Menkumham Yasonna Dalami Pengajuan Amnesti Baiq Nuril
A
A
A
JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengaku telah menerima perintah dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat Mensesneg Pratikno untuk melakukan kajian hukum secara mendalam mengenai upaya pengajuan amnesti yang dilakukan Baiq Nuril Maknun , terdakwa kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Saya sudah diminta Bapak Presiden melalui Mensesneg untuk mengkaji hal ini secara mendalam, solusi konstitusional dan konstruksi hukum yang dapat dilakukan untuk kasus ini. Jadi saya sudah berdiskusi dengan Pak Widodo Mas Joko (kedua pengacara Baiq Nuril) dan ibu Rieke (Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka). Beliau ini advokatnya yang sudah mendampingi beliau (Baiq Nuril) sejak awal kasus ini," tutur Yasonna saat menerima kunjungan Baiq Nuril dan tim hukumnya di Kantor Kemenkumham, Senin 8 Juli 2019.
Menurut Yasonna, dari pilihan-pilihan upaya hukum yang ada setelah pengajuan kasasi Baiq Nuril ditolak Mahkamah Agung (MA), pilihan yang paling memungkinkan yaitu pengajuan amnesti kepada Presiden.
"Ya. Karena grasi, kalau menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 jo No 5 Tahun 2010, grasi itu (kalau) minimal hukumannya 2 tahun," tuturnya.
Dikatakan Yasonna, amnesti memang dalam praktiknya yang pernah ada di Indoensia selama ini diterapkan untuk kasus-kasus politik. (Baca Juga: Ajukan Amnesti ke Presiden, Baiq Nuril: Kemana Lagi Saya Harus Memohon
"Dulu Bung Karno keluarkan UU No 11 tahun 54 UU Darurat untuk amnesti, tetapi kalau kita membaca secara cermat dalam Pasal 1 UU Darurat tersebut, di situ tidak ada disebut dia melakukan tindak pidana. Jadi tidak ada limitasi tindak pidana apapun di situ," kata Yasonna.
Di sisi lain, katanya, pasca amandemen UUD 1945 Pasal 14 Ayat 2, disebutkan bahwa Presiden mempunyai hak prerogatif untuk dapat memberikan amnesti abolisi dengan pertimbangan DPR.
"Kalau dulu Undang-Undang Darurat dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Berarti ada dasar hukum yang lebih tinggi konstitusional kewenangan presiden sebagai kepala negara, mempunyai hak prerogatif untuk memberikan amnesti," urainya.
Menurutnya, kasus yang dialami Baiq Nuril tidak bisa dianggap sebagai kasus kecil karena hal ini menyangkut rasa keadilan masyarakat kecil, terutama wanita.
"Rasa ketidakkeadilan yang dirasakan oleh ibu Baiq Nuril dan banyak wanita-wanita lainnya. Rasa ketidakadilan orang yang merasa korban, dikorbankan yang seharusnya korban, tapi diperpidanakan. Ini persoalan yang dirasakan," katanya.
Dikatakan Yasonna, bisa jadi ada banyak wanita lainnya di Indonesia yang misalnya menjadi korban kekerasan seksual atau pelecehan yang tidak akan berani bersuara.
"Karena takut bisa-bisa kalau saya mengadu, aku yang dikorbanin karena ini power politik, Kekuatan wanita biasanya lebih rendah dominasinya secara ekonomi, politik, lebih rendah. Dan biasanya orang-orang yang berada kekerasan seksual itu kan orang orang yang dimanfaatkan relasi kuasanya. Contoh Baiq Nuril, guru honorer lawannya kepala sekolah," tuturnya.
Karena itu, pihaknya sekarang sedang menyusun pendapat hukum untuk diajukan kepada Presiden tentang kemungkinan yang paling tepat untuk mengajukan amnesti.
"Nanti malam (malam ini) supaya saya merasa didukung oleh pakar-pakar yang baik, nanti malam ada FGD dari pakar hukum. Ada Prof Dr Muladi, Gayus Lumbuun, Laksmana Bonaprapta," katanya.
Kendati begitu, pihaknya menghormati keputusan MA menolak kasasi yang diajukan Baiq Nuril. (Baca Juga: MA Sebut Penolakan PK Baiq Nuril Tidak Terkait dengan Kasus Lain
"Pertimbangan hukum Mahkamah Agung kami hormati karena itu adalah keputusan hukum. Mereka mempertimbangkan dari segi judex juris-nya, tetapi kewenangan konstitusional Presiden tentang hal ini kita serahkan kepada Bapak Presiden," paparnya.
"Saya sudah diminta Bapak Presiden melalui Mensesneg untuk mengkaji hal ini secara mendalam, solusi konstitusional dan konstruksi hukum yang dapat dilakukan untuk kasus ini. Jadi saya sudah berdiskusi dengan Pak Widodo Mas Joko (kedua pengacara Baiq Nuril) dan ibu Rieke (Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka). Beliau ini advokatnya yang sudah mendampingi beliau (Baiq Nuril) sejak awal kasus ini," tutur Yasonna saat menerima kunjungan Baiq Nuril dan tim hukumnya di Kantor Kemenkumham, Senin 8 Juli 2019.
Menurut Yasonna, dari pilihan-pilihan upaya hukum yang ada setelah pengajuan kasasi Baiq Nuril ditolak Mahkamah Agung (MA), pilihan yang paling memungkinkan yaitu pengajuan amnesti kepada Presiden.
"Ya. Karena grasi, kalau menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 jo No 5 Tahun 2010, grasi itu (kalau) minimal hukumannya 2 tahun," tuturnya.
Dikatakan Yasonna, amnesti memang dalam praktiknya yang pernah ada di Indoensia selama ini diterapkan untuk kasus-kasus politik. (Baca Juga: Ajukan Amnesti ke Presiden, Baiq Nuril: Kemana Lagi Saya Harus Memohon
"Dulu Bung Karno keluarkan UU No 11 tahun 54 UU Darurat untuk amnesti, tetapi kalau kita membaca secara cermat dalam Pasal 1 UU Darurat tersebut, di situ tidak ada disebut dia melakukan tindak pidana. Jadi tidak ada limitasi tindak pidana apapun di situ," kata Yasonna.
Di sisi lain, katanya, pasca amandemen UUD 1945 Pasal 14 Ayat 2, disebutkan bahwa Presiden mempunyai hak prerogatif untuk dapat memberikan amnesti abolisi dengan pertimbangan DPR.
"Kalau dulu Undang-Undang Darurat dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Berarti ada dasar hukum yang lebih tinggi konstitusional kewenangan presiden sebagai kepala negara, mempunyai hak prerogatif untuk memberikan amnesti," urainya.
Menurutnya, kasus yang dialami Baiq Nuril tidak bisa dianggap sebagai kasus kecil karena hal ini menyangkut rasa keadilan masyarakat kecil, terutama wanita.
"Rasa ketidakkeadilan yang dirasakan oleh ibu Baiq Nuril dan banyak wanita-wanita lainnya. Rasa ketidakadilan orang yang merasa korban, dikorbankan yang seharusnya korban, tapi diperpidanakan. Ini persoalan yang dirasakan," katanya.
Dikatakan Yasonna, bisa jadi ada banyak wanita lainnya di Indonesia yang misalnya menjadi korban kekerasan seksual atau pelecehan yang tidak akan berani bersuara.
"Karena takut bisa-bisa kalau saya mengadu, aku yang dikorbanin karena ini power politik, Kekuatan wanita biasanya lebih rendah dominasinya secara ekonomi, politik, lebih rendah. Dan biasanya orang-orang yang berada kekerasan seksual itu kan orang orang yang dimanfaatkan relasi kuasanya. Contoh Baiq Nuril, guru honorer lawannya kepala sekolah," tuturnya.
Karena itu, pihaknya sekarang sedang menyusun pendapat hukum untuk diajukan kepada Presiden tentang kemungkinan yang paling tepat untuk mengajukan amnesti.
"Nanti malam (malam ini) supaya saya merasa didukung oleh pakar-pakar yang baik, nanti malam ada FGD dari pakar hukum. Ada Prof Dr Muladi, Gayus Lumbuun, Laksmana Bonaprapta," katanya.
Kendati begitu, pihaknya menghormati keputusan MA menolak kasasi yang diajukan Baiq Nuril. (Baca Juga: MA Sebut Penolakan PK Baiq Nuril Tidak Terkait dengan Kasus Lain
"Pertimbangan hukum Mahkamah Agung kami hormati karena itu adalah keputusan hukum. Mereka mempertimbangkan dari segi judex juris-nya, tetapi kewenangan konstitusional Presiden tentang hal ini kita serahkan kepada Bapak Presiden," paparnya.
(mhd)