Diprediksi lewat Voting, Bamsoet dan Airlangga Punya Kans Sama
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kader Golkar dinilai layak untuk ikut dalam perebutan kursi ketua umum pada Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar yang rencananya digelar Desember mendatang.
Selain Bambang Soesatyo, adapula nama Ali Yahya, Marlida Erwati, Zainuddin Amali, dan Indra Bambang Utoyo. Namun, saat ini nama Bambang Soesatyo yang paling potensial menjadi kompetitor Ketua Umum Golkar petahana, Airlangga Hartarto.
"Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto sama-sama mempunyai integritas dan rekam jejak terbaik sebagai kader Golkar saat ini," kata pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara kepada SINDOnews, Rabu (24/7/2019).
Igor menambahkan, Partai Golkar tidak punya bakat menjadi oposisi. Oleh karena itu, lanjut dia, pemilihan atau pergantian ketua umumnya tidak akan berujung pada perubahan arah koalisi pemerintah.
"Opsi voting (bukan aklamasi-red) diprediksi berpotensi bakal terwujud di Munas 2019. Penyataaan Presiden Jokowi bahwa Munas Golkar 2019 adalah urusan internal partai Golkar memperkuat asumsi ini," kata Direktur Survey dan Polling Indonesia (SPIN) itu.
Dia melanjutkan, jika benar bahwa Jokowi di periode keduanya nanti tidak punya beban maka bisa disimpulkan bahwa restu Istana bukan menjurus ke masalah figur, tetapi lebih ke soal pelaksanaan dan mekanisme gelaran Munas 2019 agar tidak terjadi kegaduhan.
"Opsi voting memperkecil potensi kegaduhan yang mungkin terjadi di tubuh partai berlogo pohon beringin ini," ujarnya.
Jika terjadi voting dalam Munas Golkar 2019 nanti, kata dia, Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto sebenarnya punya peluang yang sama menjadi juara.
"Namun, opsi voting memungkinkan pemilik suara sah Golkar memberikan ruang dan kesempatan kepada Bambang Soesatyo untuk terpilih sebagai ketua umum yang baru, terlepas dari wacana apakah Airlangga Hartarto akan tetap menduduki pos menteri di kabinet periode kedua Jokowi," tuturnya.
Dia menambahkan, walaupun pemilihan ketum Golkar di munas adalah domainnya pemilik hak suara (DPDI dan DPD II), namun preferensi terhadap parpol tetap berada di ranah publik.
Dia mengatakan, selalu ada korelasi positif antara likeability voters terhadap ketum Parpol dengan elektabilitas partai yang dipimpinnya.
Menurut Igor, demokrasi dan pemilihan langsung bersumber dari akseptabilitas publik terhadap ketua umumnya dan berpengaruh bagi perolehan suara partai ke depan.
Jika elektabilitas ketua umum lebih rendah dari elektabilitas partainya, kata dia, agresivitas partai tersebut juga bisa terbebani.
Igor mengatakan, faktor penting bagi Golkar ke depan adalah meningkatkan jumlah suara pemilihnya. "Bisa dilihat bahwa suara Golkar semakin berkurang dari pemilu ke pemilu," katanya.
Menurut dia, posisi Golkar bertahan di tiga besar pemilu legislatif lebih karena loyalitas pemilih tradisionalnya.
Dia mengatakan, bisa dibilang Golkar mampu mempertahankan pemilih tradisionalnya, tetapi tidak mampu menambah pemilih baru. "Padahal secara alamiah pemilih tradisional Golkar semakin berkurang," imbuhnya.
Igor mengatakan, pemilih baru atau milenial sangat besar potensinya di Pemilu 2024. "Kalau dilihat dari sisi penampilan (performance-red), Bambang Soesatyo terlihat unggul dari Airlangga Hartarto di mata milenial," ujarnya.
Akan tetapi, sambung dia, keberpihakan kepada kaum milenial tentu harus serta merta diartikulasikan dalam wujud nyata.
Dia menjelaskan, evaluasi Pileg 2019 seyogyanya dilakukan dengan fokus kepada penjabaran visi-misi dan strategi dari calon ketua umum Golkar terkait target bagaimana meraih suara pemilih baru di masa mendatang.
Igor menambahkan, terpenting pelaksanaan Munas 2019 tidak lagi menimbulkan perpecahan dengan munculnya partai baru seperti yang pernah terjadi.
"Karena jika Golkar dari dulu solid dan tokohnya tidak membuat partai baru, diyakini Golkar akan seperti Partai Kuomintang di Taiwan. Tetap kokoh dan besar sejak awal berdirinya, dan berkuasa sampai sekarang," tuturnya.
Selain Bambang Soesatyo, adapula nama Ali Yahya, Marlida Erwati, Zainuddin Amali, dan Indra Bambang Utoyo. Namun, saat ini nama Bambang Soesatyo yang paling potensial menjadi kompetitor Ketua Umum Golkar petahana, Airlangga Hartarto.
"Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto sama-sama mempunyai integritas dan rekam jejak terbaik sebagai kader Golkar saat ini," kata pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara kepada SINDOnews, Rabu (24/7/2019).
Igor menambahkan, Partai Golkar tidak punya bakat menjadi oposisi. Oleh karena itu, lanjut dia, pemilihan atau pergantian ketua umumnya tidak akan berujung pada perubahan arah koalisi pemerintah.
"Opsi voting (bukan aklamasi-red) diprediksi berpotensi bakal terwujud di Munas 2019. Penyataaan Presiden Jokowi bahwa Munas Golkar 2019 adalah urusan internal partai Golkar memperkuat asumsi ini," kata Direktur Survey dan Polling Indonesia (SPIN) itu.
Dia melanjutkan, jika benar bahwa Jokowi di periode keduanya nanti tidak punya beban maka bisa disimpulkan bahwa restu Istana bukan menjurus ke masalah figur, tetapi lebih ke soal pelaksanaan dan mekanisme gelaran Munas 2019 agar tidak terjadi kegaduhan.
"Opsi voting memperkecil potensi kegaduhan yang mungkin terjadi di tubuh partai berlogo pohon beringin ini," ujarnya.
Jika terjadi voting dalam Munas Golkar 2019 nanti, kata dia, Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto sebenarnya punya peluang yang sama menjadi juara.
"Namun, opsi voting memungkinkan pemilik suara sah Golkar memberikan ruang dan kesempatan kepada Bambang Soesatyo untuk terpilih sebagai ketua umum yang baru, terlepas dari wacana apakah Airlangga Hartarto akan tetap menduduki pos menteri di kabinet periode kedua Jokowi," tuturnya.
Dia menambahkan, walaupun pemilihan ketum Golkar di munas adalah domainnya pemilik hak suara (DPDI dan DPD II), namun preferensi terhadap parpol tetap berada di ranah publik.
Dia mengatakan, selalu ada korelasi positif antara likeability voters terhadap ketum Parpol dengan elektabilitas partai yang dipimpinnya.
Menurut Igor, demokrasi dan pemilihan langsung bersumber dari akseptabilitas publik terhadap ketua umumnya dan berpengaruh bagi perolehan suara partai ke depan.
Jika elektabilitas ketua umum lebih rendah dari elektabilitas partainya, kata dia, agresivitas partai tersebut juga bisa terbebani.
Igor mengatakan, faktor penting bagi Golkar ke depan adalah meningkatkan jumlah suara pemilihnya. "Bisa dilihat bahwa suara Golkar semakin berkurang dari pemilu ke pemilu," katanya.
Menurut dia, posisi Golkar bertahan di tiga besar pemilu legislatif lebih karena loyalitas pemilih tradisionalnya.
Dia mengatakan, bisa dibilang Golkar mampu mempertahankan pemilih tradisionalnya, tetapi tidak mampu menambah pemilih baru. "Padahal secara alamiah pemilih tradisional Golkar semakin berkurang," imbuhnya.
Igor mengatakan, pemilih baru atau milenial sangat besar potensinya di Pemilu 2024. "Kalau dilihat dari sisi penampilan (performance-red), Bambang Soesatyo terlihat unggul dari Airlangga Hartarto di mata milenial," ujarnya.
Akan tetapi, sambung dia, keberpihakan kepada kaum milenial tentu harus serta merta diartikulasikan dalam wujud nyata.
Dia menjelaskan, evaluasi Pileg 2019 seyogyanya dilakukan dengan fokus kepada penjabaran visi-misi dan strategi dari calon ketua umum Golkar terkait target bagaimana meraih suara pemilih baru di masa mendatang.
Igor menambahkan, terpenting pelaksanaan Munas 2019 tidak lagi menimbulkan perpecahan dengan munculnya partai baru seperti yang pernah terjadi.
"Karena jika Golkar dari dulu solid dan tokohnya tidak membuat partai baru, diyakini Golkar akan seperti Partai Kuomintang di Taiwan. Tetap kokoh dan besar sejak awal berdirinya, dan berkuasa sampai sekarang," tuturnya.
(dam)