Parlemen Baru Diharapkan Benar-benar Jadi Saluran Aspirasi Rakyat
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Formappi, Lucius Karus menganggap, pekerjaan rumah utama yang harus dilakukan oleh DPR baru setelah dilantik kemarin adalah mengembalikan kepercayaan publik.
Puan Maharani yang terpilih sebagai Ketua DPR dan La Nyalla Mattalitti sebagai Ketua DPD serta calon Ketua MPR yang akan ditentukan hari ini dituntut bisa mengembalikan kepercayaan publik.
(Baca juga: PR Utama DPR Mengembalikan Kepercayaan Publik)
Menurut Lucius, di bidang legislasi, selain menyikapi UU KPK, yang perlu diperlihatkan tiga nahkoda baru Parlemen untuk mengembalikan kepercayaan publik juga harus dibuktikan dalam proses pembahasan beberapa RUU Kontroversial dari periode sebelumnya.
"Uji publik yang tak maksimal dilakukan sebelumnya harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh DPR baru. Jangan bikin uji publik sekadar formalitas saja," kata Lucius di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Lucius menilai, kepercayaan publik akan pulih jika pada isu-isu krusial terkait RUU kontroversial, DPR dan pimpinan parlemen baru mampu melibatkan partisipasi luas masyarakat dan menjadikan masukan publik sebagai pertimbangan utama penyusunan legislasi.
"Rakyat atau publik jangan hanya ditipu oleh basa-basi seremoni sosialisasi seperti selama ini," ujar dia.
Selain kualitas legislasi, kata Lucius, Parlemen juga punya beban kerja dalam bidang Pengawasan. Khusus di DPR, makin gemuknya koalisi pendukung pemerintah hanya baik untuk kepentingan menjaga stabilitas pemerintahan. Namun, koalisi gemuk ini punya potensi melemahkan fungsi kontrol parlemen menjadi sebagai alat stempel untuk pemerintah saja.
Katanya, Potensi parlemen baru menjadi tukang stempel makin terbuka jika DPR sebagai lembaga mengabaikan peran mereka sebagai kekuatan penyeimbang atas eksekutif. Bagaimana DPR baru bisa mencegah pelemahan parlemen seperti ini.
"Tentu saja kunci utama agar parlemen bisa menjadi kekuatan penyeimbang adalah dengan mendekatkan diri kepada rakyat dan menjadi saluran untuk aspirasi warga yang luput dalam kebijakan pemerintah," tutur dia.
"Jika DPR menjadi pendamping lidah rakyat, maka mereka bisa punya alasan untjk tetap kritis pada pemerintah sekalipun mereka merupakan bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah," imbuhnya.
Selain itu, fungsi anggaran juga menyediakan tugas buat baru buat Politisi di Senayan khususnya DPR. Di sini bagaimana memastikan anggaran tepat sasaran untuk kepentingan luas.
Tentu saja yang paling mendesak dari tugas ini adalah memastikan DPR sendiri tidak justru memanfaatkan kekuasaan budgeting mereka justru untuk menyunat anggaran yang dialokasikan untuk rakyat.
Dia menganggap, fungsi anggaran selama ini selalu dikotori dengan perilaku koruptif beberapa anggota DPR. Ini tentu saja masih sangat mungkin terjadi apalagi tuntutan akan uang banyak ini merupakan kebutuhan riil anggota dan juga parpol.
"Oleh karena itu, parlemen baru perlu membangun sistem yang memungkinkan pembahasan anggaran tidak lagi jadi bancakan koruptor ataupun parpol," ujarnya.
Ditegaskan Lucius, cukup sudah DPR menjadi ladang subur untuk bersemainya perilaku korupsi. Mengingat hampir sektor legislator ini sudah menjadi 'pesakitan hukum' karena budaya koruptif. Sehingga, ke depan budaya transparan dan akuntabel itu mesti bisa diaplikasikan melalui aksi yang nyata agar bisa dipercaya publik.
Selanjutnya, tuntutan akan parlemen yang modern dan kuat itu menjadi tugas bersama anggota DPR baru. Karenanya sejak awal anggota DPR harus sudah terbiasa menggunakan kemajuan teknologi informasi untuk mendekatkan diri kepada rakyat.
"Kekuatan parlemen modern bukan pada semakin canggihnya perangkat teknologi tetapi pada kualitas penggunaan teknologi untuk menjadikan DPR semakin dekat dengan rakyat yang diwakili," ujar Lucius menandaskan.
Puan Maharani yang terpilih sebagai Ketua DPR dan La Nyalla Mattalitti sebagai Ketua DPD serta calon Ketua MPR yang akan ditentukan hari ini dituntut bisa mengembalikan kepercayaan publik.
(Baca juga: PR Utama DPR Mengembalikan Kepercayaan Publik)
Menurut Lucius, di bidang legislasi, selain menyikapi UU KPK, yang perlu diperlihatkan tiga nahkoda baru Parlemen untuk mengembalikan kepercayaan publik juga harus dibuktikan dalam proses pembahasan beberapa RUU Kontroversial dari periode sebelumnya.
"Uji publik yang tak maksimal dilakukan sebelumnya harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh DPR baru. Jangan bikin uji publik sekadar formalitas saja," kata Lucius di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Lucius menilai, kepercayaan publik akan pulih jika pada isu-isu krusial terkait RUU kontroversial, DPR dan pimpinan parlemen baru mampu melibatkan partisipasi luas masyarakat dan menjadikan masukan publik sebagai pertimbangan utama penyusunan legislasi.
"Rakyat atau publik jangan hanya ditipu oleh basa-basi seremoni sosialisasi seperti selama ini," ujar dia.
Selain kualitas legislasi, kata Lucius, Parlemen juga punya beban kerja dalam bidang Pengawasan. Khusus di DPR, makin gemuknya koalisi pendukung pemerintah hanya baik untuk kepentingan menjaga stabilitas pemerintahan. Namun, koalisi gemuk ini punya potensi melemahkan fungsi kontrol parlemen menjadi sebagai alat stempel untuk pemerintah saja.
Katanya, Potensi parlemen baru menjadi tukang stempel makin terbuka jika DPR sebagai lembaga mengabaikan peran mereka sebagai kekuatan penyeimbang atas eksekutif. Bagaimana DPR baru bisa mencegah pelemahan parlemen seperti ini.
"Tentu saja kunci utama agar parlemen bisa menjadi kekuatan penyeimbang adalah dengan mendekatkan diri kepada rakyat dan menjadi saluran untuk aspirasi warga yang luput dalam kebijakan pemerintah," tutur dia.
"Jika DPR menjadi pendamping lidah rakyat, maka mereka bisa punya alasan untjk tetap kritis pada pemerintah sekalipun mereka merupakan bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah," imbuhnya.
Selain itu, fungsi anggaran juga menyediakan tugas buat baru buat Politisi di Senayan khususnya DPR. Di sini bagaimana memastikan anggaran tepat sasaran untuk kepentingan luas.
Tentu saja yang paling mendesak dari tugas ini adalah memastikan DPR sendiri tidak justru memanfaatkan kekuasaan budgeting mereka justru untuk menyunat anggaran yang dialokasikan untuk rakyat.
Dia menganggap, fungsi anggaran selama ini selalu dikotori dengan perilaku koruptif beberapa anggota DPR. Ini tentu saja masih sangat mungkin terjadi apalagi tuntutan akan uang banyak ini merupakan kebutuhan riil anggota dan juga parpol.
"Oleh karena itu, parlemen baru perlu membangun sistem yang memungkinkan pembahasan anggaran tidak lagi jadi bancakan koruptor ataupun parpol," ujarnya.
Ditegaskan Lucius, cukup sudah DPR menjadi ladang subur untuk bersemainya perilaku korupsi. Mengingat hampir sektor legislator ini sudah menjadi 'pesakitan hukum' karena budaya koruptif. Sehingga, ke depan budaya transparan dan akuntabel itu mesti bisa diaplikasikan melalui aksi yang nyata agar bisa dipercaya publik.
Selanjutnya, tuntutan akan parlemen yang modern dan kuat itu menjadi tugas bersama anggota DPR baru. Karenanya sejak awal anggota DPR harus sudah terbiasa menggunakan kemajuan teknologi informasi untuk mendekatkan diri kepada rakyat.
"Kekuatan parlemen modern bukan pada semakin canggihnya perangkat teknologi tetapi pada kualitas penggunaan teknologi untuk menjadikan DPR semakin dekat dengan rakyat yang diwakili," ujar Lucius menandaskan.
(maf)