Bahas RUU Pertanahan, Jokowi Disarankan Terbitkan Surpres Baru
A
A
A
JAKARTA - DPR menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi Surat Presiden (Surpres) pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dan mengeluarkan Surpres baru, sebagai tindak lanjut dari upaya penyelesaian RUU Pertanahan yang kini banyak dikritik akademisi dan masyarakat.
Presiden telah meminta Wapres Jusuf Kalla (JK) untuk membantu mencari jalan penyelesaian RUU Pertanahan dan pada Selasa (20/8/2019) malam, JK telah mengumpulkan sejumlah menteri terkait dan meminta mereka menyusun tugasnya yang terkait dengan tanah dan lahan sambil meneliti RUU dan menjelaskan tugasnya dengan kaitan pasal-pasal dalam draf RUU Pertanahan.
"Langkah tersebut sudah benar dan karena itu Presiden tinggal mengeluarkan Surpres baru untuk pembahasan RUU Pertanahan," papar Anggota Panja RUU Pertanahan, Firman Subagyo, menjawab pertanyaan sekitar perkembangan pembahasan RUU Pertanahan, Rabu (21/8/2019).
"Dengan melibatkan semua kementerian terkait yakni ATR/BPN, KKP, ESDM, Kemenhan, KLHK, dan lembaga terkait. Kami dari DPR setuju dengan langkah Presiden. Dengan Surpres baru, RUU Pertanahan akan dapat diselesaikan," sambungnya.
(Baca juga: RUU Pertanahan Ditarget Rampung September)
Menurut Firman Subagyo, pembahasan RUU Pertanahan memang harus melibatkan kementerian terkait dan selama ini mereka tidak dilibatkan sehingga menimbulkan tanda tanya di masyarakat, mengapa UU Pertanahan yang berkaitan langsung dengan banyak kementerian, pembahasannya tidak komprehensif.
"Dengan perkembangan baru ini, menurut saya tinggal menunggu Surpres baru dari Presiden Jokowi, sehingga pesan JK agar kementerian menyusun tugasnya terkait RUU tersebut bisa dilakukan pembahasan bersama di DPR, dengan DIM yang baru," ujar politisi senior Partai Golkar ini.
Firman Subagyo menegaskan. RUU Pertanahan harus sejalan jiwa dan ruhnya dengan keinginan Pemerintah agar iklim investasi jauh lebih baik lagi, termasuk yang disampaikan Presiden Jokowi berulang-ulang. Karena itu UU ini nantinya jangan terlalu rumit, detailnya diatur lewat PP.
"Karena itu pelibatan semua kementerian terkait merupakan suatu keharusan," kata Firman Subagyo.
(Baca juga: RUU Pertanahan Perlu Dibahas Mendalam dan Jangan Terburu-buru)
Sebelumnya lanjut Firman, banyak akademisi yang menyampaikan analisisnya bahwa draf RUU Pertanahan ini justru bertentangan dengan keinginan Jokowi tersebut. Mengapa? Karena tingginya potensi konflik jika RUU itu dipaksakan untuk disahkan.
Kata dia, jika rawan konflik, investor akan bingung dan hengkang. Firman sekali lagi mengingatkan, pembahasan RUU Pertanahan yang belum melibatkan semua kementerian terkait, jangan dipaksakan untuk disahkan.
Sebab implikasinya, bagaimana proses-proses hukum kasus sengketa lahan/tanah yang sedang berjalan, itu harus tetap dilakukan pemegakkan hukum. Jika RUU ini disahkan, bukan tidak mungkin kasus yang berjalan akan menguap.
Firman mencontohkan, sengketa lahan yang tak jauh dari Jakarta misalnya menyangkut pembangunan kawasan terpadu Meikarta dan sejumlah sengketa lahan/tanah yang melibatkan banyak pengembang.
Belum lagi banyaknya perusahaan tambang yang melakukan penambangan tanpa izin di Sulawesi. "Jangan sampai UU Pertanahan nanti melegalisasi kasus-kasus yang belum selesai, sebab di dalam UU Kehutanan, soal pencegahan, dan pemberantasan perusakan hutan tidak dikenal istilah pemutihan," ungkapnya.
Jadi lanjut Firman Subagyo, RUU Pertanahan jangan mereduksi aspek penegakkan hukum. Karena yang salah melakukan perusakan hutan, atau melakukan hal-hal melanggar UU, harus dihukum.
"Juga undang-undang Pertanahan tidak boleh mereduksi undang-undang yang ranahnya kementerian lain, misalnya undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu juga tanah/lahan milik TNI-Polri, Kemhan, dan juga ESDM yang sudah ada payung hukumnya masing-masing," tandasnya.
Presiden telah meminta Wapres Jusuf Kalla (JK) untuk membantu mencari jalan penyelesaian RUU Pertanahan dan pada Selasa (20/8/2019) malam, JK telah mengumpulkan sejumlah menteri terkait dan meminta mereka menyusun tugasnya yang terkait dengan tanah dan lahan sambil meneliti RUU dan menjelaskan tugasnya dengan kaitan pasal-pasal dalam draf RUU Pertanahan.
"Langkah tersebut sudah benar dan karena itu Presiden tinggal mengeluarkan Surpres baru untuk pembahasan RUU Pertanahan," papar Anggota Panja RUU Pertanahan, Firman Subagyo, menjawab pertanyaan sekitar perkembangan pembahasan RUU Pertanahan, Rabu (21/8/2019).
"Dengan melibatkan semua kementerian terkait yakni ATR/BPN, KKP, ESDM, Kemenhan, KLHK, dan lembaga terkait. Kami dari DPR setuju dengan langkah Presiden. Dengan Surpres baru, RUU Pertanahan akan dapat diselesaikan," sambungnya.
(Baca juga: RUU Pertanahan Ditarget Rampung September)
Menurut Firman Subagyo, pembahasan RUU Pertanahan memang harus melibatkan kementerian terkait dan selama ini mereka tidak dilibatkan sehingga menimbulkan tanda tanya di masyarakat, mengapa UU Pertanahan yang berkaitan langsung dengan banyak kementerian, pembahasannya tidak komprehensif.
"Dengan perkembangan baru ini, menurut saya tinggal menunggu Surpres baru dari Presiden Jokowi, sehingga pesan JK agar kementerian menyusun tugasnya terkait RUU tersebut bisa dilakukan pembahasan bersama di DPR, dengan DIM yang baru," ujar politisi senior Partai Golkar ini.
Firman Subagyo menegaskan. RUU Pertanahan harus sejalan jiwa dan ruhnya dengan keinginan Pemerintah agar iklim investasi jauh lebih baik lagi, termasuk yang disampaikan Presiden Jokowi berulang-ulang. Karena itu UU ini nantinya jangan terlalu rumit, detailnya diatur lewat PP.
"Karena itu pelibatan semua kementerian terkait merupakan suatu keharusan," kata Firman Subagyo.
(Baca juga: RUU Pertanahan Perlu Dibahas Mendalam dan Jangan Terburu-buru)
Sebelumnya lanjut Firman, banyak akademisi yang menyampaikan analisisnya bahwa draf RUU Pertanahan ini justru bertentangan dengan keinginan Jokowi tersebut. Mengapa? Karena tingginya potensi konflik jika RUU itu dipaksakan untuk disahkan.
Kata dia, jika rawan konflik, investor akan bingung dan hengkang. Firman sekali lagi mengingatkan, pembahasan RUU Pertanahan yang belum melibatkan semua kementerian terkait, jangan dipaksakan untuk disahkan.
Sebab implikasinya, bagaimana proses-proses hukum kasus sengketa lahan/tanah yang sedang berjalan, itu harus tetap dilakukan pemegakkan hukum. Jika RUU ini disahkan, bukan tidak mungkin kasus yang berjalan akan menguap.
Firman mencontohkan, sengketa lahan yang tak jauh dari Jakarta misalnya menyangkut pembangunan kawasan terpadu Meikarta dan sejumlah sengketa lahan/tanah yang melibatkan banyak pengembang.
Belum lagi banyaknya perusahaan tambang yang melakukan penambangan tanpa izin di Sulawesi. "Jangan sampai UU Pertanahan nanti melegalisasi kasus-kasus yang belum selesai, sebab di dalam UU Kehutanan, soal pencegahan, dan pemberantasan perusakan hutan tidak dikenal istilah pemutihan," ungkapnya.
Jadi lanjut Firman Subagyo, RUU Pertanahan jangan mereduksi aspek penegakkan hukum. Karena yang salah melakukan perusakan hutan, atau melakukan hal-hal melanggar UU, harus dihukum.
"Juga undang-undang Pertanahan tidak boleh mereduksi undang-undang yang ranahnya kementerian lain, misalnya undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu juga tanah/lahan milik TNI-Polri, Kemhan, dan juga ESDM yang sudah ada payung hukumnya masing-masing," tandasnya.
(maf)