ACT: Puluhan Juta Jiwa Terancam Dampak Bahaya Kekeringan

Kamis, 29 Agustus 2019 - 17:41 WIB
ACT: Puluhan Juta Jiwa Terancam Dampak Bahaya Kekeringan
ACT: Puluhan Juta Jiwa Terancam Dampak Bahaya Kekeringan
A A A
JAKARTA - Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dalam sumber daya air karena menyimpan 6% potensi air dunia, tetapi pulau terpadat di negara ini terancam kehabisan air. Sumber air melimpah Indonesia tercantum dalam laporan badan kerja sama lintas negara, Water Environment Partnership in Asia (WEPA).

Pemerintah memprediksi musim kemarau tahun ini mengakibatkan 11.774.437 Ha wilayah terdampak kekeringan, 48.491.666 jiwa terancam kekeringan di 28 provinsi, 42.740 Ha wilayah terbakar, dengan total kerugian hingga Rp3 triliun akibat gagal panen.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) musim kemarau yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia terjadi mulai Juli sampai Oktober 2019. Sedangkan, hasil prakiraan curah hujan, menurut BMKG, sebanyak 64,94% wilayah Indonesia mengalami curah hujan kategori rendah (di bawah 100 mm/bulan) pada Agustus 2019.

BMKG menyatakan musim kemarau 2019 akan terjadi kekeringan panjang akibat beberapa faktor yaitu fenomena El Nino, kuatnya Muson Australia, dan anomali peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim.
ACT: Puluhan Juta Jiwa Terancam Dampak Bahaya Kekeringan

Senior Vice President ACT N. Imam Akbari menyatakan kekeringan atau kemarau yang berkepanjang ini akan ada banyak aspek yang disoroti. “Dengan terjadinya kemarau ada kualitas kehidupan sosial yang terdampak. Misalnya, debit air yang berkurang, akan memengaruhi konsumsi air. Sedangkan, air adalah kebutuhan vital manusia. Manusia sendiri masih bisa bertahan ketika tidak makan, namun ketika tidak ada air (tidak minum), hanya akan bertahan dalam hitungan hari,” ungkapnya.

Direktur Social Distribution Program (SDP) ACT, Wahyu Novyan mengajak masyarakat untuk tidak abai pada kasus kekeringan yang melanda sejumlah daerah di Indonesia. Menurut Wahyu, kekeringan bisa berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, bahkan hingga lost generation atau kehilangan generasi.

“Kalau seseorang sudah tidak punya air, maka dampak turunannya jadi berat. Dampaknya bisa ke air minum, kebutuhan makan, air bersih, kebutuhan untuk mandi, kebutuhan aktivitas, ibadah, dan lain-lain. Hasil dari pemetaan kita, ada lingkaran setan yang perlu diputus,” katanya.

Hal ini karena kemarau yang muncul merupakan dampak dari perubahan iklim yang ekstrem di dunia hingga pemanasan global yang dapat berdampak pada kekurangan gizi pada anak, kemiskinan hingga kematian, jika terus dibiarkan ini dapat menyebabkan lost generation. ”Sebab itu, harus ada kesiapsiagaan yang dibangun dari semua stakeholders. ACT telah melakukan sejumlah aksi untuk meredam krisis air bersih akibat kekeringan kali ini,” terang Wahyu.

Peningkatan populasi di perkotaan mendorong tingginya konsumsi energi dan bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan makin pekatnya polusi di perkotaan dan mendorong pelepasan Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfir bumi.

Polusi dari perkotaan tercatat berkontribusi 80% terhadap peningkatan jumlah GRK. Selain urbanisasi, kemiskinan mendorong pembukaan lahan perkebunan baru yang biasa dilakukan dengan cara membakar vegetasi hutan.

Selain karena pembukaan lahan, kebakaran hutan juga sering dipicu oleh kondisi kekeringan ekstrim. Kebakaran hutan dan pembukaan lahan baru tercatat memberi kontribusi 20% terhadap peningkatan jumlah GRK.
ACT: Puluhan Juta Jiwa Terancam Dampak Bahaya Kekeringan


Dari tahun ke tahun, perubahan iklim menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah ancaman kekeringan dan kelangkaan air bersih bagi umat manusia.

Di 2025, sekitar 2,7 miliar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah. (Dinar, A- 1998). Khusus Pulau Jawa, diperkirakan akan mengalami defisit air sepanjang tahun (12 bulan) di 2025. Lalu, di 2050 diperkirakan 2/3 penduduk bumi akan mengalami kekurangan air.

Senior Manager Global Medic Action ACT, Rizal Alimin menambahkan, bencana kekeringan yang menimpa hampir di seluruh daerah Indonesia tentu memberikan dampak terhadap kesehatan masyarakat.

“Di musim kemarau, akan terdapat banyak kemungkinan peningkatan penyebaran hepatitis A, tifus, malaria hingga demam berdarah, dan penyakit lainnya,” ucapnya.

Meskipun, semua ini akan dipengaruhi juga tingkat keparahan kekeringan di daerah tersebut dan ketahanan fisik warganya. Selain itu, secara jangka panjang pengaruh buruk kekeringan panjang akan berdampak peningkatan stunting bagi anak-anak. Hal ini karena dengan bencana kekeringan ekstrem ini akan memengaruhi pola makan, pola asuh hingga sanitasi pada warga yang terdampak.

Setelah mengeringnya sumur, ratusan telaga di Gunungkidul juga mengering. Akibatnya, mereka harus menyusuri sungai bawah tanah di dalam gua atau hanya bergantung pada bantuan air. Di daerah lainnya, di Indonesia kebutuhan air bagi konsumsi manusia sangat mendesak, warga juga harus berbagi air untuk hewan ternaknya dan keadaan tanah yang mayoritas retak.

Untuk membeli air, harga yang perlu dikeluarkan oleh warga variatif. Namun, di semua lokasi yang dilakukan asesmen oleh tim MRI harga air pasti di atas Rp100.000 rupiah hingga kisaran Rp400.000 per tangki ukuran 6.000 liter, Rp5.000 per jeriken.

Hingga kini, ACT pun terus mendistribusikan air bersih serentak di 28 cabang. Pendistribusian air bersih dilakukan mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah lain yang terdampak dengan total distribusi air sebanyak 2,1 juta liter air.

Selain distribusi air bersih, ACT juga melakukan sejumlah aksi pendamping seperti pelayanan kesehatan dan berbagi makanan gratis. ACT mengajak semua masyarakat untuk bahu-membahu mengirimkan bantuannya melalui aksi-aksi nyata di bit.ly/DermawanAtasiKekeringan.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4558 seconds (0.1#10.140)