Pancasila Jadi Pedoman, Isu SARA Tak Akan Mempan
A
A
A
JAKARTA - Sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dinilai menjadi momok berbahaya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Isu SARA mampu menggerakan konflik personal menuju kolektif yang menyulut terjadinya kekerasan bahkan anarkisme.
Di era digital sekarang ini, penyebaran isu SARA menjadi sangat liar dan akselerasi isu menjadi mudah meluas. Seperti yang terjadi saat pelaksanaan pilpres lalu, dan kasus Papua belum lama ini.
Karena itu, mencegah isu SARA dinilai penting untuk membangun daya tangkal yang kuat bagi masyarakat, khususnya di dunia maya.
“Itu memang memerlukan sikap bersama, sikap waspada bersama kita semua, sikap dewasa kita dalam kehidupan bermasyarakat bangsa ini. Karena sejak kita merdeka dulu, para pejuang kemerdekaan ini kan sudah bertekad dan bersepakat untuk mendirikan sebuah bangsa atau negara yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari multi etnis, multi agama, multi budaya dan bertekad menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatunya,” kata Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Agum Gumelar di Jakara, Selasa (27/8/2019).
Jika itu semua diresapi dengan baik di hati seluruh rakyat Indonesia, Agum yakin bangsa Indonesia akan sulit terpengaruh hal-hal negatif seperti isu SARA.
“Ke depan bagaimana kita semua bisa merajut persatuan dengan berpedoman kepada Pancasila. Itu yang harus kita lakukan,” katanya.
Untuk itu, Agum mengimbau generasi muda untuk bisa mengenali sejarah bangsa. Tonggak sejarah pada tahun 1945 saat Indonesia merdeka dan hasil keputusan para pejuang kemerdekaan yang sepakat mendirikan NKRI.
Selain itu, kata dia, para pendiri bangsa juga bersepakat menjadikan Pancasila sebagai ideologi dan alat pemersatunya.
Mantan Gubernur Lemhanas ini menilai sejarah bangsa harus diketahui dan dikenali oleh para generasi muda bangsa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali sejarah bangsanya dan menghormati jasa-jasa pahlawannya.
"Ini yang harus ditanamkan kepada para generasi muda kita ini, bahwa bangsa kita ini menjunjung tinggi toleransi antar semua golongan, agama dan etnis yang ada. Generasi muda jangan mudah terpancing hasutan, apalagi melalui media sosial,” tuturnya.
Menurut dia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki andil besar dalam penyebaran isu SARA dan intoleransi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kata dia, sebenarnya memiliki dampak positif yang seharusnya bisa dimanfaatkan secara bijak untuk kemajuan bangsa dan negara.
Namun di sisi lain, sambung dia, juga berdampak negatif atau residunya yaitu berkembangnya berita-berita yang disebarkan melalui media sosial yang bisa menimbulkan rasa kebencian , perpecahan, dan hoax yang bisa meresahkan masyarakat.
“Hal positif dari perkembangan teknologi ini banyak, tetapi masalahnya ada sebagian kelompok dan masyarakat yang justru memanfaatkan sisi negatifnya,” tutur mantan Pangdam VII/Wirabuana ini.
Hal ini, kata Agum, harus dilawan untuk menjaga persatuan dan perdamaian. Seluruh komponen bangsa harus dewasa menyikapi masalah ini. Apalagi dalam negara demokrasi seperti Indonesia memerlukan kedewasaan bagi rakyatnya untuk bisa mengerti tentang demokrasi.
Peran tokoh bangsa dan masyarakat menjadi penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat awam.
Menurut alumni Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1969 ini, peran pemerintah melalui Badan Pembinaan ideologi Pancasila (BPIP) juga harus bisa menyebarluaskan Pancasila agar bisa menjadi sesuatu yang diyakini, lalu kemudian diresapi dan kemudian diimplementasikan dalam perikehidupan sehari-hari.
“Jangan menjadikan Pancasila itu sebagai retorika belaka atau sebagai jargon belaka. Ini yang tidak boleh terjadi. Jadi tugas BPIP kedepan teramat besar dan berat untuk bisa mempersatukan bangsa ini yang kemarin masyarakatnya sempat dibuat seperti itu. Salah satunya mencegah dan menolak isu SARA ini agar tidak berkembang di masyarakat terutama melalui media sosial,” tuturnya
Isu SARA mampu menggerakan konflik personal menuju kolektif yang menyulut terjadinya kekerasan bahkan anarkisme.
Di era digital sekarang ini, penyebaran isu SARA menjadi sangat liar dan akselerasi isu menjadi mudah meluas. Seperti yang terjadi saat pelaksanaan pilpres lalu, dan kasus Papua belum lama ini.
Karena itu, mencegah isu SARA dinilai penting untuk membangun daya tangkal yang kuat bagi masyarakat, khususnya di dunia maya.
“Itu memang memerlukan sikap bersama, sikap waspada bersama kita semua, sikap dewasa kita dalam kehidupan bermasyarakat bangsa ini. Karena sejak kita merdeka dulu, para pejuang kemerdekaan ini kan sudah bertekad dan bersepakat untuk mendirikan sebuah bangsa atau negara yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari multi etnis, multi agama, multi budaya dan bertekad menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatunya,” kata Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Agum Gumelar di Jakara, Selasa (27/8/2019).
Jika itu semua diresapi dengan baik di hati seluruh rakyat Indonesia, Agum yakin bangsa Indonesia akan sulit terpengaruh hal-hal negatif seperti isu SARA.
“Ke depan bagaimana kita semua bisa merajut persatuan dengan berpedoman kepada Pancasila. Itu yang harus kita lakukan,” katanya.
Untuk itu, Agum mengimbau generasi muda untuk bisa mengenali sejarah bangsa. Tonggak sejarah pada tahun 1945 saat Indonesia merdeka dan hasil keputusan para pejuang kemerdekaan yang sepakat mendirikan NKRI.
Selain itu, kata dia, para pendiri bangsa juga bersepakat menjadikan Pancasila sebagai ideologi dan alat pemersatunya.
Mantan Gubernur Lemhanas ini menilai sejarah bangsa harus diketahui dan dikenali oleh para generasi muda bangsa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali sejarah bangsanya dan menghormati jasa-jasa pahlawannya.
"Ini yang harus ditanamkan kepada para generasi muda kita ini, bahwa bangsa kita ini menjunjung tinggi toleransi antar semua golongan, agama dan etnis yang ada. Generasi muda jangan mudah terpancing hasutan, apalagi melalui media sosial,” tuturnya.
Menurut dia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki andil besar dalam penyebaran isu SARA dan intoleransi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kata dia, sebenarnya memiliki dampak positif yang seharusnya bisa dimanfaatkan secara bijak untuk kemajuan bangsa dan negara.
Namun di sisi lain, sambung dia, juga berdampak negatif atau residunya yaitu berkembangnya berita-berita yang disebarkan melalui media sosial yang bisa menimbulkan rasa kebencian , perpecahan, dan hoax yang bisa meresahkan masyarakat.
“Hal positif dari perkembangan teknologi ini banyak, tetapi masalahnya ada sebagian kelompok dan masyarakat yang justru memanfaatkan sisi negatifnya,” tutur mantan Pangdam VII/Wirabuana ini.
Hal ini, kata Agum, harus dilawan untuk menjaga persatuan dan perdamaian. Seluruh komponen bangsa harus dewasa menyikapi masalah ini. Apalagi dalam negara demokrasi seperti Indonesia memerlukan kedewasaan bagi rakyatnya untuk bisa mengerti tentang demokrasi.
Peran tokoh bangsa dan masyarakat menjadi penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat awam.
Menurut alumni Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1969 ini, peran pemerintah melalui Badan Pembinaan ideologi Pancasila (BPIP) juga harus bisa menyebarluaskan Pancasila agar bisa menjadi sesuatu yang diyakini, lalu kemudian diresapi dan kemudian diimplementasikan dalam perikehidupan sehari-hari.
“Jangan menjadikan Pancasila itu sebagai retorika belaka atau sebagai jargon belaka. Ini yang tidak boleh terjadi. Jadi tugas BPIP kedepan teramat besar dan berat untuk bisa mempersatukan bangsa ini yang kemarin masyarakatnya sempat dibuat seperti itu. Salah satunya mencegah dan menolak isu SARA ini agar tidak berkembang di masyarakat terutama melalui media sosial,” tuturnya
(dam)