Usut Kasus TPPU, KPK Periksa Kajari dan 2 Jaksa Hulu Sungai Tengah
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan aliran uang hasil dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Bupati Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan nonaktif Abdul Latif ke Kajari dan dua jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) HST.
Juri Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, pada Senin (8/7/2019) ini penyidik memeriksa tiga orang saksi untuk kasus dugaan TPPU dengan tersangka Bupati HST nonaktif Abdul Latif. Ketiganya yakni Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) HST Wagiyo Santoso serta dua jaksa Kejari HST periode 2016-2017 Eko Budi Susanto dan Arief Fatchurrohman. Menurut Febri pemeriksaan Wagiyo, Eko, dan Arief berkaitan dengan aliran uang dugaan TPPU Latif.
"Penyidik menggali lebih lanjut terkait dengan dugaan aliran dana dalam kasus tindak pidana pencucian uang tersangka ALA (Abdul Latif). Tentu saja dalam konteks sejauh mana tiga saksi tersebut mengetahui dugaan aliran dana dalam kasus TPPU yang sedang kami dalami saat ini," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (8/7/2019) malam.
Menurutnya Febri, Wagiyo, Eko, dan Arief diperiksa penyidik KPK di Gedung Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Febri mengungkapkan, ada satu alasan utama pemeriksaan berlangsung di Kejagung. "Ada koordinasi yang dilakukan antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam proses pemeriksaan para saksi tersebut," ungkapnya.
Febri menjelaskan, koordinasi dengan Kejagung diperlukan KPK karena memang KPK membutuhkan keterangan sejumlah saksi dari unsur jaksa. Dia memaparkan, koordinasi ini juga didasarkan dan sesuai dengan nota kesepahaman yang sebelumnya sudah disepakati bersama antara KPK, Kejaksaan, dan Polri.
Disinggung berapa jumlah uang yang diduga diterima Wagiyo, Eko, dan Arief dari tersangka Latif, Febri tetap berkelit. Dia mengungkapkan belum ada informasi tersebut dari penyidik. Yang pasti menurut Febri, materi pemeriksaan masih tetap terkait dugaan aliran dana yang diduga diketahui ketiga saksi tersebut.
"Yang didalami pengetahuan mereka terkait dugaan aliran dana dalam kasus pencucian uang tersangka ALA ini," ucapnya.
Untuk diketahui, Abdul Latif merupakan tersangka menerima gratifikasi dan TPPU.
Abdul Latif sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima gratifikasi yang dianggap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Abdul Latif menerima dari sejumlah pihak dalam bentuk "fee" proyek-proyek dalam APBD Pemkab Hulu Sungai Tengah selama kurun masa jabatannya sebagai Bupati.
Diduga Abdul Latif menerima "fee" dari proyek-proyek di sejumlah Dinas dengan kisaran 7,5 sampai 10 persen setiap proyeknya. Total dugaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang diterima Abdul Latig setidak-tidaknya Rp23 miliar.
Terkait dugaan penerimaan gratifikasi tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selama menjabat sebagai Bupati, Abdul Latif diduga telah membelanjakan penerimaan gratifikasi tersebut menjadi mobil, motor, dan aset lainnya baik yang diatasnamakan dirinya dan keluarga atau pihak lainnya.
Dalam proses pengembangan perkara ini, KPK menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang yang diduga dilakukan oleh Abdul Latif selama periode jabatannya sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah.
Terkait dugaan TPPU tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Juri Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, pada Senin (8/7/2019) ini penyidik memeriksa tiga orang saksi untuk kasus dugaan TPPU dengan tersangka Bupati HST nonaktif Abdul Latif. Ketiganya yakni Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) HST Wagiyo Santoso serta dua jaksa Kejari HST periode 2016-2017 Eko Budi Susanto dan Arief Fatchurrohman. Menurut Febri pemeriksaan Wagiyo, Eko, dan Arief berkaitan dengan aliran uang dugaan TPPU Latif.
"Penyidik menggali lebih lanjut terkait dengan dugaan aliran dana dalam kasus tindak pidana pencucian uang tersangka ALA (Abdul Latif). Tentu saja dalam konteks sejauh mana tiga saksi tersebut mengetahui dugaan aliran dana dalam kasus TPPU yang sedang kami dalami saat ini," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (8/7/2019) malam.
Menurutnya Febri, Wagiyo, Eko, dan Arief diperiksa penyidik KPK di Gedung Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Febri mengungkapkan, ada satu alasan utama pemeriksaan berlangsung di Kejagung. "Ada koordinasi yang dilakukan antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam proses pemeriksaan para saksi tersebut," ungkapnya.
Febri menjelaskan, koordinasi dengan Kejagung diperlukan KPK karena memang KPK membutuhkan keterangan sejumlah saksi dari unsur jaksa. Dia memaparkan, koordinasi ini juga didasarkan dan sesuai dengan nota kesepahaman yang sebelumnya sudah disepakati bersama antara KPK, Kejaksaan, dan Polri.
Disinggung berapa jumlah uang yang diduga diterima Wagiyo, Eko, dan Arief dari tersangka Latif, Febri tetap berkelit. Dia mengungkapkan belum ada informasi tersebut dari penyidik. Yang pasti menurut Febri, materi pemeriksaan masih tetap terkait dugaan aliran dana yang diduga diketahui ketiga saksi tersebut.
"Yang didalami pengetahuan mereka terkait dugaan aliran dana dalam kasus pencucian uang tersangka ALA ini," ucapnya.
Untuk diketahui, Abdul Latif merupakan tersangka menerima gratifikasi dan TPPU.
Abdul Latif sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima gratifikasi yang dianggap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Abdul Latif menerima dari sejumlah pihak dalam bentuk "fee" proyek-proyek dalam APBD Pemkab Hulu Sungai Tengah selama kurun masa jabatannya sebagai Bupati.
Diduga Abdul Latif menerima "fee" dari proyek-proyek di sejumlah Dinas dengan kisaran 7,5 sampai 10 persen setiap proyeknya. Total dugaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang diterima Abdul Latig setidak-tidaknya Rp23 miliar.
Terkait dugaan penerimaan gratifikasi tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selama menjabat sebagai Bupati, Abdul Latif diduga telah membelanjakan penerimaan gratifikasi tersebut menjadi mobil, motor, dan aset lainnya baik yang diatasnamakan dirinya dan keluarga atau pihak lainnya.
Dalam proses pengembangan perkara ini, KPK menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang yang diduga dilakukan oleh Abdul Latif selama periode jabatannya sebagai Bupati Hulu Sungai Tengah.
Terkait dugaan TPPU tersebut, Abdul Latif disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
(pur)