DPR Diminta Tunda Pengesahan Rancangan Undang-undang Pertanahan
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri atas 43 organisasi dan NGO mendesak agar Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan yang tengah dibahas di DPR untuk ditunda pengesahannya. Salah satu sebabnya karena proses perumusan RUU oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan Komisi II DPR yang tidak terbuka.
Dalam pandangan koalisi, RUU Pertanahan yang ada saat ini belumlah layak untuk disahkan oleh DPR. Koalisi meminta kepada Panja Pertanahan Komisi II termasuk fraksi-fraksi, partai politik, dan pemerintah agar dalam proses perumusan dan pembahasan RUU Pertanahan ke depan harus melibatkan secara aktif dan sungguh-sungguh koalisi organisasi masyarakat sipil.
"Masyarakat selama ini menjadi korban konflik agraria dan perampasan tanah, para pakar/akademisi yang kompeten serta kredibel di bidang pertanahan dan seluruh sektor terkait,” tandas anggota Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Dewi Kartika melalui rilis yang diterima KORAN SINDO, kemarin.
Koalisi menyebutkan bahwa Undang-Undang 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) bertujuan menghapus UU Agraria Kolonial Belanda dan memastikan agar bumi, tanah, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diatur oleh negara sebagai kekuasaan tertinggi rakyat.
Sehingga penguasaannya,pemilikannya, penggunaannya, dan pemeliharaannya ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, penggunaan tanah yang melampaui batas dan monopoli swasta tidak diperkenankan. “Keadilan sosial, kesejahteraan manusianya, dan keberlanjutan sumber-sumber agraria menjadi prinsip utama,” ujarnya.
Disadari bahwa UUPA 1960 baru memuat aturan pokok sehingga diperlukan UU dan regulasi turunan lebih lanjut sebagaimana diamanatkan UUPA. Perkembangan jaman terkait agraria berikut kebutuhan dan permasalahan yang timbul sehingga UU yang bersifat khusus (lex specialis) perlu disusun.
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, lanjutnya, mengapresiasi kedudukan dan posisi RUU Pertanahan terhadap UU PA 1960 adalah bersifat melengkapi dan menyempurnakan hal-hal penting yang belum diatur dalam UU PA 1960. Dengan begitu, maka prinsip-prinsip mendasar dan spirit UU PA 1960 hendaknya secara konsisten menjadi pijakan dalam merumuskan isi RUU Pertanahan.
“Begitu pula dengan TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaam Sumber Daya Alam, penting menjadi acuan mengingat masalah sektoralisme peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling kontradiktif telah kita sadari bersama,” ungkap anggota koalisi lainnya, Rukka Sombolonggi.
Namun, menurut dia, bila merujuk pada naskah RUU Pertanahan per 22 Juni 2019 hasil Rapat Panitia Kerja RUU Pertanahan DPR, maka substansi RUU Pertanahan semakin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan keadilan ekologis bagi keberlansungan hajat hidup rakyat Indonesia.
Dalam pandangan koalisi, RUU Pertanahan yang ada saat ini belumlah layak untuk disahkan oleh DPR. Koalisi meminta kepada Panja Pertanahan Komisi II termasuk fraksi-fraksi, partai politik, dan pemerintah agar dalam proses perumusan dan pembahasan RUU Pertanahan ke depan harus melibatkan secara aktif dan sungguh-sungguh koalisi organisasi masyarakat sipil.
"Masyarakat selama ini menjadi korban konflik agraria dan perampasan tanah, para pakar/akademisi yang kompeten serta kredibel di bidang pertanahan dan seluruh sektor terkait,” tandas anggota Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Dewi Kartika melalui rilis yang diterima KORAN SINDO, kemarin.
Koalisi menyebutkan bahwa Undang-Undang 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) bertujuan menghapus UU Agraria Kolonial Belanda dan memastikan agar bumi, tanah, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diatur oleh negara sebagai kekuasaan tertinggi rakyat.
Sehingga penguasaannya,pemilikannya, penggunaannya, dan pemeliharaannya ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena itu, penggunaan tanah yang melampaui batas dan monopoli swasta tidak diperkenankan. “Keadilan sosial, kesejahteraan manusianya, dan keberlanjutan sumber-sumber agraria menjadi prinsip utama,” ujarnya.
Disadari bahwa UUPA 1960 baru memuat aturan pokok sehingga diperlukan UU dan regulasi turunan lebih lanjut sebagaimana diamanatkan UUPA. Perkembangan jaman terkait agraria berikut kebutuhan dan permasalahan yang timbul sehingga UU yang bersifat khusus (lex specialis) perlu disusun.
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, lanjutnya, mengapresiasi kedudukan dan posisi RUU Pertanahan terhadap UU PA 1960 adalah bersifat melengkapi dan menyempurnakan hal-hal penting yang belum diatur dalam UU PA 1960. Dengan begitu, maka prinsip-prinsip mendasar dan spirit UU PA 1960 hendaknya secara konsisten menjadi pijakan dalam merumuskan isi RUU Pertanahan.
“Begitu pula dengan TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaam Sumber Daya Alam, penting menjadi acuan mengingat masalah sektoralisme peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling kontradiktif telah kita sadari bersama,” ungkap anggota koalisi lainnya, Rukka Sombolonggi.
Namun, menurut dia, bila merujuk pada naskah RUU Pertanahan per 22 Juni 2019 hasil Rapat Panitia Kerja RUU Pertanahan DPR, maka substansi RUU Pertanahan semakin jauh dari prinsip-prinsip keadilan agraria dan keadilan ekologis bagi keberlansungan hajat hidup rakyat Indonesia.
(don)