Jalur Rempah di Keping Poker Peradaban Dunia
A
A
A
Cuaca kurang bersahabat siang itu tak mengendurkan semangat serombongan orang dari Jakarta mendaki salah satu bukit di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara. Bukit Cengkeh Afo-biasa masyarakat setempat menyebutnya, merupakan salah satu sisi punggung Gunung Gamalama. Menjadi istimewa sekaligus prestise, karena bukit ini tempat bertahtanya Cengkeh Afo, pohon cengkeh tertua di dunia.
Mendaki bukit Cengkih Afo yang bermedan curam dan licin berlumut mesti ekstra hati-hati. Lengah sedikit saja, jurang terjal menganga di kiri kanan bukit mampu sekejap mengubah perjalanan indah menjadi mimpi buruk. Kendati begitu, mendaki bukit Cengkih Afo tetaplah menyenangkan, bahkan serasa mencumbu dan menyingkap kembali tabir kejayaan rempah-rempah Nusantara tempo dulu.
Ada tiga pohon Cengkeh Afo di bukit ini, yakni Cengkeh Afo I, II dan III. Kini, yang masih tersisa Cengkeh Afo 1 berumur sekitar 200 tahun, tumbuh tak jauh dari gerbang masuk bukit. “Cengkeh Afo ini salah satu jejak sejarah kejayaan rempah-rempah Nusantara di Ternate, hingga mengundang bangsa-bangsa dunia khususnya Eropa berlayar dan singgah di Nusantara,” kata Didit, pemandu rombongan tim Jelajah Negeri Rempah mendaki bukit Cengkeh Afo.
Selain pohon cengkeh, bukit yang memiliki ketinggian kurang lebih 600 meter dari permukaan laut (Mdpl) ini juga ditumbuhi komoditas rempah lainnya, yakni pala dan kayu manis, termasuk kelapa, coklat, dan pinang. Yang membuat perjalanan makin berkesan, pengunjung dimanjakan suguhan kopi dan teh berbahan rempah, termasuk melihat langsung teknik memasak Rimo-Rimo yang dikerjakan sekelompok ibu-ibu.
Rimo-Rimo sendiri adalah aneka makanan yang disajikan dengan proses pemanggangan di dalam ruas bambu, dan diolah dengan campuran rempah-rempah terbaik dari tanah Moloku Kie Raha (julukan Maluku Utara/tempat berdirinya empat gunung yang merupakan kawasan kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan).
Teknik memasak tradisional hingga citarasa, sensasi serta aroma klasik masakan Rimo-Rimo yang menebar wangi khas rempah ketika matang, kiranya sangat layak jika Rimo-Rimo ditahbiskan menjadi kuliner istimewa di Ternate. Bukit Cengkeh Afo hanyalah satu titik singgah tim Jelajah Jalur Rempah.
Trip culture yang digagas Yayasan Negeri Rempah bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenkomar) ini, juga menapaki banyak titik jalur rempah lainnya di Nusantara. Dalam skala lebih luas, jejak jalur rempah bahkan berada di posisi strategis keping poker peradaban dunia. Membentang luas hingga ke negeri-negeri “di atas angin” yaitu China, India, Timur Tengah, sampai Eropa.
Identitas dan Spirit Membangun Negeri
Sejarah membuktikan, bahwa Indonesia pernah menjadi salah satu penggerak globalisasi Asia. Tampaknya tak berlebihan pula bila dikatakan bahwa Indonesia senantiasa memegang peranan penting dalam perekonomian kawasan regional Asia Tenggara sejak dahulu kala. Selain secara geografis amat strategis menghubungkan negeri-negeri “di atas angin”, Nusantara juga merupakan sumber komoditas paling berharga dan dicari, yakni rempah-rempah.
Sebagai pemain utama dalam sejarah penting yang mengubah peta sejarah dunia, seyogianya masyarakat Indonesia berupaya lebih serius untuk melakukan pelurusan sejarah agar peristiwa-peristiwa di masa lalu dapat dijelaskan secara lebih berimbang. Fakta bahwa Nusantara pernah menjadi penghasil dan pemasok komoditas rempah-rempah dunia tentu tak dapat dinafikan.
Daya tarik cengkeh, pala, dan bunga pala bahkan menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan internasional di Asia Tenggara pada masa itu. Pohon cengkeh (Eugenia aromatica, Kuntze ) adalah tanaman asli (endemik) Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Sedangkan pala dan bunga merahnya didapat dari pohon pala (Myristica fragrans, Linn), endemik Pulau Banda.
Tak kalah penting, jenis rempah aromatik dari getah tanaman pohon endemik Sumatera, yaitu kemenyan (Styrax benzoin) dan kamper/kapur (Cinna momum camphora dan Dryo balanops aromaticum). Beberapa komoditas penting lain seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan lada (Pipernigrum ) juga banyak dihasilkan di Sumatera.
Demikian pula cendana (Santalum album) dan kemiri (Aleurites moluccana) yang banyak tumbuh di kepulauan bagian timur Nusantara. Kayanya komoditas rempah inilah yang telah menarik bangsa asing datang ke Nusantara. Bukti awal ada peran Nusantara dalam percaturan dagang di Samudera Hindia datang dari seorang astronom Yunani bernama Claudius Ptolomaeus, yang tinggal di Alexandria, Mesir, pada abad ke-1 Masehi (M).
Ia menulis Guide to Geography, peta kuno di mana di dalamnya tercantum nama sebuah kota bernama Barus, yang tampaknya merupakan kota pelabuhan kuno yang amat penting di Sumatera dan dunia. Nama kota emporium ini mengingatkan kita pada sebuah komoditas aromatik rempah, yang kala itu amat berharga dan senantiasa diburu oleh bangsa-bangsa dunia, Yunani, Romawi, Mesir, Arab, Tiongkok, Hindustan, yakni kapur barus.
Meski sejumlah sumber China sebelum abad ke-14 mengenal asal cengkeh dari Maluku, hanya ada satu catatan bertarik 1350, yang betul-betul menulis Jung China langsung berlayar dari China ke daerah tersebut. Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku ke belahan dunia barat Nusantara ditangani sepenuhnya oleh orang-orang Melayu, Jawa, dan Banda.
Lalu, para pedagang dari Melayu, Arab, Persia, dan China membeli rempah dari Nusantara, kemudian dibawa dengan kapal ke Teluk Persia dan didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Konstantinopel (Istanbul) di wilayah Turki saat ini, dengan harga mencapai 600 kali lipat.
Perdagangan rempah di Nusantara juga secara masif meninggalkan jejak peradaban yang signifikan berupa peninggalan situs sejarah, situs budaya, hingga melahirkan beragam produk budaya yang terinspirasi dari alam Nusantara yang kaya. Tampak sekali, di masa lalu orang-orang berbagai bangsa berbondong-bondong ke Nusantara tidak semata untuk berdagang, tetapi lebih pada untuk membangun peradaban.
Mulai dari pelabuhan Barus di Sumatera Utara yang diperkirakan ahli sudah berusia lebih dari 5.000 tahun, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kejayaan Wangsa Syailendra, Kerajaan Kahuripan, hingga negara-negara bandar seperti di Banten, Maluku, dan Sulawesi. Semuanya terbentuk karena perdagangan rempah-rempah alias politik ekonomi masa itu.
Beranjak dari kesejarahan yang panjang dan temuan-temuan ilmiah inilah, narasi besar Jalur Rempah menjadi penting digelorakan. Ini juga untuk membungkam berbagai argumentasi dari para ahli terutama dari luar, yang banyak memperdebatkan Jalur Rempah hingga kurang mendapatkan apresiasi. Kondisi makin rumit, ditambah selama ini masyarakat Indonesia senantiasa memahami sejarah Nusantara dari perspektif asing (Barat).
Hal ini pula yang kemudian memunculkan ide dan narasi besar Yayasan Negeri Rempah, sebuah organisasi nirlaba, untuk merestropeksi kembali eksistensi Indonesia di kancah dunia, dengan mengangkat keragaman kacamata lokal dalam memaknai kekayaan rempah Indonesia berikut sejarah di dalamnya.
Narasi Jalur Rempah yang berangkat dari inisiatif masyarakat ini memiliki semangat untuk belajar dan menularkan antusiasmenya kepada publik yang lebih luas tentang betapa pentingnya masyarakat Nusantara mengenal sejarah dan budaya negeri sendiri, betapapun dengan cara yang sederhana. Program komunitas ini tentunya dikemas secara populer agar tetap terasa ringan, bersahabat, dan menginspirasi publik untuk terus belajar bersama.
Yayasan Negeri Rempah juga memiliki perhatian khusus pada pendidikan dan pembelajaran publik terutama pada isu-isu sejarah dan humaniora yang terkait terbentuknya Indonesia melalui perspektif perdagangan global dari masa ke masa, terutama rempah-rempah. Perspektif Jalur Rempah bahkan diyakini dapat menjadi entry point sekaligus memberikan bingkai yang kontekstual untuk memahami Indonesia.
Karena Jalur Rempah bukan hanya berisi perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sekaligus menghasilkan pertukaran ilmu, sosial-budaya, bahasa, keahlian, keterampilan, dan bahkan agama di antara manusia yang berasal dari berbagai tempat yang jauh. Jalur Rempah merupakan melting pot berbagai konsep, gagasan, dan praksis.
Dan, Jalur Rempah menjadi sarana perpindahan semua itu, dari satu tempat ke tempat lain. Pengetahuan dan pemahaman terhadap hal tersebut di atas menjadi penting untuk senantiasa dipupuk dan ditumbuhkan, agar manusia Indonesia tak lupa dengan multikulturalisme yang telah membentuknya. Narasi besar Jalur Rempah ini sebagai diplomasi sekaligus posisi tawar kita, dan untuk lebih mempertegas jati diri atau identitas bangsa.
"Satu hal yang penting ditekankan, membicarakan jalur rempah jangan malah kita terjebak apalagi mengulang nostalgia masa lalu yang tak mengenakkan. Di mana, dulunya di masa kolonial, kekayaan rempah-rempah ini menjadi penyebab bangsa kita sengsara, dijajah bahkan memicu perang saudara. Jalur rempah mesti menjadi spirit bangsa mewujudkan kemajuan,” ujar Hasan Wirajuda, Menteri Luar Negeri periode 2001-2009 yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah.
Mendaki bukit Cengkih Afo yang bermedan curam dan licin berlumut mesti ekstra hati-hati. Lengah sedikit saja, jurang terjal menganga di kiri kanan bukit mampu sekejap mengubah perjalanan indah menjadi mimpi buruk. Kendati begitu, mendaki bukit Cengkih Afo tetaplah menyenangkan, bahkan serasa mencumbu dan menyingkap kembali tabir kejayaan rempah-rempah Nusantara tempo dulu.
Ada tiga pohon Cengkeh Afo di bukit ini, yakni Cengkeh Afo I, II dan III. Kini, yang masih tersisa Cengkeh Afo 1 berumur sekitar 200 tahun, tumbuh tak jauh dari gerbang masuk bukit. “Cengkeh Afo ini salah satu jejak sejarah kejayaan rempah-rempah Nusantara di Ternate, hingga mengundang bangsa-bangsa dunia khususnya Eropa berlayar dan singgah di Nusantara,” kata Didit, pemandu rombongan tim Jelajah Negeri Rempah mendaki bukit Cengkeh Afo.
Selain pohon cengkeh, bukit yang memiliki ketinggian kurang lebih 600 meter dari permukaan laut (Mdpl) ini juga ditumbuhi komoditas rempah lainnya, yakni pala dan kayu manis, termasuk kelapa, coklat, dan pinang. Yang membuat perjalanan makin berkesan, pengunjung dimanjakan suguhan kopi dan teh berbahan rempah, termasuk melihat langsung teknik memasak Rimo-Rimo yang dikerjakan sekelompok ibu-ibu.
Rimo-Rimo sendiri adalah aneka makanan yang disajikan dengan proses pemanggangan di dalam ruas bambu, dan diolah dengan campuran rempah-rempah terbaik dari tanah Moloku Kie Raha (julukan Maluku Utara/tempat berdirinya empat gunung yang merupakan kawasan kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan).
Teknik memasak tradisional hingga citarasa, sensasi serta aroma klasik masakan Rimo-Rimo yang menebar wangi khas rempah ketika matang, kiranya sangat layak jika Rimo-Rimo ditahbiskan menjadi kuliner istimewa di Ternate. Bukit Cengkeh Afo hanyalah satu titik singgah tim Jelajah Jalur Rempah.
Trip culture yang digagas Yayasan Negeri Rempah bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman (Kemenkomar) ini, juga menapaki banyak titik jalur rempah lainnya di Nusantara. Dalam skala lebih luas, jejak jalur rempah bahkan berada di posisi strategis keping poker peradaban dunia. Membentang luas hingga ke negeri-negeri “di atas angin” yaitu China, India, Timur Tengah, sampai Eropa.
Identitas dan Spirit Membangun Negeri
Sejarah membuktikan, bahwa Indonesia pernah menjadi salah satu penggerak globalisasi Asia. Tampaknya tak berlebihan pula bila dikatakan bahwa Indonesia senantiasa memegang peranan penting dalam perekonomian kawasan regional Asia Tenggara sejak dahulu kala. Selain secara geografis amat strategis menghubungkan negeri-negeri “di atas angin”, Nusantara juga merupakan sumber komoditas paling berharga dan dicari, yakni rempah-rempah.
Sebagai pemain utama dalam sejarah penting yang mengubah peta sejarah dunia, seyogianya masyarakat Indonesia berupaya lebih serius untuk melakukan pelurusan sejarah agar peristiwa-peristiwa di masa lalu dapat dijelaskan secara lebih berimbang. Fakta bahwa Nusantara pernah menjadi penghasil dan pemasok komoditas rempah-rempah dunia tentu tak dapat dinafikan.
Daya tarik cengkeh, pala, dan bunga pala bahkan menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan internasional di Asia Tenggara pada masa itu. Pohon cengkeh (Eugenia aromatica, Kuntze ) adalah tanaman asli (endemik) Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Sedangkan pala dan bunga merahnya didapat dari pohon pala (Myristica fragrans, Linn), endemik Pulau Banda.
Tak kalah penting, jenis rempah aromatik dari getah tanaman pohon endemik Sumatera, yaitu kemenyan (Styrax benzoin) dan kamper/kapur (Cinna momum camphora dan Dryo balanops aromaticum). Beberapa komoditas penting lain seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii) dan lada (Pipernigrum ) juga banyak dihasilkan di Sumatera.
Demikian pula cendana (Santalum album) dan kemiri (Aleurites moluccana) yang banyak tumbuh di kepulauan bagian timur Nusantara. Kayanya komoditas rempah inilah yang telah menarik bangsa asing datang ke Nusantara. Bukti awal ada peran Nusantara dalam percaturan dagang di Samudera Hindia datang dari seorang astronom Yunani bernama Claudius Ptolomaeus, yang tinggal di Alexandria, Mesir, pada abad ke-1 Masehi (M).
Ia menulis Guide to Geography, peta kuno di mana di dalamnya tercantum nama sebuah kota bernama Barus, yang tampaknya merupakan kota pelabuhan kuno yang amat penting di Sumatera dan dunia. Nama kota emporium ini mengingatkan kita pada sebuah komoditas aromatik rempah, yang kala itu amat berharga dan senantiasa diburu oleh bangsa-bangsa dunia, Yunani, Romawi, Mesir, Arab, Tiongkok, Hindustan, yakni kapur barus.
Meski sejumlah sumber China sebelum abad ke-14 mengenal asal cengkeh dari Maluku, hanya ada satu catatan bertarik 1350, yang betul-betul menulis Jung China langsung berlayar dari China ke daerah tersebut. Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku ke belahan dunia barat Nusantara ditangani sepenuhnya oleh orang-orang Melayu, Jawa, dan Banda.
Lalu, para pedagang dari Melayu, Arab, Persia, dan China membeli rempah dari Nusantara, kemudian dibawa dengan kapal ke Teluk Persia dan didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Konstantinopel (Istanbul) di wilayah Turki saat ini, dengan harga mencapai 600 kali lipat.
Perdagangan rempah di Nusantara juga secara masif meninggalkan jejak peradaban yang signifikan berupa peninggalan situs sejarah, situs budaya, hingga melahirkan beragam produk budaya yang terinspirasi dari alam Nusantara yang kaya. Tampak sekali, di masa lalu orang-orang berbagai bangsa berbondong-bondong ke Nusantara tidak semata untuk berdagang, tetapi lebih pada untuk membangun peradaban.
Mulai dari pelabuhan Barus di Sumatera Utara yang diperkirakan ahli sudah berusia lebih dari 5.000 tahun, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kejayaan Wangsa Syailendra, Kerajaan Kahuripan, hingga negara-negara bandar seperti di Banten, Maluku, dan Sulawesi. Semuanya terbentuk karena perdagangan rempah-rempah alias politik ekonomi masa itu.
Beranjak dari kesejarahan yang panjang dan temuan-temuan ilmiah inilah, narasi besar Jalur Rempah menjadi penting digelorakan. Ini juga untuk membungkam berbagai argumentasi dari para ahli terutama dari luar, yang banyak memperdebatkan Jalur Rempah hingga kurang mendapatkan apresiasi. Kondisi makin rumit, ditambah selama ini masyarakat Indonesia senantiasa memahami sejarah Nusantara dari perspektif asing (Barat).
Hal ini pula yang kemudian memunculkan ide dan narasi besar Yayasan Negeri Rempah, sebuah organisasi nirlaba, untuk merestropeksi kembali eksistensi Indonesia di kancah dunia, dengan mengangkat keragaman kacamata lokal dalam memaknai kekayaan rempah Indonesia berikut sejarah di dalamnya.
Narasi Jalur Rempah yang berangkat dari inisiatif masyarakat ini memiliki semangat untuk belajar dan menularkan antusiasmenya kepada publik yang lebih luas tentang betapa pentingnya masyarakat Nusantara mengenal sejarah dan budaya negeri sendiri, betapapun dengan cara yang sederhana. Program komunitas ini tentunya dikemas secara populer agar tetap terasa ringan, bersahabat, dan menginspirasi publik untuk terus belajar bersama.
Yayasan Negeri Rempah juga memiliki perhatian khusus pada pendidikan dan pembelajaran publik terutama pada isu-isu sejarah dan humaniora yang terkait terbentuknya Indonesia melalui perspektif perdagangan global dari masa ke masa, terutama rempah-rempah. Perspektif Jalur Rempah bahkan diyakini dapat menjadi entry point sekaligus memberikan bingkai yang kontekstual untuk memahami Indonesia.
Karena Jalur Rempah bukan hanya berisi perdagangan rempah-rempah, tetapi juga sekaligus menghasilkan pertukaran ilmu, sosial-budaya, bahasa, keahlian, keterampilan, dan bahkan agama di antara manusia yang berasal dari berbagai tempat yang jauh. Jalur Rempah merupakan melting pot berbagai konsep, gagasan, dan praksis.
Dan, Jalur Rempah menjadi sarana perpindahan semua itu, dari satu tempat ke tempat lain. Pengetahuan dan pemahaman terhadap hal tersebut di atas menjadi penting untuk senantiasa dipupuk dan ditumbuhkan, agar manusia Indonesia tak lupa dengan multikulturalisme yang telah membentuknya. Narasi besar Jalur Rempah ini sebagai diplomasi sekaligus posisi tawar kita, dan untuk lebih mempertegas jati diri atau identitas bangsa.
"Satu hal yang penting ditekankan, membicarakan jalur rempah jangan malah kita terjebak apalagi mengulang nostalgia masa lalu yang tak mengenakkan. Di mana, dulunya di masa kolonial, kekayaan rempah-rempah ini menjadi penyebab bangsa kita sengsara, dijajah bahkan memicu perang saudara. Jalur rempah mesti menjadi spirit bangsa mewujudkan kemajuan,” ujar Hasan Wirajuda, Menteri Luar Negeri periode 2001-2009 yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah.
(don)