Kepala BNPB Ingatkan Membakar Gambut Sama Halnya Membakar Batu Bara
A
A
A
JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan masih terus berlanjut. Karhutla paling parah terjadi di lahan gambut.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo mengingatkan gambut merupakan fosil batubara muda jika terbakar sama halnya dengan membakar batubara.
“Sebagai informasi dan saya mengumpulkan data dari kawan-kawan termasuk dari Badan Restorasi Gambut bahwa gambut ini adalah fosil batubara muda, lantas pemerintah Jerman pernah menggunakan gambut sebagai bahan bakar untuk industri militer. Kalau sesuai dengan data ini, dalam keadaan kering dibakar atau terbakar berarti sama dengan membakar batu bara. Hanya mungkin kadar bahan bakarnya rendah,” ujarnya dalam dialog ‘Antisipasi Karhutla Berlanjut’ di Ruang Serba Guna Dr Sutopo Purwo Nugroho, Graha BNPB, Jakarta (26/9/2019).
Doni juga mengataka kemarau yang sangat panjang di tahun 2019 ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2015, sehingga menimbulkan kekeringan di semua lahan gambut. “Terbukti dengan bebagai upaya yang telah dilakukan, sudah menggunakan selang, air ribuan kubik dengan pasukan darat, telah gunakan helikopter dengan water boombing, hampir 49 unit. Heli dari BNPB 42 unit ditambah KLHK dan beberapa perusahaan dan tidak mempan. Bahkan ada di beberapa tempat telah dilakukan 7 hari berturut-turut dengan sekitar 2 sampai 3 unit disiramkan water boombing juga tidak mempan,” jelasnya.
Sekarang ini, kata Doni titik kebakaran sudah jauh berkurang. Dengan bantuan dari modifikasi cuaca dan kerja sama yang sangat baik dengan BPPT, BMKG, dibantu pesawat dari Panglima TNI.
"Dimana Mabes TNI mengirimkan CN135 Hercules 2 unit untuk di Sumatera dan 1 CASA dan di Kalimantan CN195 dan Casa. Setelah Bapak Presiden berkunjung ke Riau dan memerintahkan untuk modifikasi cuaca, dan pelaksanaan operasi terus berjalan,” ucapnya.
Bahkan di semua tempat termasuk Jambi yang sempat terjadi asap pekat juga sudah berkurang dan bahkan turun hujan. Upaya yang dilakukan BNPB awalnya menabur kapur tohor kemudian menyemai.
"Dan alhamdulillah untuk pertama kali Jambi turun hujan. Berturut-turut juga hujan di wilayah Sumatera Selatan. Upaya kita tidak berakhir, kita masih berjuang hingga pertengahan Oktober setelah hujan natural itu turun, dan setelah gambut semuanya bisa basah,” tuturnya.
Doni menjelaskan selama gambut basah hanya atasnya saja, bagian bawah masih tetap menyala bara api. Bahkan, ada di salah satu daerah yang gambut digali ternyata sampai di kedalaman 7 meter bara api masih ada. Jadi melihat kebakaran di Indonesia, tentu berbeda melihat kebakaran negara lain yang sebagian lahanya adalah lahan mineral.
"Kalau toh ada negara yang kebetulan lahan gambut besar seperti Rusia dan Kanada, ketebalan gambutnya jarang yang lebih dari 2 meter. Di negara kita gambut itu dalamnya bukan hanya 2 meter, 10 meter, 20 meter bahkan ada yang mencapai 36 meter.”
“Kita bisa membandingkan volume bahan bakar atau fosil batubara muda ini di Indonesia dengan di negara lain. Jadi kalau gambut kita biarkan terbakar, dan upaya pemadaman terlambat maka terjadi kebakaran yang luas, dengan water boombing tidak mempan, teknologi modifikasi cuaca hanya sementara. Pasti tiga hari kemudian akan muncul api jika tetap tidak dibasahi,” sambung Doni.
Doni menegaskan bahwa pembasahan lahan gambut untuk mengantisipasi Karhutla adalah pekerjaan yang luar biasa, menjadi ancaman permanen, dan solusi pun harus permanen. “Bagaimana solusinya? Tidak sulit, kalau semua pejabat di daerah mau memperhitungkan, memperhatikan bahwa gambut kodratnya harus basah, harus dijaga harus tetap basah maka jika ada kebakaran pun rasa-rasanya tidak sulit."
"Jika ada kebakaran pun hanya ada 40 cm yang kering, kita tidak sulit untuk memadamkannya. Kenyataanya apa? Hampir semuanya gambut kita kering, dan kita bersandar di pusat. Padahal dari Februari kita sudah melakukan sosialisasi. Ini yang harus dibenahi, kebakaran ini tidak bisa oleh pusat saja yang menyelesaikan, butuh kerjasama semua pihak,” tutupnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo mengingatkan gambut merupakan fosil batubara muda jika terbakar sama halnya dengan membakar batubara.
“Sebagai informasi dan saya mengumpulkan data dari kawan-kawan termasuk dari Badan Restorasi Gambut bahwa gambut ini adalah fosil batubara muda, lantas pemerintah Jerman pernah menggunakan gambut sebagai bahan bakar untuk industri militer. Kalau sesuai dengan data ini, dalam keadaan kering dibakar atau terbakar berarti sama dengan membakar batu bara. Hanya mungkin kadar bahan bakarnya rendah,” ujarnya dalam dialog ‘Antisipasi Karhutla Berlanjut’ di Ruang Serba Guna Dr Sutopo Purwo Nugroho, Graha BNPB, Jakarta (26/9/2019).
Doni juga mengataka kemarau yang sangat panjang di tahun 2019 ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2015, sehingga menimbulkan kekeringan di semua lahan gambut. “Terbukti dengan bebagai upaya yang telah dilakukan, sudah menggunakan selang, air ribuan kubik dengan pasukan darat, telah gunakan helikopter dengan water boombing, hampir 49 unit. Heli dari BNPB 42 unit ditambah KLHK dan beberapa perusahaan dan tidak mempan. Bahkan ada di beberapa tempat telah dilakukan 7 hari berturut-turut dengan sekitar 2 sampai 3 unit disiramkan water boombing juga tidak mempan,” jelasnya.
Sekarang ini, kata Doni titik kebakaran sudah jauh berkurang. Dengan bantuan dari modifikasi cuaca dan kerja sama yang sangat baik dengan BPPT, BMKG, dibantu pesawat dari Panglima TNI.
"Dimana Mabes TNI mengirimkan CN135 Hercules 2 unit untuk di Sumatera dan 1 CASA dan di Kalimantan CN195 dan Casa. Setelah Bapak Presiden berkunjung ke Riau dan memerintahkan untuk modifikasi cuaca, dan pelaksanaan operasi terus berjalan,” ucapnya.
Bahkan di semua tempat termasuk Jambi yang sempat terjadi asap pekat juga sudah berkurang dan bahkan turun hujan. Upaya yang dilakukan BNPB awalnya menabur kapur tohor kemudian menyemai.
"Dan alhamdulillah untuk pertama kali Jambi turun hujan. Berturut-turut juga hujan di wilayah Sumatera Selatan. Upaya kita tidak berakhir, kita masih berjuang hingga pertengahan Oktober setelah hujan natural itu turun, dan setelah gambut semuanya bisa basah,” tuturnya.
Doni menjelaskan selama gambut basah hanya atasnya saja, bagian bawah masih tetap menyala bara api. Bahkan, ada di salah satu daerah yang gambut digali ternyata sampai di kedalaman 7 meter bara api masih ada. Jadi melihat kebakaran di Indonesia, tentu berbeda melihat kebakaran negara lain yang sebagian lahanya adalah lahan mineral.
"Kalau toh ada negara yang kebetulan lahan gambut besar seperti Rusia dan Kanada, ketebalan gambutnya jarang yang lebih dari 2 meter. Di negara kita gambut itu dalamnya bukan hanya 2 meter, 10 meter, 20 meter bahkan ada yang mencapai 36 meter.”
“Kita bisa membandingkan volume bahan bakar atau fosil batubara muda ini di Indonesia dengan di negara lain. Jadi kalau gambut kita biarkan terbakar, dan upaya pemadaman terlambat maka terjadi kebakaran yang luas, dengan water boombing tidak mempan, teknologi modifikasi cuaca hanya sementara. Pasti tiga hari kemudian akan muncul api jika tetap tidak dibasahi,” sambung Doni.
Doni menegaskan bahwa pembasahan lahan gambut untuk mengantisipasi Karhutla adalah pekerjaan yang luar biasa, menjadi ancaman permanen, dan solusi pun harus permanen. “Bagaimana solusinya? Tidak sulit, kalau semua pejabat di daerah mau memperhitungkan, memperhatikan bahwa gambut kodratnya harus basah, harus dijaga harus tetap basah maka jika ada kebakaran pun rasa-rasanya tidak sulit."
"Jika ada kebakaran pun hanya ada 40 cm yang kering, kita tidak sulit untuk memadamkannya. Kenyataanya apa? Hampir semuanya gambut kita kering, dan kita bersandar di pusat. Padahal dari Februari kita sudah melakukan sosialisasi. Ini yang harus dibenahi, kebakaran ini tidak bisa oleh pusat saja yang menyelesaikan, butuh kerjasama semua pihak,” tutupnya.
(kri)