Negara-negara di ASEAN Diharapkan Soroti Kejahatan Transnasional
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, meminta setiap negara yang tergabung di forum ASEAN bersama menghadapi isu kejahatan transnasional.
Hal ini disampaikan Wiranto di forum ASEAN Political-Security Community (APSC). Isu-isu tersebut di antaranya terorisme, masalah kemanusiaan di Rakhine Myanmar, ancaman perdagangan manusia, masalah di Laut Cina Selatan, hingga kejahatan di dunia maya atau siber.
Wiranto mengungkapkan dalam isu kemanusiaan Rakhine, negara ASEAN juga perlu mengantisipasi konsekuensi munculnya unsur-unsur radikalisme dan ekstremisme yang dapat mengarah pada terorisme dan adanya sindikat perdagangan manusia yang mencoba mengeksploitasi orang-orang yang rentan.
"Kedua ancaman tersebut dapat membawa tantangan keamanan di wilayah kami," kata Wiranto.
Meskipun kata Wiranto, saat ini telah ada Asean Coordinating Centre For Humanitarian Assistance (AHA Centre), bersama dengan Sekretariat ASEAN.
Kini, Pemerintah Myanmar pun telah menyelesaikan penilaian kebutuhan awal dengan beberapa rekomendasi tentang proses repatriasi untuk orang-orang Rakhine yang sukarela, aman dan bermartabat.
Selain itu, kerja sama hukum melalui "Perjanjian ASEAN tentang Bantuan Hukum Saling Timbal" antar negara ASEAN juga perlu perhatian khusus. Pasalnya, kata Wiranto, hal ini sebagai komponen penting untuk memerangi jaringan kejahatan global.
"Kita perlu terus mempromosikan standar internasional untuk memerangi kejahatan lintas negara, termasuk pekerjaan tentang Perjanjian Ekstradisi ASEAN,” tegasnya.
Wiranto juga mengungkapkan, bahwa masalah Laut Cina Selatan juga perlu perhatian khusus. Menurutnya, ASEAN telah membuat kemajuan yang signifikan dalam negosiasi Teks Negosiasi Draft Tunggal Kode Etik.
"Kita perlu mempertahankan momentum positif ini dengan menunjukkan persatuan dan solidaritas kita ASEAN pada proses untuk mencapai kesimpulan awal dari CoC yang efektif dan substantif," ungkap Wiranto.
Kemudian, isu kejahatan dunia maya atau siber harus diperkuat antarnegara ASEAN. Apalagi, saat ini negara di ASEAN sedang menghadapi tantangan perbedaan tingkat kematangan dunia maya, prioritas kebijakan, tingkat pengembangan, dan sumber daya.
"ASEAN perlu mengeksplorasi cara mengimplementasikan Pernyataan Para Pemimpin ASEAN tentang Kerja sama Keamanan Siber dengan merujuk pada 11 norma sukarela global dari Kelompok Ahli Pemerintah PBB 2015 dan mengembangkan pemahaman bersama yang bahkan lebih dalam di dalam konteks ASEAN, termasuk untuk mempromosikan norma-norma di ruang siber," kata Wiranto.
"Kami percaya ASEAN, Institut Perdamaian dan Rekonsiliasi (ASEAN-IPR) memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam mempromosikan berbagi pengetahuan dan rekomendasi kebijakan. Kami yakin bahwa ASEAN-IPR, dengan dukungan penuh dari Negara-negara Anggota ASEAN, akan dapat menjalankan peran ini," tutupnya.
Hal ini disampaikan Wiranto di forum ASEAN Political-Security Community (APSC). Isu-isu tersebut di antaranya terorisme, masalah kemanusiaan di Rakhine Myanmar, ancaman perdagangan manusia, masalah di Laut Cina Selatan, hingga kejahatan di dunia maya atau siber.
Wiranto mengungkapkan dalam isu kemanusiaan Rakhine, negara ASEAN juga perlu mengantisipasi konsekuensi munculnya unsur-unsur radikalisme dan ekstremisme yang dapat mengarah pada terorisme dan adanya sindikat perdagangan manusia yang mencoba mengeksploitasi orang-orang yang rentan.
"Kedua ancaman tersebut dapat membawa tantangan keamanan di wilayah kami," kata Wiranto.
Meskipun kata Wiranto, saat ini telah ada Asean Coordinating Centre For Humanitarian Assistance (AHA Centre), bersama dengan Sekretariat ASEAN.
Kini, Pemerintah Myanmar pun telah menyelesaikan penilaian kebutuhan awal dengan beberapa rekomendasi tentang proses repatriasi untuk orang-orang Rakhine yang sukarela, aman dan bermartabat.
Selain itu, kerja sama hukum melalui "Perjanjian ASEAN tentang Bantuan Hukum Saling Timbal" antar negara ASEAN juga perlu perhatian khusus. Pasalnya, kata Wiranto, hal ini sebagai komponen penting untuk memerangi jaringan kejahatan global.
"Kita perlu terus mempromosikan standar internasional untuk memerangi kejahatan lintas negara, termasuk pekerjaan tentang Perjanjian Ekstradisi ASEAN,” tegasnya.
Wiranto juga mengungkapkan, bahwa masalah Laut Cina Selatan juga perlu perhatian khusus. Menurutnya, ASEAN telah membuat kemajuan yang signifikan dalam negosiasi Teks Negosiasi Draft Tunggal Kode Etik.
"Kita perlu mempertahankan momentum positif ini dengan menunjukkan persatuan dan solidaritas kita ASEAN pada proses untuk mencapai kesimpulan awal dari CoC yang efektif dan substantif," ungkap Wiranto.
Kemudian, isu kejahatan dunia maya atau siber harus diperkuat antarnegara ASEAN. Apalagi, saat ini negara di ASEAN sedang menghadapi tantangan perbedaan tingkat kematangan dunia maya, prioritas kebijakan, tingkat pengembangan, dan sumber daya.
"ASEAN perlu mengeksplorasi cara mengimplementasikan Pernyataan Para Pemimpin ASEAN tentang Kerja sama Keamanan Siber dengan merujuk pada 11 norma sukarela global dari Kelompok Ahli Pemerintah PBB 2015 dan mengembangkan pemahaman bersama yang bahkan lebih dalam di dalam konteks ASEAN, termasuk untuk mempromosikan norma-norma di ruang siber," kata Wiranto.
"Kami percaya ASEAN, Institut Perdamaian dan Rekonsiliasi (ASEAN-IPR) memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam mempromosikan berbagi pengetahuan dan rekomendasi kebijakan. Kami yakin bahwa ASEAN-IPR, dengan dukungan penuh dari Negara-negara Anggota ASEAN, akan dapat menjalankan peran ini," tutupnya.
(maf)