Membatasi Akses Gadget Agar Anak Gemar Membaca
A
A
A
RUMAH kontrakan berukuran sekitar 4x5 meter persegi di gang Assofa IV Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat itu tampak penuh sesak dengan tumpukan barang.
Sore itu, seperti biasanya gang selebar 3 meter itu dipenuhi anak-anak kecil sedang bermain. Meskipun lingkungan di kawasan itu sempit, namun kebersihan lingkungan tetap terjaga. Dadan Rustan (54) sang Ketua Rukun Tetangga (RT) di lingkungan itu kerap mengajak warganya untuk membersihkan lingkungan, sekali dalam sepekan.
Farhan (13) dan Keisha (9) sedang asyik membuka buku-buku pelajaran sekolah. Tak jarang suara teriakan dari sang ibu Lusiana (33) terdengar nyaring membahana mengingatkan kedua buah hatinya agar serius belajar. Meskipun anak-anak seusianya asyik bermain game di smartphone di ujung gang, keduanya sama sekali tak tergoda.
“Sejak sekolah dasar kelas 5 di SDN Kebayoran Lama, saya jauhkan Farhan dari gadget, begitupula Keisha. Selain agar lebih senang membaca buku, juga untuk menjaga kesehatan matanya," ujar Lusy, begitu Lusiana biasa dipanggil, saat ditemui Minggu (29/9/2019).
Farhan dan Keisha lebih banyak diawasai oleh ibunya, maklum, sang ayah sebagai tulang punggung keluarga harus berangkat pagi hari untuk berjualan kain di Pasar Cipulir dan pulang menjelang maghrib.
Sebagai keluarga perantauan asal Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) Lusy tetap menanamkan nilai-nilai religius di tengah kehidupan metropolitan. Namun demikian, bukan berarti Lusy mengharamkan anak-anaknya untuk mengikuti perkembangan teknologi, tetapi membatasinya.
"Untuk main handphone, biasanya saat ayahnya pulang. Itu pun menggunakan handphone milik ayahnya. Keduanya tidak pernah saya belikan handphone," paparnya.
Bukan karena ketidakmampuan untuk membeli, namun Lusy lebih melihat pada aspek kebutuhan. "Anak seusia mereka belum perlu handphone atau smartphone. Karena berangkat sekolah saya antar pulang saya jemput jadi komunikasi bisa secara langsung," tegasnya.
Malahan, Lusy memilih untuk membiayai anaknya kursus mengoperasikan komputer. "Itu lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan main handphone," tegasnya.
Tak hanya itu, saat Farhan dan Keisha masih balita, Lusy dan suaminya bergantian membacakan sebuah cerita kepada buah hatinya. Lusy juga kerap mendampingi buah hatinya saat belajar di rumah. "Apa saja yang diajarkan oleh guru di sekolah hari itu saya minta kepada mereka untuk membaca ulang," katanya.
Tak jarang, anak-anaknya juga diajak membaca berita di koran atau tabloid yang terkadang dibawa oleh suaminya sepulang dari bekerja. "Membaca buku, majalah, koran menurut saya lebih memberikan pengetahuan. Karena di sosial media banyak hoaks yang sekarang bisa diakses dan memengaruhi anak-anak," paparnya.
Apa yang dilakukan oleh Lusy itu perlu pula dilakukan oleh orang tua lainnya. Sebab, upaya menumbuhkan budaya membaca di kalangan anak-anak dan generasi muda di Tanah Air tidak hanya menjadi tugas para guru atau tenaga pendidik di sekolah, tetapi juga membutuhkan peran keluarga.
Dengan peran keluarga, akan memupuk minat baca anak-anak. Apalagi, hasil riset yang bertajuk The World’s Most Literate Nations (WMLN) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 70 negara
Hal itu pula yang mendorong Gunawan Salim, salah satu eksekutif perusahaan asuransi nasional untuk membantu meningkatkan budaya membaca dan minat baca anak-anak. “Sejak tahun lalu kami fokus membantu meningkatkan budaya literasi anak-anak. Mulai dari pendidikan anak usia dini atau PAUD hingga sekolah dasar," paparnya.
Gunawan mengungkapkan, perusahaannya menyumbangkan 5.000 buku ke sekolah-sekolah yang disambut antusias oleh anak-anak. "Bahkan, saat kami membuka taman baca atau perpustakaan, anak-anak yang umumnya dari keluarga kurang mampu itu berebut untuk membaca buku," katanya.
Apa yang dilakukan itu, kata dia, semata-mata ingin membantu pemerintah dalam meningkatkan budaya membaca sejak dini di lingkungan anak-anak. "Karena menurut kami dengan sering membaca maka wawasan dan pengetahuan akan bertambah. Itu penting bagi anak-anak itu sebagai generasi penerus," paparnya.
Literasi, memang memiliki banyak dimensi. Di antaranya ada literasi keluarga, literasi sekolah, dan literasi masyarakat. Untuk meningkatkan literasi, tidak hanya dibebankan kepada sekolah, tetapi juga juga stakeholder lain seperti masyarakat dan keluarga. Mengajarkan anak untuk membaca juga harus disertai dengan pemahaman, dan menekankan pentingnya memahami apa yang dibaca kepada anak, bukan sekadar membaca.
Literasi Tak Sekadar Membaca Buku
Literasi dinilai sebagai ruh dari segala bentuk pendidikan yang ada. Namun, literasi tak berhenti pada kegiatan membaca saja, tetapi bagaimana kegiatan membaca itu memiliki makna sehingga menghasilkan sebuah gagasan, ide dan karya.
Dengan membaca, seseorang diharapkan bisa memiliki imajinasi dan inspirasi untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga dan masyarakat.
"Literasi itu tidak hanya membaca buku saja. Melalui membaca itu kemudian seseorang memiliki perspektif baru, kemudian membuat karya," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy beberapa waktu lalu.
Mendikbud berharap agar program literasi yang dijalankan dapat tertanam dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga. "Bagaimana menanamkan gemar membaca, gemar menulis, gemar berimajinasi, itu yang harus terus kita dorong," tegas Mendikbud.
Guru sudah seharusnya dapat membimbing dan merangsang siswa untuk berkreasi dari referensi yang telah dibaca. Para tenaga pendidik juga diharapkan tidak sekadar mewajibkan para siswa untuk membaca buku saja, tetapi juga merangsang agar para siswa bisa terpancing untuk melakukan diskusi sehat. Sehingga melatih daya kritis dan kemampuan berkomunikasi para siswa.
"Literasi harus bisa merangsang anak untuk berimajinasi terhadap apa yang dia baca. Selanjutnya mengekspresikan mengenai apa yang sudah dibaca. Dan mampu membuat karya dari apa yang sudah dibaca," jelas Mendikbud.
Pada peta jalan Gerakan Literasi Nasional (GLN) 2016—2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan enam literasi dasar yang wajib dikembangkan melalui tripusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat). Di antaranya literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial serta literasi budaya dan kewarganegaraan.
Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemdikbud Harris Iskandar dalam peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) 2019 di Makassar beberapa waktu lalu menegaskan, budaya lokal dapat mendorong literasi masyarakat.
Menurut dia, pendidikan juga harus dimulai dari keluarga. Karena keluarga akan membentuk karakter anak. Orang tua murid juga menjadi sumber ilmu bagi anak-anak. Termasuk mengajarkan anak bersikap toleran dan menghargai keberagaman. "Literasi tidak hanya cukup membaca, menulis, dan berhitung saja. Ke depan, juga harus ditingkatkan literasi digital," tegasnya.
Sore itu, seperti biasanya gang selebar 3 meter itu dipenuhi anak-anak kecil sedang bermain. Meskipun lingkungan di kawasan itu sempit, namun kebersihan lingkungan tetap terjaga. Dadan Rustan (54) sang Ketua Rukun Tetangga (RT) di lingkungan itu kerap mengajak warganya untuk membersihkan lingkungan, sekali dalam sepekan.
Farhan (13) dan Keisha (9) sedang asyik membuka buku-buku pelajaran sekolah. Tak jarang suara teriakan dari sang ibu Lusiana (33) terdengar nyaring membahana mengingatkan kedua buah hatinya agar serius belajar. Meskipun anak-anak seusianya asyik bermain game di smartphone di ujung gang, keduanya sama sekali tak tergoda.
“Sejak sekolah dasar kelas 5 di SDN Kebayoran Lama, saya jauhkan Farhan dari gadget, begitupula Keisha. Selain agar lebih senang membaca buku, juga untuk menjaga kesehatan matanya," ujar Lusy, begitu Lusiana biasa dipanggil, saat ditemui Minggu (29/9/2019).
Farhan dan Keisha lebih banyak diawasai oleh ibunya, maklum, sang ayah sebagai tulang punggung keluarga harus berangkat pagi hari untuk berjualan kain di Pasar Cipulir dan pulang menjelang maghrib.
Sebagai keluarga perantauan asal Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) Lusy tetap menanamkan nilai-nilai religius di tengah kehidupan metropolitan. Namun demikian, bukan berarti Lusy mengharamkan anak-anaknya untuk mengikuti perkembangan teknologi, tetapi membatasinya.
"Untuk main handphone, biasanya saat ayahnya pulang. Itu pun menggunakan handphone milik ayahnya. Keduanya tidak pernah saya belikan handphone," paparnya.
Bukan karena ketidakmampuan untuk membeli, namun Lusy lebih melihat pada aspek kebutuhan. "Anak seusia mereka belum perlu handphone atau smartphone. Karena berangkat sekolah saya antar pulang saya jemput jadi komunikasi bisa secara langsung," tegasnya.
Malahan, Lusy memilih untuk membiayai anaknya kursus mengoperasikan komputer. "Itu lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan main handphone," tegasnya.
Tak hanya itu, saat Farhan dan Keisha masih balita, Lusy dan suaminya bergantian membacakan sebuah cerita kepada buah hatinya. Lusy juga kerap mendampingi buah hatinya saat belajar di rumah. "Apa saja yang diajarkan oleh guru di sekolah hari itu saya minta kepada mereka untuk membaca ulang," katanya.
Tak jarang, anak-anaknya juga diajak membaca berita di koran atau tabloid yang terkadang dibawa oleh suaminya sepulang dari bekerja. "Membaca buku, majalah, koran menurut saya lebih memberikan pengetahuan. Karena di sosial media banyak hoaks yang sekarang bisa diakses dan memengaruhi anak-anak," paparnya.
Apa yang dilakukan oleh Lusy itu perlu pula dilakukan oleh orang tua lainnya. Sebab, upaya menumbuhkan budaya membaca di kalangan anak-anak dan generasi muda di Tanah Air tidak hanya menjadi tugas para guru atau tenaga pendidik di sekolah, tetapi juga membutuhkan peran keluarga.
Dengan peran keluarga, akan memupuk minat baca anak-anak. Apalagi, hasil riset yang bertajuk The World’s Most Literate Nations (WMLN) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 70 negara
Hal itu pula yang mendorong Gunawan Salim, salah satu eksekutif perusahaan asuransi nasional untuk membantu meningkatkan budaya membaca dan minat baca anak-anak. “Sejak tahun lalu kami fokus membantu meningkatkan budaya literasi anak-anak. Mulai dari pendidikan anak usia dini atau PAUD hingga sekolah dasar," paparnya.
Gunawan mengungkapkan, perusahaannya menyumbangkan 5.000 buku ke sekolah-sekolah yang disambut antusias oleh anak-anak. "Bahkan, saat kami membuka taman baca atau perpustakaan, anak-anak yang umumnya dari keluarga kurang mampu itu berebut untuk membaca buku," katanya.
Apa yang dilakukan itu, kata dia, semata-mata ingin membantu pemerintah dalam meningkatkan budaya membaca sejak dini di lingkungan anak-anak. "Karena menurut kami dengan sering membaca maka wawasan dan pengetahuan akan bertambah. Itu penting bagi anak-anak itu sebagai generasi penerus," paparnya.
Literasi, memang memiliki banyak dimensi. Di antaranya ada literasi keluarga, literasi sekolah, dan literasi masyarakat. Untuk meningkatkan literasi, tidak hanya dibebankan kepada sekolah, tetapi juga juga stakeholder lain seperti masyarakat dan keluarga. Mengajarkan anak untuk membaca juga harus disertai dengan pemahaman, dan menekankan pentingnya memahami apa yang dibaca kepada anak, bukan sekadar membaca.
Literasi Tak Sekadar Membaca Buku
Literasi dinilai sebagai ruh dari segala bentuk pendidikan yang ada. Namun, literasi tak berhenti pada kegiatan membaca saja, tetapi bagaimana kegiatan membaca itu memiliki makna sehingga menghasilkan sebuah gagasan, ide dan karya.
Dengan membaca, seseorang diharapkan bisa memiliki imajinasi dan inspirasi untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga dan masyarakat.
"Literasi itu tidak hanya membaca buku saja. Melalui membaca itu kemudian seseorang memiliki perspektif baru, kemudian membuat karya," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy beberapa waktu lalu.
Mendikbud berharap agar program literasi yang dijalankan dapat tertanam dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga. "Bagaimana menanamkan gemar membaca, gemar menulis, gemar berimajinasi, itu yang harus terus kita dorong," tegas Mendikbud.
Guru sudah seharusnya dapat membimbing dan merangsang siswa untuk berkreasi dari referensi yang telah dibaca. Para tenaga pendidik juga diharapkan tidak sekadar mewajibkan para siswa untuk membaca buku saja, tetapi juga merangsang agar para siswa bisa terpancing untuk melakukan diskusi sehat. Sehingga melatih daya kritis dan kemampuan berkomunikasi para siswa.
"Literasi harus bisa merangsang anak untuk berimajinasi terhadap apa yang dia baca. Selanjutnya mengekspresikan mengenai apa yang sudah dibaca. Dan mampu membuat karya dari apa yang sudah dibaca," jelas Mendikbud.
Pada peta jalan Gerakan Literasi Nasional (GLN) 2016—2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan enam literasi dasar yang wajib dikembangkan melalui tripusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat). Di antaranya literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial serta literasi budaya dan kewarganegaraan.
Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemdikbud Harris Iskandar dalam peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) 2019 di Makassar beberapa waktu lalu menegaskan, budaya lokal dapat mendorong literasi masyarakat.
Menurut dia, pendidikan juga harus dimulai dari keluarga. Karena keluarga akan membentuk karakter anak. Orang tua murid juga menjadi sumber ilmu bagi anak-anak. Termasuk mengajarkan anak bersikap toleran dan menghargai keberagaman. "Literasi tidak hanya cukup membaca, menulis, dan berhitung saja. Ke depan, juga harus ditingkatkan literasi digital," tegasnya.
(cip)