Wantimpres: Perlu Penguatan Pancasila dalam Penyusunan RPJMN 2020-2024
A
A
A
JAKARTA - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Sidarto Danusubroto berpandangan, berlanjutnya pemerintahan Presiden Jokowi untuk periode ke dua 2019-2024 bersama Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, diperlukan persiapan untuk mendukung kerja kabinet pemerintahan mendatang, terutama dalam hal pembangunan nasional.
Visi-misi Jokowi-Amin, yaitu terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong akan diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Satu hal utama yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan ini adalah perlu adanya penguatan nilai-nilai Pancasila dalam proses penyusunan maupun dokumen RPJMN 2020-2024,” kata Sidarto saat berbicara dalam Sarasehan Kebangsaan bertajuk Strategi RPJMN 2020-2024 Berdasarkan Pancasila, yang digelar Lemhannas – Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) RI, di Gedung Lemhannas, Jakarta Pusat, Rabu (31/07/2019).
Menurut Sidarto, dinamika demokrasi Indonesia pascapemilihan presiden (Pilpres) 2019 terjadi polarisasi yang cukup nyata. Sejumlah kasus tentang polarisasi, antara lain, hubungan pertemanan menjadi rusak akibat fanatisme yang ditopang oleh sektarianisme dan politik identitas; hubungan kolegialitas dalam sebuah tim terbelah ke dalam dua kelompok saja yakni Cebong (01) atau Kampret (02).
“Bahkan hubungan persaudaraan dalam keluarga inti bisa terganggu akibat pembelaan yang berlebihan pada masing-masing capres,” tegas Sidarto.
Salah satu ciri demokrasi liberal adalah mengedepankan persaingan antar dan intra partai mengakibatkan kegaduhan yang berkepanjangan. Praktik itu, kata Sidarto, sudah terjadi dalam Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Hal ini ditandai dengan maraknya hoax, fitnah dan kampanye hitam menjadi hal yang biasa.
Kemudian, tidak ada musyawarah, yang ada hanya kontestasi dengan menghalalkan segala cara. Persoalan demikian harus segera dicarikan solusi demi keutuhan NKRI.
”Pilpres 2019 bukan hanya membelah secara pilihan politik, tapi juga wilayah dan etnis. Ini sangat membahayakan keutuhan NKRI di masa yang akan datang,” terangnya.
Sidarto melanjutkan, demokrasi liberal dengan proporsional terbuka membuat setiap calon pejabat publik 'bemain' dengan pengusaha dengan kompensasi tertentu setelah terpilih. Akibatnya, lebih dari 100 kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK. Menurutnya, persaingan politik adalah nama lain dari persaingan logistik.
“Sehingga kita mendapatkan pejabat publik yang 'berduit' dan mengesampingkan kompetensi manajemen publik, kepemimpinan dan integritas,” tegas ia.
Pada titik inilah, Sidarto mengajak semua pemangku kepentingan untuk mengkritisi praktik demokrasi liberal. Diakui Sidarto, Indonesia belum siap dengan demokrasi liberal berbasis persaingan terbuka, pendidikan rata-rata kita masih SMP kelas dua, kelas menengah belum terbangun dan pendapatan per kapita kita masih di bawah USD5.000 per tahun.
“Indeks demokrasi Indonesia 2018 menunjukkan perbaikan, hanya di sisi lain, indeks tersebut juga mengindikasikan memburuknya friksi di masyarakat,” ujarnya.
Sidarto juga mengajak segenap elemen bangsa untuk mengakhiri politik identitas berbasis SARA. Akibat yang ditimbulkannya telah mengingkari konsensus tentang persatuan dan kebangsaan dalam Pancasila sebagai Philosofische Grondslag.
”Kita perlu menimbang kembali dampak negatif oleh praktik demokrasi liberal baik pilkada maupun pilpres. Mekanisme pemilihan langsung pun patut ditinjau kembali,” ucapnya.
Sidarto mengingatkan nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam Pancasila. Bahwa Demokrasi Pancasila berpijak pada prinsip Permusyawaratan dan Perwakilan sebagaimana tertuang pada Sila 4.
“Kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin pada pilpres dan pilkada, diwakilkan pada wakil-wakil di parlemen. Rakyat cukup memilih perwakilan yang akan membawa aspirasinya di lembaga perwakilan (DPR dan DPRD).
Sistem demokrasi perwakilan, kata Sidarto, akan meniadakan keriuhan kampanye yang menguras banyak tenaga, tanpa ketegangan politis akibat politik identitas, money politic, mobilisasi massa, propaganda, agitasi, dan semacamnya.
“Selain risiko yang minim, ongkos demokrasi perwakilan juga tidak menghabiskan banyak anggaran,” tukasnya.
Visi-misi Jokowi-Amin, yaitu terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong akan diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Satu hal utama yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan ini adalah perlu adanya penguatan nilai-nilai Pancasila dalam proses penyusunan maupun dokumen RPJMN 2020-2024,” kata Sidarto saat berbicara dalam Sarasehan Kebangsaan bertajuk Strategi RPJMN 2020-2024 Berdasarkan Pancasila, yang digelar Lemhannas – Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) RI, di Gedung Lemhannas, Jakarta Pusat, Rabu (31/07/2019).
Menurut Sidarto, dinamika demokrasi Indonesia pascapemilihan presiden (Pilpres) 2019 terjadi polarisasi yang cukup nyata. Sejumlah kasus tentang polarisasi, antara lain, hubungan pertemanan menjadi rusak akibat fanatisme yang ditopang oleh sektarianisme dan politik identitas; hubungan kolegialitas dalam sebuah tim terbelah ke dalam dua kelompok saja yakni Cebong (01) atau Kampret (02).
“Bahkan hubungan persaudaraan dalam keluarga inti bisa terganggu akibat pembelaan yang berlebihan pada masing-masing capres,” tegas Sidarto.
Salah satu ciri demokrasi liberal adalah mengedepankan persaingan antar dan intra partai mengakibatkan kegaduhan yang berkepanjangan. Praktik itu, kata Sidarto, sudah terjadi dalam Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Hal ini ditandai dengan maraknya hoax, fitnah dan kampanye hitam menjadi hal yang biasa.
Kemudian, tidak ada musyawarah, yang ada hanya kontestasi dengan menghalalkan segala cara. Persoalan demikian harus segera dicarikan solusi demi keutuhan NKRI.
”Pilpres 2019 bukan hanya membelah secara pilihan politik, tapi juga wilayah dan etnis. Ini sangat membahayakan keutuhan NKRI di masa yang akan datang,” terangnya.
Sidarto melanjutkan, demokrasi liberal dengan proporsional terbuka membuat setiap calon pejabat publik 'bemain' dengan pengusaha dengan kompensasi tertentu setelah terpilih. Akibatnya, lebih dari 100 kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK. Menurutnya, persaingan politik adalah nama lain dari persaingan logistik.
“Sehingga kita mendapatkan pejabat publik yang 'berduit' dan mengesampingkan kompetensi manajemen publik, kepemimpinan dan integritas,” tegas ia.
Pada titik inilah, Sidarto mengajak semua pemangku kepentingan untuk mengkritisi praktik demokrasi liberal. Diakui Sidarto, Indonesia belum siap dengan demokrasi liberal berbasis persaingan terbuka, pendidikan rata-rata kita masih SMP kelas dua, kelas menengah belum terbangun dan pendapatan per kapita kita masih di bawah USD5.000 per tahun.
“Indeks demokrasi Indonesia 2018 menunjukkan perbaikan, hanya di sisi lain, indeks tersebut juga mengindikasikan memburuknya friksi di masyarakat,” ujarnya.
Sidarto juga mengajak segenap elemen bangsa untuk mengakhiri politik identitas berbasis SARA. Akibat yang ditimbulkannya telah mengingkari konsensus tentang persatuan dan kebangsaan dalam Pancasila sebagai Philosofische Grondslag.
”Kita perlu menimbang kembali dampak negatif oleh praktik demokrasi liberal baik pilkada maupun pilpres. Mekanisme pemilihan langsung pun patut ditinjau kembali,” ucapnya.
Sidarto mengingatkan nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam Pancasila. Bahwa Demokrasi Pancasila berpijak pada prinsip Permusyawaratan dan Perwakilan sebagaimana tertuang pada Sila 4.
“Kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin pada pilpres dan pilkada, diwakilkan pada wakil-wakil di parlemen. Rakyat cukup memilih perwakilan yang akan membawa aspirasinya di lembaga perwakilan (DPR dan DPRD).
Sistem demokrasi perwakilan, kata Sidarto, akan meniadakan keriuhan kampanye yang menguras banyak tenaga, tanpa ketegangan politis akibat politik identitas, money politic, mobilisasi massa, propaganda, agitasi, dan semacamnya.
“Selain risiko yang minim, ongkos demokrasi perwakilan juga tidak menghabiskan banyak anggaran,” tukasnya.
(cip)