Kebijakan Perubahan Iklim Perlu Didukung Perguruan Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim memandang penting partisipasi perguruan tinggi dalam menghasilkan penelitian dan pengembangan yang mendukung kebijakan perubahan iklim di Indonesia.
Utusan Khusus Presiden Untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Nadi Witoelar Kartaadipoetra mengatakan, perguruan tinggi menjadi kunci untuk meningkatkan riset di Indonesia mengenai perubahan iklim.
"Pendidikan tinggi memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan," kata Rachmat dalam dialog ‘Deepening Regional Cooperation on Sustainable Development and Climate Change-Future Collaboration’ di Jakarta (21/8/2019).
"Selain itu, universitas, sebagai pencetak penerus bangsa, adalah tempat strategis untuk membentuk pola pikir penerus bangsa untuk memahami dan berani menyuarakan keprihatinan mereka tentang perubahan iklim," sambungnya.
Rachmat menyampaikan, mahasiswa juga harus mampu menggali informasi sebanyak mungkin terkait penyelesaian persoalan perubahan iklim. Ia pun berharap hasil riset dari mahasiswa bisa disebarkan kepada masyarakat agar semakin banyak orang yang peduli, semakin kuat dampak yang dihasilkan untuk mitigasi perubahan iklim.
Pasalnya kata Rachmat, ketidakmampuan untuk memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim tingkat tinggi akan menghasilkan bencana alam, peristiwa cuaca ekstrem, krisis air dan pangan, hilangnya keanekaragaman hayati dan kehancuran ekosistem.
"Selain itu, akan berdampak pada involuntary migration sehingga akan berujung pada ketidakstabilan sosial dan politik yang mendalam," katanya.
Dia menjelaskan, jika perubahan iklim di Bumi disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia salah satunya adalah dari gas rumah kaca. Oleh karena itu, kata dia harus diperlukan perawatan untuk mengurangi atau menghentikan aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
"Untuk mencapai ini, perlu bahwa pemerintah bekerja sama, komunitas bisnis, akademisi, terutama generasi milenial, yang akan berhasil untuk kepemimpinan bangsa," jelasnya.
Rachmat mengatakan, perubahan iklim adalah urusan semua orang dan semua orang harus bertindak. Perubahan iklim juga tidak dapat diatasi oleh pemerintah saja.
"Tren ini menunjukkan pergeseran dalam peran aktor non-pemerintah yang mampu membentuk kekuatan ke atas baru untuk tata kelola iklim. Saya pernah menemui seorang pemuda Swedia bernama Greta Thurnberg," jelasnya.
"Dia pelopor yang menggerakkan orang Swedia untuk peduli tentang perubahan iklim global. Di sini, Kami membutuhkan pria muda seperti ini, mungkin banyak yang sadar akan ancaman perubahan iklim, tetapi tidak banyak anak muda yang peduli mengutarakan pendapatnya," tambahnya.
Pada kesempatan itu, Universitas Indonesia melakukan kerja sama dengan Griffith University dari Australia. Kerja sama ini diwujudkan dalam program Collaborative Australia-Indonesia Program on Sustainable Development and Climate Change (CAISDCC).
Salah satu tujuannya adalah menghasilkan kontribusi civitas academica dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan yang semakin meningkat. Kerja sama tersebut mencakup dialog, riset dan penelitian bersama, pengembangan kapasitas dan pertukaran mahasiswa.
Program Manager, Climate Change Response Program Griffith University, Sam Mackay mengatakan kerjasama antara Australia dan Indonesia untuk riset perubahan iklim telah berlangsung lama.
Namun kata dia, kerja sama jangka panjang kedua negara untuk perubahan iklim global perlu diperbarui dari waktu ke waktu. Hal ini, untuk memenuhi perubahan kebutuhan kawasan, khususnya dalam periode perubahan iklim yang tidak terduga.
"Kerja sama ini diharapkan menghasilkan sejumlah project penelitian bersama antara Indonesia dan Australia yang menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis ilmu pengetahuan di bidang perubahan iklim," jelasnya.
Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Heri Hermansyah mengatakan, kerja sama ini memiliki beberapa komponen, yaitu dialog tingkat tinggi antara Indonesia dan Australia, kolaborasi penelitian, dukungan penelitian, pendampingan dan peningkatan kapasitas, dan pertukaran pelajar antara kedua negara.
"Dengan kerja sama ini, civitas akademica melalui Universitas Indonesia akan berkontribusi membantu pemerintah untuk mewujudkan mitigasi perubahan iklim," ungkapnya.
Diharapkan dengan kolaborasi ini, kata Heri akan berdampak terhadap upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi perubahan iklim. "Sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang menghasilkan tenaga ahli, UI harus dapat memberikan masukan dan solusi inovatif untuk masalah pembangunan berkelanjutan yang aware terhadap perubahan iklim global," pungkasnya.
Utusan Khusus Presiden Untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Nadi Witoelar Kartaadipoetra mengatakan, perguruan tinggi menjadi kunci untuk meningkatkan riset di Indonesia mengenai perubahan iklim.
"Pendidikan tinggi memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan," kata Rachmat dalam dialog ‘Deepening Regional Cooperation on Sustainable Development and Climate Change-Future Collaboration’ di Jakarta (21/8/2019).
"Selain itu, universitas, sebagai pencetak penerus bangsa, adalah tempat strategis untuk membentuk pola pikir penerus bangsa untuk memahami dan berani menyuarakan keprihatinan mereka tentang perubahan iklim," sambungnya.
Rachmat menyampaikan, mahasiswa juga harus mampu menggali informasi sebanyak mungkin terkait penyelesaian persoalan perubahan iklim. Ia pun berharap hasil riset dari mahasiswa bisa disebarkan kepada masyarakat agar semakin banyak orang yang peduli, semakin kuat dampak yang dihasilkan untuk mitigasi perubahan iklim.
Pasalnya kata Rachmat, ketidakmampuan untuk memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim tingkat tinggi akan menghasilkan bencana alam, peristiwa cuaca ekstrem, krisis air dan pangan, hilangnya keanekaragaman hayati dan kehancuran ekosistem.
"Selain itu, akan berdampak pada involuntary migration sehingga akan berujung pada ketidakstabilan sosial dan politik yang mendalam," katanya.
Dia menjelaskan, jika perubahan iklim di Bumi disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia salah satunya adalah dari gas rumah kaca. Oleh karena itu, kata dia harus diperlukan perawatan untuk mengurangi atau menghentikan aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
"Untuk mencapai ini, perlu bahwa pemerintah bekerja sama, komunitas bisnis, akademisi, terutama generasi milenial, yang akan berhasil untuk kepemimpinan bangsa," jelasnya.
Rachmat mengatakan, perubahan iklim adalah urusan semua orang dan semua orang harus bertindak. Perubahan iklim juga tidak dapat diatasi oleh pemerintah saja.
"Tren ini menunjukkan pergeseran dalam peran aktor non-pemerintah yang mampu membentuk kekuatan ke atas baru untuk tata kelola iklim. Saya pernah menemui seorang pemuda Swedia bernama Greta Thurnberg," jelasnya.
"Dia pelopor yang menggerakkan orang Swedia untuk peduli tentang perubahan iklim global. Di sini, Kami membutuhkan pria muda seperti ini, mungkin banyak yang sadar akan ancaman perubahan iklim, tetapi tidak banyak anak muda yang peduli mengutarakan pendapatnya," tambahnya.
Pada kesempatan itu, Universitas Indonesia melakukan kerja sama dengan Griffith University dari Australia. Kerja sama ini diwujudkan dalam program Collaborative Australia-Indonesia Program on Sustainable Development and Climate Change (CAISDCC).
Salah satu tujuannya adalah menghasilkan kontribusi civitas academica dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan yang semakin meningkat. Kerja sama tersebut mencakup dialog, riset dan penelitian bersama, pengembangan kapasitas dan pertukaran mahasiswa.
Program Manager, Climate Change Response Program Griffith University, Sam Mackay mengatakan kerjasama antara Australia dan Indonesia untuk riset perubahan iklim telah berlangsung lama.
Namun kata dia, kerja sama jangka panjang kedua negara untuk perubahan iklim global perlu diperbarui dari waktu ke waktu. Hal ini, untuk memenuhi perubahan kebutuhan kawasan, khususnya dalam periode perubahan iklim yang tidak terduga.
"Kerja sama ini diharapkan menghasilkan sejumlah project penelitian bersama antara Indonesia dan Australia yang menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis ilmu pengetahuan di bidang perubahan iklim," jelasnya.
Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Heri Hermansyah mengatakan, kerja sama ini memiliki beberapa komponen, yaitu dialog tingkat tinggi antara Indonesia dan Australia, kolaborasi penelitian, dukungan penelitian, pendampingan dan peningkatan kapasitas, dan pertukaran pelajar antara kedua negara.
"Dengan kerja sama ini, civitas akademica melalui Universitas Indonesia akan berkontribusi membantu pemerintah untuk mewujudkan mitigasi perubahan iklim," ungkapnya.
Diharapkan dengan kolaborasi ini, kata Heri akan berdampak terhadap upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi perubahan iklim. "Sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang menghasilkan tenaga ahli, UI harus dapat memberikan masukan dan solusi inovatif untuk masalah pembangunan berkelanjutan yang aware terhadap perubahan iklim global," pungkasnya.
(maf)