Parpol Koalisi Kompromistis soal Pimpinan MPR

Senin, 08 Juli 2019 - 11:51 WIB
Parpol Koalisi Kompromistis soal Pimpinan MPR
Parpol Koalisi Kompromistis soal Pimpinan MPR
A A A
JAKARTA - Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yang terdiri atas enam partai politik (parpol) di parlemen akan melakukan kompromi soal jatah pimpinan MPR periode 2019-2024 yang hanya tersedia lima kursi.

Internal koalisi akan mengupayakan bagi-bagi kekuasaan di MPR dilakukan secara proporsional. “Saya menduga nanti akan ada kompromi-kompromi. Kan nanti tentu di-sharing kekuasaan di MPR juga akan terjadi,” ungkap Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding di Jakarta kemarin.

Menurut Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi – Ma’ruf Amin itu, soal pembagian kursi pimpinan MPR ini akan ada pembicaraan. Dengan demikian, tidak ada yang akan mengalah termasuk PPP karena hal ini akan dibagi secara baik dan proporsional. “Namanya sharing, dibagi secara baik, proporsional, berdasarkan kesepakatan, enggak ada yang mengalah, tidak ada yang dikalahkan,” tandasnya.

Soal apakah PKB akan ikut mendapatkan jatah kursi pimpinan MPR, mantan sekretaris jenderal (sekjen) DPP PKB itu mengaku tidak tahu sebab soal itu menjadi ranah kekuasaan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin). “Tanya Cak Imin,” jawab Karding.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sudah diatur bahwa pimpinan MPR berjumlah lima orang yang terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua yang dipilih berdasarkan paket yang diajukan oleh satu perwakilan DPD dan empat parpol. Dengan demikian, parpol koalisi berpotensi besar memenangkan pemilihan paket pimpinan MPR tersebut.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PPP Arsul Sani mengaku tidak tahu mengenai proporsi kabinet maupun calon pimpinan DPR, MPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Namun, kemungkinan besar soal power sharing itu sudah dibahas antara ketua umum (ketum) parpol dan Presiden Jokowi.

“Kalau ketika para ketum partai itu bertemu mungkin sekalian juga dengan Pak Jokowi, bayangan saya tidak hanya membahas soal apa portofolio kabinet saja, ya gitu ya, tapi juga membahas soal portofolio pimpinan Alat Kelengkapan Dewan di DPR dan juga di MPR,” kata Arsul.

Menurut pimpinan Fraksi PPP di DPR itu, semestinya memang soal pimpinan DPR, MPR, dan AKD ini sudah mulai dibahas agar prinsip gotong-royong yang selama ini digaungkan oleh PDI Perjuangan ini bisa direalisasikan. Arsul menjelaskan bahwa yang dimaksud gotong-royong yang diistilahkan PDIP itu adalah jangan sampai pemerintah yang merupakan pemenang pilpres justru menguasai semua lini, termasuk juga di MPR dan DPR. “Kan tidak ada prinsip kemudian the winner takes all kan tidak apa di DPR maupun di MPR,” ujarnya.

Sementara itu, Partai Amanat Nasional (PAN) yang pada MPR periode sekarang mendapatkan kursi ketua menyatakan siap untuk kehilangan kursi pimpinan MPR untuk periode 2019-2024. Satu di antara faktornya, PAN hingga kini masih berada di luar koalisi pemerintah. PAN pun mengakui itu merupakan risiko dalam politik. “Ya itu risiko-risiko dari politik kan selalu ada. Kalaupun enggak masuk di situ (pimpinan MPR), ya biasa,” kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PAN Saleh Partaonan Daulay.

Saleh mengatakan, saat awal periode MPR sekarang yang menang adalah koalisi yang justru kalah dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 sehingga mengantarkan Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan sebagai ketua MPR bersama dengan anggota Koalisi Merah Putih (KMP) lainnya yakni Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PKS. Sementara koalisi yang memenangkan pilpres kala itu justru kalah.

“Kalau nanti pada saat pemilihan ketua MPR ternyata kita tidak dapat, berarti itu konsekuensi dari berpolitik. Itu kan dinamikanya ada,” tandasnya.

Namun, lanjut Saleh, untuk pemilihan pimpinan MPR periode mendatang belum bisa disimpulkan siapa yang harus duduk menjadi pimpinan MPR. Boleh saja jika koalisi pemerintah ingin menyapu bersih posisi pimpinan MPR. Tapi, harus diingat bahwa ada DPD juga yang punya hak di pimpinan DPR dan ada 134 suara dari anggota DPD yang juga diperhitungkan nanti.

“Termasuk sebagian koalisi mereka mungkin berkeinginan ya untuk duduk di sana. Itu sah-sah saja. Silakan saja, tapi kita tunggu dinamika ke depan seperti apa,” ungkap wakil ketua Komisi IX DPR itu.

Soal apakah idealnya jika pimpinan MPR dikuasai koalisi pemerintah, menurut Saleh, itu tergantung bagaimana cara mereka mengakomodasi semua kepentingan yang ada di MPR. Kala mereka mampu menjadi pimpinan yang baik dan tidak pilih kasih, tentu pihaknya tidak bermasalah dengan itu. Namun, yang terbaik adalah baik itu pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) nanti dibagi secara proporsional.

“Jadi, enggak bisa diambil semua oleh pemenang. Tetap saja yang punya kursi di DPR ini kalau secara proporsional ada hak untuk dapat bagian pimpinan, ketua komisi, atau wakil ketua komisi misalnya ketua AKD atau wakil ketua AKD yang lain tetap diberikan,” tandasnya.

Sebelumnya, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, jika dilihat dari perkembangan politik yang ada sekarang, kemungkinan besar perebutan paket pimpinan di MPR justru akan dikuasai kubu parpol pendukung pemerintah.

Pertarungan justru akan terjadi di lingkup internal parpol di mana PKB maupun Golkar juga berminat memperebutkan posisi ketua MPR. “Kubu 01 tidak akan memberikan celah atau ruang, tidak mungkin akan menggabungkan parpol oposisi sehingga dugaan saya akan dimenangi 01. Tapi mereka harus kompromi siapa paketnya, apakah posisi ketua MPR dari Golkar atau PKB,” ungkap Ujang di Jakarta kemarin.

Ujang mengatakan bahwa saat ini kemungkinan besar sedang digodok di kubu 01 komposisi pembagiannya. Baik di struktur pimpinan MPR, alat kelengkapan dewan di parlemen, maupun pembagian di kursi kabinet.

“Kompromi akan terjadi di antara kubu 01. Nanti akan dibagi secara pro porsional apakah di MPR siapa yang ketua, apakah PKB atau Golkar. Di kabinetnya seperti apa, di DPR seperti apa, saya rasa sekarang sedang di susun,” katanya.

Mengenai rekonsiliasi politik, Ujang mengatakan bahwa pembahasan rekonsiliasi pasti akan beriringan dengan pembagian kursi kabinet (power sharing).

“Sederhana saja, ada power sharing di eksekutif dan legislatif. Kalau eksekutifkan kabinet atau wantimpres. Di legislatif ada alat kelengkapan dewan, dibagi secara proporsional. Bicara power sharing, di mana-mana pasti ada yang harus dibagi. Kalau rekonsiliasi maknanya bukan power sharing, itu menafikan makna politik itu sendiri. Jadi sesungguhnya kalau bersepakat, harus ada jabatan yang diberikan ke kubu 02,” ungkapnya. (Kiswondari)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7018 seconds (0.1#10.140)