Indonesia-Norwegia Perluas Kerja Sama Terkait Masalah Lingkungan
A
A
A
JAKARTA - Kerja sama pengendalian perubahan iklim Indonesia-Norwegia yang akan berakhir tahun 2020 direncanakan untuk diperpanjang. Cakupan kerja sama juga akan diperluas dengan memasukan pengelolaan mangrove dan ekoriparian.
Demikian salah satu hasil pertemuan bilateral antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dengan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Ola Elvestuen, di Trondheim, Norwegia, Senin 1 Juli 2019, sore waktu setempat.
Bersama Menteri Siti, hadir Duta Besar Republik Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Ruandha Agung Sugardiman dan Dirjen Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian LHK, Wiratno.
"Kerja sama akan diperluas terkait pengelolaan mangrove dan ekoriparian," kata Menteri Siti usai pertemuan.
Indonesia dan Norwegia menandatangani Letter of Intent (LoI) untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan pada tahun 2010. Sebagai kompensasi dari penurunan emisi GRK yang dicapai Indonesia, Norwegia berjanji akan mengucurkan 1 miliar dolar AS.
Setelah fase persiapan sejak ditandatangani, LoI kini memasuki fase ketiga yaitu pembayaran kompensasi oleh Norwegia untuk penurunan emisi GRK yang dicapai Indonesia. Norwegia sudah menyatakan kesanggupan untuk membayar kompensasi penurunan emisi GRK Indonesia pada tahun 2016-2017 sebesar 4,8 juta ton emisi GRK setara CO2.
Meski demikian, belum ada pembahasan dan kesepakatan kedua negara soal harga yang mesti dibayar Norwegia. "Sebelum LoI diperpanjang, kedua negara akan melakukan evaluasi LoI dan pelaksanaannya," kata Menteri Siti.
Dia juga berharap, pembahasan tentang perluasan LoI sudah tuntas pada September 2019 mendatang. Indonesia mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi emisi GRK. Diantaranya adalah memberlakukan penundaan (moratorium) pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut. Moratorium bahkan direncanakan untuk dipermanenkan.
"Mudah-mudahan Juli ini, peraturan president untuk moratorium hutan secara permanen sudah diterbitkan," harapnya.
Siti juga menjelaskan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang akan menampung dan mengelola dana kompenasi dari Norwegia saat ini sedang dalam finalisasi pembentukan.
Sementara Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Ola Elvestuen menyatakan, Norwegia sangat senang dengan perkembangan yang dicapai oleh Indonesia. Dia juga merespons positif rencana perluasan LoI. Apalagi, upaya pengelolaan mangrove juga telah menjadi agenda Norwegia ke depan.
"Tidak ada keinginan Norwegia untuk menghentikan kerja sama (dengan Indonesia). Yang diperlukan saat ini adalah bagaimana rescheduling-nya," kata Ola saat pertemuan dengan Siti.
Pertemuan bilateral Indonesia-Norwegia yang digelar menjadi pemanasan sebelum digelarnya Konferensi Keanekaragaman Hayati Trondheim (Trondheim Biodiversity Conference).
Siti menyampaikan selamat kepada Norwegia yang telah menjembatani isu penting keanekaragaman hayati sampai ketingkat global, sebagai jalan menuju pertemuan para pihak (COP) COP ke 15 tentang Konvensi Keanekaragaman hayati yang akan dilaksanakan di Kunming, China.
Saat pelaksanaan konferensi Trondheim, Indonesia memaparkan berbagai upaya dalam melindungi dan melestarikan flagship spesies, seperti gajah, harimau, badak, orang utan, komodo, dan burung cenderawasih.
Demikian salah satu hasil pertemuan bilateral antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dengan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Ola Elvestuen, di Trondheim, Norwegia, Senin 1 Juli 2019, sore waktu setempat.
Bersama Menteri Siti, hadir Duta Besar Republik Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Ruandha Agung Sugardiman dan Dirjen Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian LHK, Wiratno.
"Kerja sama akan diperluas terkait pengelolaan mangrove dan ekoriparian," kata Menteri Siti usai pertemuan.
Indonesia dan Norwegia menandatangani Letter of Intent (LoI) untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan pada tahun 2010. Sebagai kompensasi dari penurunan emisi GRK yang dicapai Indonesia, Norwegia berjanji akan mengucurkan 1 miliar dolar AS.
Setelah fase persiapan sejak ditandatangani, LoI kini memasuki fase ketiga yaitu pembayaran kompensasi oleh Norwegia untuk penurunan emisi GRK yang dicapai Indonesia. Norwegia sudah menyatakan kesanggupan untuk membayar kompensasi penurunan emisi GRK Indonesia pada tahun 2016-2017 sebesar 4,8 juta ton emisi GRK setara CO2.
Meski demikian, belum ada pembahasan dan kesepakatan kedua negara soal harga yang mesti dibayar Norwegia. "Sebelum LoI diperpanjang, kedua negara akan melakukan evaluasi LoI dan pelaksanaannya," kata Menteri Siti.
Dia juga berharap, pembahasan tentang perluasan LoI sudah tuntas pada September 2019 mendatang. Indonesia mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi emisi GRK. Diantaranya adalah memberlakukan penundaan (moratorium) pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut. Moratorium bahkan direncanakan untuk dipermanenkan.
"Mudah-mudahan Juli ini, peraturan president untuk moratorium hutan secara permanen sudah diterbitkan," harapnya.
Siti juga menjelaskan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang akan menampung dan mengelola dana kompenasi dari Norwegia saat ini sedang dalam finalisasi pembentukan.
Sementara Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Ola Elvestuen menyatakan, Norwegia sangat senang dengan perkembangan yang dicapai oleh Indonesia. Dia juga merespons positif rencana perluasan LoI. Apalagi, upaya pengelolaan mangrove juga telah menjadi agenda Norwegia ke depan.
"Tidak ada keinginan Norwegia untuk menghentikan kerja sama (dengan Indonesia). Yang diperlukan saat ini adalah bagaimana rescheduling-nya," kata Ola saat pertemuan dengan Siti.
Pertemuan bilateral Indonesia-Norwegia yang digelar menjadi pemanasan sebelum digelarnya Konferensi Keanekaragaman Hayati Trondheim (Trondheim Biodiversity Conference).
Siti menyampaikan selamat kepada Norwegia yang telah menjembatani isu penting keanekaragaman hayati sampai ketingkat global, sebagai jalan menuju pertemuan para pihak (COP) COP ke 15 tentang Konvensi Keanekaragaman hayati yang akan dilaksanakan di Kunming, China.
Saat pelaksanaan konferensi Trondheim, Indonesia memaparkan berbagai upaya dalam melindungi dan melestarikan flagship spesies, seperti gajah, harimau, badak, orang utan, komodo, dan burung cenderawasih.
(maf)