pelabuhan Sijantung.
Abu Bakar lantas membawa keseluruhan uang dan hanya menyerahkan Rp45 juta ke Budy di rumah Edy. Sisanya yakni Rp5 juta untuk operasional Abu Bakar.
Setelah menerima dari Abu Bakar, Budy kemudian menyerahkan total Rp45 juta ke Edy. Selanjutnya Budy juga menyerahkan dua dokumen ke Abu Bakar. Satu, Nota Dinas Nomor: 523/DKP/IV/2019 yang telah ditandatangani oleh Edy selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pempy Kepri. Dua, Izin Prinsip Pemanfaatan Laut Nomor: 120/0796/DKP/SET tertanggal 7 Mei 2019 yang ditandatangani oleh Nurdin Basirun selaku Gubernur Kepri terkait permohonan Izin Pemanfaatan Ruang Laut dari Kock Meng seluas 50.000 m2 dan Abu Bakar seluas 20.000 m2.
"Edy Sofyan kemudian menggunakan uang sejumlah Rp45 juta pemberian dari Terdakwa untuk kepentingan Nurdin Basirun pada saat melakukan kunjungan ke pulau-pulau yang dilanjutkan dengan makan bersama dengan rombongan. Edy Sofyan melakukan pembayaran untuk pengeluaran kegiatan tersebut atas sepengetahuan Nurdin Basirun," tuturnya.
(dam)