DPR: Ada yang Ingin Konflik Papua Jadi Konsumsi Internasional
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Andreas Hugo Pareira memahami langkah pemerintah yang membatasi keberadaan warga negara Asing (WNA) di Papua.
Sebab banyak pihak yang mencoba membawa konflik ini sebagai isu internasional dengan mengangkat isu rasialis dan diskriminasi yang sebenarnya tidak terjadi.
“Dampak dan target yang ingin dicapai adalah internasionalisasi masalah Papua,” kata Andreas di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Karena itu, menurut Andreas, wajar jika Indonesia sebagai negara yang berdaulat membatasi WNA di Papua. Keberadaan mereka dikatakan Andreas berpotensi untung mengangkat konflik di Papua sebagai konsumsi internasional yang rawan dipolitisasi.
“Enggak ada salahnya kita membatasi WNA yang ada di Papua selama mereka memberikan indikasi-indikasi bahwa keberadaan mereka itu justru untuk mengangkat dan menginternasionalisasi masalah Papua ini,” ujar Andreas.
Politikus PDIP ini mencontohkan, pekan lalu saat berkunjung ke Belanda. Di sana, orang menganggap konflik Papua disebabkan perlakuan diskriminatif dan rasialis. Padahal, sambung dia, bukan itu yang terjadi.
“Ini yang saya kira hal-hal yang menjadi tantangan buat kita untuk menyelesaikan masalah Papua ini. Kalau orang bicara di luar negeri soal Papua, orang enggak akan terlalu peduli lagi. Tapi ketika bicara soal rasialis diskirminasi, itu yang jadi masalah,” tuturnya.
Selain pendekatan hukum dengan menindak tegas pihak- pihakn yang berbuat kriminal, Andreas meminta pemerintah melakukan pendekatan secara kebudayaan dan persuasif serta, pembangunan di Papua harus terus dilanjutkan sebagaimana mestinya.
“Tapi, orang mencari titik persoalan-persoalan hal-hal kecil yang itu kemudian dianggap mejadi masalah besar yang kemudian targetnya adalah internasionalisasi Papua. Nah ini yang sekarang kita alami sehingga nantinya ini menjadi masalah internasional,” kata Andreas.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan membatasi orang asing masuk ke Papua dan Barat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Apalagi, beberapa waktu lalu ada empat orang WNA asal Australia terpaksa dideportasi karena diduga terlibat dalam aksi demonstrasi bersama mahasiswa Papua.
Menko Polhukam, Wiranto mengatakan pihaknya tak akan memberikan akses yang leluasa kepada pihak asing untuk masuk ke wilayah tersebut.
"Jadi kemarin pada saat rapat dengan menteri luar negeri dan sudah memastikan bahwa sekarang tidak leluasa kita buka dalam keadaan seperti ini. Papua, Papua Barat tidak kita buka seluas-luasnya kepada kedatangan orang asing disana," ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin 2 September 2019.
Dia menegaskan, orang asing tak akan dipermudah masuk ke Papua. Pemerintah melaluai aparat keamanan dan pemerintah setempat akan menggunakan haknya untuk mengawasi orang asing yang ingin berkunjung ke sana. "Ada filter-filter yang kita lakukan. Jika keadaan nanti sudah kondusif, sudah aman, silakan," kata Wiranto.
Dia pun menuturkan, ini adalah hak Indonesia. Sehingga negara lain harus menghormatinya. "Ini adalah hak negara kita untuk melakukan itu," tuturnya.
Sebab banyak pihak yang mencoba membawa konflik ini sebagai isu internasional dengan mengangkat isu rasialis dan diskriminasi yang sebenarnya tidak terjadi.
“Dampak dan target yang ingin dicapai adalah internasionalisasi masalah Papua,” kata Andreas di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Karena itu, menurut Andreas, wajar jika Indonesia sebagai negara yang berdaulat membatasi WNA di Papua. Keberadaan mereka dikatakan Andreas berpotensi untung mengangkat konflik di Papua sebagai konsumsi internasional yang rawan dipolitisasi.
“Enggak ada salahnya kita membatasi WNA yang ada di Papua selama mereka memberikan indikasi-indikasi bahwa keberadaan mereka itu justru untuk mengangkat dan menginternasionalisasi masalah Papua ini,” ujar Andreas.
Politikus PDIP ini mencontohkan, pekan lalu saat berkunjung ke Belanda. Di sana, orang menganggap konflik Papua disebabkan perlakuan diskriminatif dan rasialis. Padahal, sambung dia, bukan itu yang terjadi.
“Ini yang saya kira hal-hal yang menjadi tantangan buat kita untuk menyelesaikan masalah Papua ini. Kalau orang bicara di luar negeri soal Papua, orang enggak akan terlalu peduli lagi. Tapi ketika bicara soal rasialis diskirminasi, itu yang jadi masalah,” tuturnya.
Selain pendekatan hukum dengan menindak tegas pihak- pihakn yang berbuat kriminal, Andreas meminta pemerintah melakukan pendekatan secara kebudayaan dan persuasif serta, pembangunan di Papua harus terus dilanjutkan sebagaimana mestinya.
“Tapi, orang mencari titik persoalan-persoalan hal-hal kecil yang itu kemudian dianggap mejadi masalah besar yang kemudian targetnya adalah internasionalisasi Papua. Nah ini yang sekarang kita alami sehingga nantinya ini menjadi masalah internasional,” kata Andreas.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan membatasi orang asing masuk ke Papua dan Barat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. Apalagi, beberapa waktu lalu ada empat orang WNA asal Australia terpaksa dideportasi karena diduga terlibat dalam aksi demonstrasi bersama mahasiswa Papua.
Menko Polhukam, Wiranto mengatakan pihaknya tak akan memberikan akses yang leluasa kepada pihak asing untuk masuk ke wilayah tersebut.
"Jadi kemarin pada saat rapat dengan menteri luar negeri dan sudah memastikan bahwa sekarang tidak leluasa kita buka dalam keadaan seperti ini. Papua, Papua Barat tidak kita buka seluas-luasnya kepada kedatangan orang asing disana," ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin 2 September 2019.
Dia menegaskan, orang asing tak akan dipermudah masuk ke Papua. Pemerintah melaluai aparat keamanan dan pemerintah setempat akan menggunakan haknya untuk mengawasi orang asing yang ingin berkunjung ke sana. "Ada filter-filter yang kita lakukan. Jika keadaan nanti sudah kondusif, sudah aman, silakan," kata Wiranto.
Dia pun menuturkan, ini adalah hak Indonesia. Sehingga negara lain harus menghormatinya. "Ini adalah hak negara kita untuk melakukan itu," tuturnya.
(dam)