Ratu Yogya dan Puteh Terancam Tak Bisa Mencalonkan Pimpinan DPD
Sabtu, 21 September 2019 - 09:41 WIB

Ratu Yogya dan Puteh Terancam Tak Bisa Mencalonkan Pimpinan DPD
A
A
A
JAKARTA - Keluarnya Tata tertib (Tatib) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru berdampak terhadap perebutan kursi pimpinan DPD. Ada sejumlah aturan yang bisa menjegal sejumlah anggota DPD terpilih yang ingin menyalonkan diri sebagai pimpinan.
Di antaranya, Ratu Yogyakarta GKR Hemas dan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Pencalonan pimpinan DPD diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) Tatib DPD. Dalam poin b disebutkan sejumlah syarat, di antaranya calon pimpinan DPD tidak dalam berstatus sebagai tersangka, dan tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib dan kode etik yang ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan (BK) DPD.
Tatib itu jelas akan mengganjal pencalonan Abdullah Puteh dan GKR Hemas. Abdullah Puteh terganjal aturan itu karena berstatus terdakwa dalam kasus penipuan terhadap seorang investor, Herry Laksmono. Bahkan, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) menjatuhi hukuman 1,5 tahun penjara karena Puteh terbukti bersalah.
Sedangkan Ratu Kesultanan Yogyakarta GKR Hemas terganjal oleh status pemecatan yang pernah dijatuhkan BK. Pemberhentian tetap terhadap Hemas diumumkan dalam Sidang Paripurna DPD pada 29 Maret lalu. Hemas dinilai membolos dalam Sidang Paripurna DPD maupun kegiatan lainnya.
Anggota DPD Muhammad Asri Anas mengatakan, tatib DPD yang catat hukum itu jelas-jelas dibuat untuk menjegal Hemas untuk menyalonkan sebagai pimpinan DPD. Selama ini tidak pernah ada larangan bagi senator untuk menyalonkan sebagai pimpinan DPD. Semua senator mempunyai hak yang sama. "Ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," kata senator asal Sumatera Barat itu.
Afnan Hadikusumo, anggota DPD dari Yogyakarta beranggapan, tatib DPD belum disahkan. Sebab, pengesahan dalam rapat paripurna di lembaga politik selalu ditanyakan terlebih dulu kepada anggota. Setelah itu baru di ketuk palu. Kemudian dibacakan hasil keputusannya. "Ini sama sekali tidak melalui prosedur," terangnya.
Ketua BK DPD Mervin S Komber membantah, adanya sejumlah aturan dan pasal dalam tatib baru DPD yang bertujuan menjegal orang tertentu untuk maju sebagai bakal calon pimpinan. Menurutnya, masuknya sejumlah pasal dalam Tatib baru didasari oleh kode etik DPD.
Mervin mengatakan, orang yang sudah dipecat BK memang tidak layak menjadi pimpinan DPD. "Wajar aturan itu ada. Masa yang sudah dapat sanksi BK, mau jadi pimpinan lagi. Buat apa putusan BK kalau tidak dipatuhi?" terangnya.
Senator asal Papua itu menjelaskan, sejumlah pasal dalam tatib baru DPD dibahas sesuai mekanisme dan aturan perundang-undangan yang sah. Bahkan, kata dia, tatib yang disahkan dalam rapat paripurna DPD, Rabu (18/9) lalu, dibahas anggota DPD yang kembali terpilih pada periode 2019-2024.
Anehnya lanjut dia, sejumlah anggota DPD yang hadir dan mengikuti pembahasan, berteriak menolak tatib dalam rapat paripurna. Padahal, mereka tahu persis bahwa pembuatan tatib itu mengadopsi muatan yang ada di kode etik. "Dan tak memiliki tujuan pembuatan untuk menjegal bakal calon tertentu," tegas dia.
Anggota BK DPD, Basri Salama menambahkan, BK mengikuti berbagai prosedur sesuai aturan perundang-undangan dalam pembentukan tatib. Menurutnya, tudingan adanya upaya penjegalan calon pimpinan DPD dalam tatib merupakan fitnah yang tak berdasar.
"Tuduhan itu fitnah, pembunuhan karakter, sekaligus pencemaran nama baik," ungkapnya.
Basri menyatakan, sejumlah oknum anggota DPD yang merasa kepentingannya terganggu oleh penyempurnaan tatib, mengarang cerita bohong keruang publik dan anggota terpilih untuk melahirkan kesan dizhalimi. Padahal, masyarakat dan para anggota DPD terpilih telah mengetahui adanya anggota yang diberhentikan karena lalai melaksanakan kewajibannya.
"Terlalu kecil jika tatib yang kami rumuskan dan disahkan rapat paripurna DPD, sekadar menghadang bakal calon pimpinan. Apalagi, bakal calon tersebut (GKR Hemas) sudah pernah dipecat BK. Itu merendahkan," tegas senator asal Maluku Utara itu.
Di antaranya, Ratu Yogyakarta GKR Hemas dan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Pencalonan pimpinan DPD diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) Tatib DPD. Dalam poin b disebutkan sejumlah syarat, di antaranya calon pimpinan DPD tidak dalam berstatus sebagai tersangka, dan tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib dan kode etik yang ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan (BK) DPD.
Tatib itu jelas akan mengganjal pencalonan Abdullah Puteh dan GKR Hemas. Abdullah Puteh terganjal aturan itu karena berstatus terdakwa dalam kasus penipuan terhadap seorang investor, Herry Laksmono. Bahkan, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) menjatuhi hukuman 1,5 tahun penjara karena Puteh terbukti bersalah.
Sedangkan Ratu Kesultanan Yogyakarta GKR Hemas terganjal oleh status pemecatan yang pernah dijatuhkan BK. Pemberhentian tetap terhadap Hemas diumumkan dalam Sidang Paripurna DPD pada 29 Maret lalu. Hemas dinilai membolos dalam Sidang Paripurna DPD maupun kegiatan lainnya.
Anggota DPD Muhammad Asri Anas mengatakan, tatib DPD yang catat hukum itu jelas-jelas dibuat untuk menjegal Hemas untuk menyalonkan sebagai pimpinan DPD. Selama ini tidak pernah ada larangan bagi senator untuk menyalonkan sebagai pimpinan DPD. Semua senator mempunyai hak yang sama. "Ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," kata senator asal Sumatera Barat itu.
Afnan Hadikusumo, anggota DPD dari Yogyakarta beranggapan, tatib DPD belum disahkan. Sebab, pengesahan dalam rapat paripurna di lembaga politik selalu ditanyakan terlebih dulu kepada anggota. Setelah itu baru di ketuk palu. Kemudian dibacakan hasil keputusannya. "Ini sama sekali tidak melalui prosedur," terangnya.
Ketua BK DPD Mervin S Komber membantah, adanya sejumlah aturan dan pasal dalam tatib baru DPD yang bertujuan menjegal orang tertentu untuk maju sebagai bakal calon pimpinan. Menurutnya, masuknya sejumlah pasal dalam Tatib baru didasari oleh kode etik DPD.
Mervin mengatakan, orang yang sudah dipecat BK memang tidak layak menjadi pimpinan DPD. "Wajar aturan itu ada. Masa yang sudah dapat sanksi BK, mau jadi pimpinan lagi. Buat apa putusan BK kalau tidak dipatuhi?" terangnya.
Senator asal Papua itu menjelaskan, sejumlah pasal dalam tatib baru DPD dibahas sesuai mekanisme dan aturan perundang-undangan yang sah. Bahkan, kata dia, tatib yang disahkan dalam rapat paripurna DPD, Rabu (18/9) lalu, dibahas anggota DPD yang kembali terpilih pada periode 2019-2024.
Anehnya lanjut dia, sejumlah anggota DPD yang hadir dan mengikuti pembahasan, berteriak menolak tatib dalam rapat paripurna. Padahal, mereka tahu persis bahwa pembuatan tatib itu mengadopsi muatan yang ada di kode etik. "Dan tak memiliki tujuan pembuatan untuk menjegal bakal calon tertentu," tegas dia.
Anggota BK DPD, Basri Salama menambahkan, BK mengikuti berbagai prosedur sesuai aturan perundang-undangan dalam pembentukan tatib. Menurutnya, tudingan adanya upaya penjegalan calon pimpinan DPD dalam tatib merupakan fitnah yang tak berdasar.
"Tuduhan itu fitnah, pembunuhan karakter, sekaligus pencemaran nama baik," ungkapnya.
Basri menyatakan, sejumlah oknum anggota DPD yang merasa kepentingannya terganggu oleh penyempurnaan tatib, mengarang cerita bohong keruang publik dan anggota terpilih untuk melahirkan kesan dizhalimi. Padahal, masyarakat dan para anggota DPD terpilih telah mengetahui adanya anggota yang diberhentikan karena lalai melaksanakan kewajibannya.
"Terlalu kecil jika tatib yang kami rumuskan dan disahkan rapat paripurna DPD, sekadar menghadang bakal calon pimpinan. Apalagi, bakal calon tersebut (GKR Hemas) sudah pernah dipecat BK. Itu merendahkan," tegas senator asal Maluku Utara itu.
(maf)