BNPB: Mengembalikan Ekosistem Gambut Jadi Upaya Mitigasi Karhutla

Senin, 23 September 2019 - 16:16 WIB
BNPB: Mengembalikan...
BNPB: Mengembalikan Ekosistem Gambut Jadi Upaya Mitigasi Karhutla
A A A
JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) saat ini masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memaparkan kerusakan lahan gambut menjadi penyebab terparah kebakaran hutan dan lahan.

Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Bernardus Wisnu Wijaya mengatakan selama belum bisa mengembalikan lahan gambut sebagai lahan resapan air maka kebakaran hutan akan terus berlangsung setiap tahunnya.

“Upaya mitigasi harus terus dilakukan, tapi selama kita belum bisa mengembalikan ekosistem gambut sebagai daerah rawa yang banyak airnya kita terus akan menghadapi ancaman kebakaran hutan dan lahan,” ujar Bernardus dalam Forum Merdeka Barat 9 dengan tema ‘Tanggap Bencana Karhutla’ di Jakarta, Senin (23/9/2019).

“Memang bencana, risiko bencana itu memang sangat dinamis. Jadi sangat dipengaruhi oleh alamnya juga, untuk kekeringan tahun ini juga lebih kering dibandingkan dengan 2016 lalu. Jadi kalau ancamannya meningkat itu memang banyak hal yang akan terjadi khususnya di dalam bencana. Dan ini merupakan proses yang cukup panjang karena kerusakan juga masif karena di lingkungan,” sambungnya.

Bernardus mengingatkan proses mitigasi dengan mengembalikan lahan gambut menjadi daerah ekosostem serapan air harus terus dilakukan oleh semua pihak. “Jadi fungsi-fungsi pencegahan ini harus dilakukan oleh semua pihak. Harus kita dorong untuk bagaimana masalah ini bisa diatasi. Upaya yang kita lakukan tidak serta merta on off langsung berubah, itu tidak. Sekarang moratorium gambut sudah dilaksanakan, kemudian juga penegakan hukum yang begitu ketat juga sudah dilakukan tindakan-tindakannya untuk pencegahan,” jelasnya.

Selain itu, Bernardus mengatakan bahwa kesadaran masyarakat akan bahaya pembukaan lahan gambut juga harus ditingkatkan. Masalah mendasar adalah mata pencaharian masyarakat dengan membuka lahan gambut, karena apapun ini masalah perut.

"Dan selama ini belum bisa kita atasi ini akan terus terjadi ancaman-ancaman kebakaran hutan dan asap ini. Kami pun telah menggandeng para pengusaha untuk memperbaiki lagi mengajak masyarakat untuk tidak membakar. Kita harus sesuaikan tanaman-tanaman yang di tanam disana, yang sesuai dengan habitat gambut dan rawa-rawa,” tandasnya.

“Kalau kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita. Kalau kita melihat kejadian bencana Karhutla dan Asap ini, ini adalah suatu kerusakan lingkungan karena ulah manusia 99 persen diantaranya. Kalau kita melihat segitiga api, kenapa api bisa muncul? Karena ada oksigen bahan bakar dan panas,” sambung Bernardus.

Dia menjelaskan saat ini oksigen ada dimana-mana, bahan bakarannya karena ada kerusakan menumpuk gambut yang kering yang sifatnya seharusnya menyimpan air, tetapi karena ulah manusia sudah dibikin kanal tapi tidak ada tutupnya air kemudian mengalir keluar, sehingga membuat bahan bakaran yang cukup tebal.

Nah kemudian panasnya darimana? Dari titik api yang disulut sengaja oleh manusia. Ini yang menjadi problem kita.

“Oleh karena itu, saat ini kita mencoba operasi besar-besaran untuk mencoba untuk pencegahan. Satu adalah bagaimana agar bahan bakaran ini tidak dibakar oleh manusia. Yang kita lakukan adalah pertama ada operasi darat yang ada 9 ribu dan lebih dari 21 ribu personel baik dari pusat maupun daerah, kemudian semua instansi,” jelasnya.

Bernardus juga menceritakan bahwa ada penelitian yang cukup menarik dan bisa diterapkan oleh masyarakat agar tidak membuka lahan gambut sebagai lahan perkebunan. “Sebenarnya ada yang bisa menjadi potensi, bahwa tanaman sagu bisa diubah menjadi gula yang lebih baik daripara jagung. Kemudian meranti yang pada 2016 lalu terbakar, tahun ini tanaman-tanaman seperti itu tahun ini tidak banyak terbakar. Hal-hal semacam ini yang kita dorong untuk kita bisa mengatasi itu secara permanen. Karena bencana ini permanen, maka kita harus mengatasi secara permanen,” tutupnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1150 seconds (0.1#10.140)