DPR: Pembangunan SDM Butuh Komitmen Politik Anggaran
A
A
A
JAKARTA - Pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu fokus pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin dalam lima tahun ke depan.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, langkah Jokowi yang memprioritaskan pembangunan SDM sebagai langkah positif yang harus didukung. Namun, jika langkah tersebut serius dilakukan maka harus ada perencanaan SDM yang jelas sehingga bisa mengena ketika diterjemahkan pada politik anggaran. Menurutnya, 20% APBN saat ini sebagian besar untuk pendidikan dasar dan menengah yang menjadi amanat konstitusi.
”Ke depan itu harus benar-benar kalau fokus ke SDM, itu bagus. Tapi kalau kita lihat, sekarang itu belum tercermin. Kemenristekdikti aja turun anggarannya ya jadi gimana nih caranya kita merealisasikan cita-cita Pak Jokowi. Kemenkeu belum men-support, belum memberikan perhatian atau komitmen politik anggarannya, padahal itu sudah harus mulai 2020, ini politik anggaran belum tampak,” tutur Hetifah, Jumat (16/8/2019).
Berdasarkan Surat Edaran Bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dengan Menteri Keuangan RI Nomor S-338/MK.02/2019 dan Nomor B.241/M.PPN/D.8/KU.01.01/04/2019 tentang Pagu Indikatif Belanja K/L TA 2020 tanggal 29 April 2019, Kemenristekdikti RI mendapatkan pagu indikatif RAPBN TA 2020 sebesar Rp39,7 triliun.
Angka tersebut turun dari pagu 2019 sebesar Rp40,2 triliun. Sementara pada 2018 sebesar Rp40,3 triliun. ”Tiga tahun saja menurun-menurun terus, jadi gimana kita mau mengatakan kita ingin meningkatkan kualitas perguruan tinggi kita,” paparnya.
Padahal pada 2013 lalu anggaran Kemenristekdikti mendapat Rp41,3 triliun, 2014 sebesar Rp41,1 triliun, 2015 sebesar Rp42,7 triliun, 2016 sebesar Rp39,6 triliun, dan 2017 sebesar Rp39,7 triliun.
Berdasarkan World Economic Forum (WEF) 2018, indeks daya saing Indonesia sebesar 64,9 dari skor 0-100 yang menempati ranking ke-45 dari 140 negara. Dari data skor daya saing tersebut, pasar tenaga kerja dan kemampuan inovasi bangsa Indonesia dinilai cukup rendah.
BPS 2017 menyebut, jumlah pemuda Indonesia sebanyak 63,36 juta jiwa. Separuh dari pemuda Indonesia bekerja, yaitu sebesar 51,47%. Pekerja berpendidikan tinggi sebanyak 14,60 juta orang, mencakup 3,28 juta orang (2,71%) berpendidikan Diploma dan 11,32 juta orang (9,35%) berpendidikan Universitas.
Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2020-2030. Jumlah angkatan kerja usia 15-64 tahun akan mencapai 70%, 30% adalah penduduk dengan usia non-produktif yakni di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun.
”Pasar kerja membutuhkan kombinasi berbagai skills yang berbeda dengan yang selama ini diberikan oleh sistem pendidikan tinggi,” tuturnya.
Dikatakan Hetifah, dari evaluasi yang dilakukan Panja DPR soal pendidikan tinggi di Indonesia, salah satu permasalahannya adalah ketidakmerataan pendidikan tinggi (PT). Ketersediaan PT yang belum mampu menampung lulusan sekolah menengah. Dari ribuan PT yang ada, hanya tiga PT Negeri yang masuk dalam World Class University yakni Universitas Indonesia (UI) pada posisi 277, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada posisi 330, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada posisi 301.
”Tapi ribuan lainnya belum. Mayoritas perguruan tinggi yang ada adalah swasta dan antara PTN dan PTS itu gapnya cukup besar. Tapi di antara PTS yang sangat bagus, kebanyakan belum memiliki standar pelayanan yang diinginkan suatu perguruan tinggi,” paparnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR ini, masalah paling parah dalam perguruan tinggi di Indonesia adalah dari sisi ketersediaan tenaga dosen. “Masih banyak PT yang mengeluh karena sekarang dosen mungkin sudah pensiun sementara mahasiswa yang diterima bertambah,” tuturnya.
Masalah kedua adalah ketersediaan sarana dan prasarana Pendidikan. Banyak bangunan pendidikan tinggi yang mangkrak atau belum tuntas.
”Pada akhirnya yang diperlukan nanti itu komitmen yang lebih tegas. Kalau kita memang ingin meningkatkan SDM sampai di tingkatan PT maka kita perlu berkomitmen untuk meningkatkan alokasi anggaran. Ini terkait politik anggaran. Yang kita sesalkan anggaran PT melalui Kemenristek Dikti dari tahun ke tahun, tiga tahun belakangan ini menurun,” paparnya.
Terkait dengan wacana Menristekdikti untuk mendatangkan rektor asing untuk meningkatkan rangking pendidikan di kancah internasional, politikus Partai Golkar ini mengatakan bahwa hal yang harus dipetakan apakah masalah utama pendidikan di Indonesia adalah kekurangan dukungan sarana dan prasarana pendidikan serta tenaga pengajar, atau masalah kepemimpinan di PT.
”Jadi kalau rektor asing didatangkan, tapi kita tidak meningkatkan support fisik sarana prasarana dan dana, pasti dia akan frustasi, nggak bisa juga mereka melakukan apa-apa pasti. Kalau kita bisa menambah katakanlah anggaran pendidikan tinggi kita dua kali lipat dari sekarang, walaupun rektornya orang Indonesia, pasti meningkat,” paparnya.
Namun jika peningkatan anggaran hanya untuk mendatangkan rektor asing yang nilainya tidak sedikit sementara untuk fasilitas pendidikan lainnya tidak didukung anggaran maka kebijakan in dinilai tidak masuk akal.
”Nggak bakal jalan. Itu pikiran saya, tapi kita belum bicarakan ini dengan menteri, tapi kita berharap menteri mengevaluasi kebijakan ini. Kita bukan anti asing ya, tapi kalau untuk researcher bagus juga kita datangkan peneliti-peneliti asing, tapi sifatnya kolaborasi ada kerja sama dan kita saling bertukar,” katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, langkah Jokowi yang memprioritaskan pembangunan SDM sebagai langkah positif yang harus didukung. Namun, jika langkah tersebut serius dilakukan maka harus ada perencanaan SDM yang jelas sehingga bisa mengena ketika diterjemahkan pada politik anggaran. Menurutnya, 20% APBN saat ini sebagian besar untuk pendidikan dasar dan menengah yang menjadi amanat konstitusi.
”Ke depan itu harus benar-benar kalau fokus ke SDM, itu bagus. Tapi kalau kita lihat, sekarang itu belum tercermin. Kemenristekdikti aja turun anggarannya ya jadi gimana nih caranya kita merealisasikan cita-cita Pak Jokowi. Kemenkeu belum men-support, belum memberikan perhatian atau komitmen politik anggarannya, padahal itu sudah harus mulai 2020, ini politik anggaran belum tampak,” tutur Hetifah, Jumat (16/8/2019).
Berdasarkan Surat Edaran Bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dengan Menteri Keuangan RI Nomor S-338/MK.02/2019 dan Nomor B.241/M.PPN/D.8/KU.01.01/04/2019 tentang Pagu Indikatif Belanja K/L TA 2020 tanggal 29 April 2019, Kemenristekdikti RI mendapatkan pagu indikatif RAPBN TA 2020 sebesar Rp39,7 triliun.
Angka tersebut turun dari pagu 2019 sebesar Rp40,2 triliun. Sementara pada 2018 sebesar Rp40,3 triliun. ”Tiga tahun saja menurun-menurun terus, jadi gimana kita mau mengatakan kita ingin meningkatkan kualitas perguruan tinggi kita,” paparnya.
Padahal pada 2013 lalu anggaran Kemenristekdikti mendapat Rp41,3 triliun, 2014 sebesar Rp41,1 triliun, 2015 sebesar Rp42,7 triliun, 2016 sebesar Rp39,6 triliun, dan 2017 sebesar Rp39,7 triliun.
Berdasarkan World Economic Forum (WEF) 2018, indeks daya saing Indonesia sebesar 64,9 dari skor 0-100 yang menempati ranking ke-45 dari 140 negara. Dari data skor daya saing tersebut, pasar tenaga kerja dan kemampuan inovasi bangsa Indonesia dinilai cukup rendah.
BPS 2017 menyebut, jumlah pemuda Indonesia sebanyak 63,36 juta jiwa. Separuh dari pemuda Indonesia bekerja, yaitu sebesar 51,47%. Pekerja berpendidikan tinggi sebanyak 14,60 juta orang, mencakup 3,28 juta orang (2,71%) berpendidikan Diploma dan 11,32 juta orang (9,35%) berpendidikan Universitas.
Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2020-2030. Jumlah angkatan kerja usia 15-64 tahun akan mencapai 70%, 30% adalah penduduk dengan usia non-produktif yakni di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun.
”Pasar kerja membutuhkan kombinasi berbagai skills yang berbeda dengan yang selama ini diberikan oleh sistem pendidikan tinggi,” tuturnya.
Dikatakan Hetifah, dari evaluasi yang dilakukan Panja DPR soal pendidikan tinggi di Indonesia, salah satu permasalahannya adalah ketidakmerataan pendidikan tinggi (PT). Ketersediaan PT yang belum mampu menampung lulusan sekolah menengah. Dari ribuan PT yang ada, hanya tiga PT Negeri yang masuk dalam World Class University yakni Universitas Indonesia (UI) pada posisi 277, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada posisi 330, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada posisi 301.
”Tapi ribuan lainnya belum. Mayoritas perguruan tinggi yang ada adalah swasta dan antara PTN dan PTS itu gapnya cukup besar. Tapi di antara PTS yang sangat bagus, kebanyakan belum memiliki standar pelayanan yang diinginkan suatu perguruan tinggi,” paparnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR ini, masalah paling parah dalam perguruan tinggi di Indonesia adalah dari sisi ketersediaan tenaga dosen. “Masih banyak PT yang mengeluh karena sekarang dosen mungkin sudah pensiun sementara mahasiswa yang diterima bertambah,” tuturnya.
Masalah kedua adalah ketersediaan sarana dan prasarana Pendidikan. Banyak bangunan pendidikan tinggi yang mangkrak atau belum tuntas.
”Pada akhirnya yang diperlukan nanti itu komitmen yang lebih tegas. Kalau kita memang ingin meningkatkan SDM sampai di tingkatan PT maka kita perlu berkomitmen untuk meningkatkan alokasi anggaran. Ini terkait politik anggaran. Yang kita sesalkan anggaran PT melalui Kemenristek Dikti dari tahun ke tahun, tiga tahun belakangan ini menurun,” paparnya.
Terkait dengan wacana Menristekdikti untuk mendatangkan rektor asing untuk meningkatkan rangking pendidikan di kancah internasional, politikus Partai Golkar ini mengatakan bahwa hal yang harus dipetakan apakah masalah utama pendidikan di Indonesia adalah kekurangan dukungan sarana dan prasarana pendidikan serta tenaga pengajar, atau masalah kepemimpinan di PT.
”Jadi kalau rektor asing didatangkan, tapi kita tidak meningkatkan support fisik sarana prasarana dan dana, pasti dia akan frustasi, nggak bisa juga mereka melakukan apa-apa pasti. Kalau kita bisa menambah katakanlah anggaran pendidikan tinggi kita dua kali lipat dari sekarang, walaupun rektornya orang Indonesia, pasti meningkat,” paparnya.
Namun jika peningkatan anggaran hanya untuk mendatangkan rektor asing yang nilainya tidak sedikit sementara untuk fasilitas pendidikan lainnya tidak didukung anggaran maka kebijakan in dinilai tidak masuk akal.
”Nggak bakal jalan. Itu pikiran saya, tapi kita belum bicarakan ini dengan menteri, tapi kita berharap menteri mengevaluasi kebijakan ini. Kita bukan anti asing ya, tapi kalau untuk researcher bagus juga kita datangkan peneliti-peneliti asing, tapi sifatnya kolaborasi ada kerja sama dan kita saling bertukar,” katanya.
(cip)