Perbedaan Itu Sunatullah, Bukan untuk Dipertentangkan
A
A
A
MEKKAH - Prosesi wukuf di Arafah sebagai penanda puncak haji mengandung banyak makna bagi manusia, khususnya umat Islam. Salah satunya adalah bahwa perbedaan merupakan sunatullah yang tidak perlu dipertentangkan antara satu dengan lainnya. Keragaman yang ada harus bisa disikapi secara baik sehingga tercapai kerukunan dan kedamaian antarumat manusia.
Pesan ini merupakan salah satu inti dari khotbah wukuf yang disampaikan Naib Amirul Hajj, KH Ahmad Bunyamin Ruhiyat di Padang Arafah, Mekkah, Sabtu (10/8). Pesan ini juga diperkuat dengan isi sambutan wukuf Menteri Agama (Menag) sekaligus Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel.
Dalam khotbahnya, Kiai Bunyamin mengatakan jutaan orang dari berbagai pelosok negara, berbeda-beda suku, bangsa, budaya, bahasa, adat istiadat, dan warna kulit, berkumpul menjadi satu di Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf. Di tempat ini tidak ada satu bangsa pun yang lebih menonjol dibanding lainnya, semuanya sama. Mereka ditandai dengan pakaian yang sama.
"Ini tanda bahwa kita semua sama di hadapan Allah. Tidak ada pangkat atau jabatan, kiai atau santri, konglomerat atau melarat. Semua sama di hadapan Allah, dan yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa kepada-Nya," kata Kiai Bunyamin.
Khatib juga menyitir ayat dari Surah Alhujurat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Menurut Kiai Bunyamin, ayat itu menegaskan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang alamiah, sehingga tidak perlu untuk dipertentangkan.
Manusia diciptakan manusia untuk saling mengenal agar terjalin komunikasi dan harmoni di tengah keragaman yang ada. "Sebagai bangsa Indonesia yang hidup di tengah keragaman agama, budaya, suku, dan bahasa sudah sepatutnya kita mensyukuri keragaman tersebut dengan senantiasa membangun komunikasi antara sesama anak bangsa agar tercipta kerukunan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara," katanya.
Hal sama juga disampaikan Dubes RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel dalam sambutan wukufnya. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan prinsip-prinsip kesetaraan manusia dalam Islam sejak 1.430 tahun yang lalu saat wukuf di Arafah.
Rasul bersabda: “Sesungguhnya darah kalian haram (ditumpahkan) dan harta kalian haram (dirampas). Keduanya harus dipelihara seperti halnya hari, bulan, dan tempat ini yang harus dipelihara”. “Ini artinya bahwa kehormatan seseorang harus dilindungi. Karena itu semuanya sama mulianya dengan hari wukuf, bulan Zulhijah, dan Padang Arafah,” katanya.
Menurutnya, sabda Nabi Muhammad SAW tersebut merupakan khotbah humanisme yang menegaskan bahwa Islam merupakan agama persamaan dan mengajarkan prinsip-prinsip ekualitas antarsesama manusia. Tidak ada satu suku, bangsa, kelompok yang lebih istimewa dari yang lainnya.“Khotbah ini merupakan penguatan Islam sebagai agama persamaan,” katanya.
Dubes juga mengajak jamaah haji Indonesia untuk mencintai Nabi Muhammad SAW dengan membaca pesan-pesannya melalui hadis-hadisnya, sehingga umat Islam tahu dan mengamalkannya dalam kehidupannya.
Sementara itu, Menag sekaligus Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin mendoakan semua ibadah jamaah haji Indonesia mabrur. Menag berharap kemabruran itu dapat dirasakan oleh masyarakat luas ketika kembali ke Tanah Air.
Dalam sambutan wukufnya, Menang menyampaikan bahwa mabrur tidaknya ibadah haji yang dilaksanakan merupakan hak prerogatif Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang tahu persis apakah hajinya mabrur atau tidak. Namun, ada tanda-tanda untuk bisa mengetahuinya.
“Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah ditanya mengenai indikator dari kemabruran hajinya seseorang. Ada dua hal, yakni memberi makan orang miskin dan menebarkan salam,” katanya. Dijelaskan, makan merupakan simbol dari kebutuhan pokok manusia. Itu berarti indikator pertama hajinya mabrur adalah seberapa besar kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan pokok sesama.
Adapun menebarkan salam memiliki pengertian bahwa kehadiran seorang muslim mampu menghadirkan kedamaian dan keamanan terhadap sesama. “Wukuf diharapkan mampu menghadirkan eksistensi kita di tengah masyarakat. Kepedulian sosial dan memberikan jaminan rasa aman bagi kita semua," katanya.
Kepedulian sosial dan memberikan jaminan keamanan tidak hanya dilakukan kepada kelompoknya, tapi seluruh manusia, apa pun suku, agama, dan rasnya, sebab Allah meniupkan ruh ke dalam janin yang ada di rahim. Itu artinya, ada bagian dari Allah dalam diri setiap manusia.
"Islam adalah agama yang sangat menitikberatkan pada kemanusiaan. Di sinilah alasan kenapa Kementerian Agama dalam beberapa waktu terakhir terus menggaungkan moderasi Islam," kata Menag. (Malik Abdul Mubarak)
Pesan ini merupakan salah satu inti dari khotbah wukuf yang disampaikan Naib Amirul Hajj, KH Ahmad Bunyamin Ruhiyat di Padang Arafah, Mekkah, Sabtu (10/8). Pesan ini juga diperkuat dengan isi sambutan wukuf Menteri Agama (Menag) sekaligus Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel.
Dalam khotbahnya, Kiai Bunyamin mengatakan jutaan orang dari berbagai pelosok negara, berbeda-beda suku, bangsa, budaya, bahasa, adat istiadat, dan warna kulit, berkumpul menjadi satu di Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf. Di tempat ini tidak ada satu bangsa pun yang lebih menonjol dibanding lainnya, semuanya sama. Mereka ditandai dengan pakaian yang sama.
"Ini tanda bahwa kita semua sama di hadapan Allah. Tidak ada pangkat atau jabatan, kiai atau santri, konglomerat atau melarat. Semua sama di hadapan Allah, dan yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa kepada-Nya," kata Kiai Bunyamin.
Khatib juga menyitir ayat dari Surah Alhujurat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, dan kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Menurut Kiai Bunyamin, ayat itu menegaskan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang alamiah, sehingga tidak perlu untuk dipertentangkan.
Manusia diciptakan manusia untuk saling mengenal agar terjalin komunikasi dan harmoni di tengah keragaman yang ada. "Sebagai bangsa Indonesia yang hidup di tengah keragaman agama, budaya, suku, dan bahasa sudah sepatutnya kita mensyukuri keragaman tersebut dengan senantiasa membangun komunikasi antara sesama anak bangsa agar tercipta kerukunan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara," katanya.
Hal sama juga disampaikan Dubes RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel dalam sambutan wukufnya. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan prinsip-prinsip kesetaraan manusia dalam Islam sejak 1.430 tahun yang lalu saat wukuf di Arafah.
Rasul bersabda: “Sesungguhnya darah kalian haram (ditumpahkan) dan harta kalian haram (dirampas). Keduanya harus dipelihara seperti halnya hari, bulan, dan tempat ini yang harus dipelihara”. “Ini artinya bahwa kehormatan seseorang harus dilindungi. Karena itu semuanya sama mulianya dengan hari wukuf, bulan Zulhijah, dan Padang Arafah,” katanya.
Menurutnya, sabda Nabi Muhammad SAW tersebut merupakan khotbah humanisme yang menegaskan bahwa Islam merupakan agama persamaan dan mengajarkan prinsip-prinsip ekualitas antarsesama manusia. Tidak ada satu suku, bangsa, kelompok yang lebih istimewa dari yang lainnya.“Khotbah ini merupakan penguatan Islam sebagai agama persamaan,” katanya.
Dubes juga mengajak jamaah haji Indonesia untuk mencintai Nabi Muhammad SAW dengan membaca pesan-pesannya melalui hadis-hadisnya, sehingga umat Islam tahu dan mengamalkannya dalam kehidupannya.
Sementara itu, Menag sekaligus Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin mendoakan semua ibadah jamaah haji Indonesia mabrur. Menag berharap kemabruran itu dapat dirasakan oleh masyarakat luas ketika kembali ke Tanah Air.
Dalam sambutan wukufnya, Menang menyampaikan bahwa mabrur tidaknya ibadah haji yang dilaksanakan merupakan hak prerogatif Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang tahu persis apakah hajinya mabrur atau tidak. Namun, ada tanda-tanda untuk bisa mengetahuinya.
“Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah ditanya mengenai indikator dari kemabruran hajinya seseorang. Ada dua hal, yakni memberi makan orang miskin dan menebarkan salam,” katanya. Dijelaskan, makan merupakan simbol dari kebutuhan pokok manusia. Itu berarti indikator pertama hajinya mabrur adalah seberapa besar kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan pokok sesama.
Adapun menebarkan salam memiliki pengertian bahwa kehadiran seorang muslim mampu menghadirkan kedamaian dan keamanan terhadap sesama. “Wukuf diharapkan mampu menghadirkan eksistensi kita di tengah masyarakat. Kepedulian sosial dan memberikan jaminan rasa aman bagi kita semua," katanya.
Kepedulian sosial dan memberikan jaminan keamanan tidak hanya dilakukan kepada kelompoknya, tapi seluruh manusia, apa pun suku, agama, dan rasnya, sebab Allah meniupkan ruh ke dalam janin yang ada di rahim. Itu artinya, ada bagian dari Allah dalam diri setiap manusia.
"Islam adalah agama yang sangat menitikberatkan pada kemanusiaan. Di sinilah alasan kenapa Kementerian Agama dalam beberapa waktu terakhir terus menggaungkan moderasi Islam," kata Menag. (Malik Abdul Mubarak)
(don)