Pengamat Tjipta Lesmana Luruskan Soal Masalah Data Pertanian
A
A
A
JAKARTA - Pengamat politik dan pertanian, Tjipta Lesmana menilai, analisis pengamat ekonomi INDEF (Insititute for Development of Economics and Finance), BhimaYudhistira tentang pertanian jauh dari akurat, kalau tidak dikatakan asal-asalan.
Hal itu memberikan kesan Bhima kurang memahami perkembangan sektor pertanian, khususnya dalam era pemerintahan Jokowi. "Data yang digunakan jauh dari valid dan tendensius," ucap Prof Tjipta di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Pertama, data BPS mencatat volume ekspor pertanian melonjak 26,9 persen. Jika, pada 2013 sebesar 33,5 juta ton, tahun 2018 meningkat jadi 42,5 juta ton. Apa ini bukan suatu keberhasilan? Begitu juga PDB pertanian tumbuh 3,7 persen.
"Jika 2 tahun yang lalu angkanya Rp969 triliun, tahun lalu mencapai Rp1.005 triliun. PDB pertanian tumbuh melebihi target 2018 sebesar 3,5 persen," sebut Prof Tjipta.
Kedua, selama 4,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, inflasi bahan pangan juga menurun. Jika pada 2013 termasuk tinggi, kenyataannya Indonesia mampu menekan inflasi pertanian dari 10,57 persen pada tahun 2014 menjadi 1,26 persen tahun 2017.
Tjipta Lesmana juga menyinggung ekspor kita ke Argentina berupa kelapa, kakao, cengkeh, kapas, pala, kelapa sawit, karet dan lainnya yang mencapai lebih dari Rp600 miliar. Ekspor buah ke Argentina juga mulai dirintis oleh Kementerian Pertanian.
Hal lain yang juga digarisbawahi oleh Tjipta Lesmana adalah kenaikan sangat signifikan dalam investasi di sektor pertanian. Jika pada 2013 investasi tersebut hanya Rp29,3 triliun, tahun 2018 mencapai Rp61,6 triliun.
Total investasi secara kumulatif dari 2013 lebih dari Rp 250 triliun.
Masih menurut angka BPS, pemerintah Jokowi diam-diam berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan.
Menurut BPS, NTP Pertanian 2018 sebesar 102,46, naik 0,42 persen dibandingkan tahun 2014 sebesar 102,03. Memang diakui oleh Prof Tjipta, kenaikan ini belum menggembirakan, sehingga semua pemangku kepentingan di bidang pertanian masih harus bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani.
"Dari aspek pemberantasan korupsi, kami kira Kementan era Jokowi sudah menggoreskan prestasi yang pantas dibanggakan. Amran Sulaeman bahkan berani mengundang KPK untuk berkantor di Kementan, memeriksa langsung tata-kelola di kementerian tersebut," tutur Tjipta.
Di era sebelumnya, sambungnya, Kementerian Pertanian terkenal sebagai salah satu kementerian yang "kotor”. Untuk itu, KPK telah memberikan penghargaan khusus kepada Kementan. Sementara itu, pada 2016 BPK memberikan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Kementan, antara lain, karena tata-kelola administrasinya yanmg dinilai bagus dan transparan.
"Tentang swasembada beras, analisis Bhima Yudhistira, tampaknya, juga harus dikoreksi. Apakah betul Indonesia sampai sekarang masih gagal mencapai swasembada beras? Yang dicatat sebagai data oleh Bhima mungkin impor beras pada 2018 sekitar 3 juta ton. Padahal impor tersebut hanya diperuntukkan bagi kebutuhan industri tertentu seperti pakan," bebernya.
"Dan sampai sekarang beras yang diimpor tahun 2018 masih disimpan di gudang alias belum dikonsumsi. Tapi, pada tahun 2016-2017 Indonesia benar-benar tidak impor beras," imbuhnya.
Secara keseluruhan, Prof Tjipta menegaskan prestasi Kementerian Pertanian dibawah kepemimpinan Andi Amran Sulaeman sulit dibantah. Presiden Jokowi sendiri beberapa kali secara terbuka memuji kinerja Menteri Pertanian.
"Bahwa di sana-sini ada suara miring yang menghantam Pak Amran, boleh jadi bermotifkan politik untuk mempengaruhi Presiden Jokowi mencopot Amran pada kabinet barunya pasca dilantik 20 Oktober 2019," tegasnya.
Lebih lanjut Tjipta menyebutkan, pelantikan presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2019 masih 5 bulan lagi. Tapi kasak-kusuk tentang susunan kabinet baru sudah merebak di masyarakat.
"Bisa saja sudah ada orang-orang yang ngebet jadi Menteri Pertanian dengan membonceng pengamat dan akademisi tertentu untuk menjatuhkan Amran," ujarnya.
"Ya kita buktikan saja nanti apakah Amran dilengserkan atau tetap dipakai Jokowi sebagai Menteri Pertanian," sambung Tjipta.
Hal itu memberikan kesan Bhima kurang memahami perkembangan sektor pertanian, khususnya dalam era pemerintahan Jokowi. "Data yang digunakan jauh dari valid dan tendensius," ucap Prof Tjipta di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Pertama, data BPS mencatat volume ekspor pertanian melonjak 26,9 persen. Jika, pada 2013 sebesar 33,5 juta ton, tahun 2018 meningkat jadi 42,5 juta ton. Apa ini bukan suatu keberhasilan? Begitu juga PDB pertanian tumbuh 3,7 persen.
"Jika 2 tahun yang lalu angkanya Rp969 triliun, tahun lalu mencapai Rp1.005 triliun. PDB pertanian tumbuh melebihi target 2018 sebesar 3,5 persen," sebut Prof Tjipta.
Kedua, selama 4,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, inflasi bahan pangan juga menurun. Jika pada 2013 termasuk tinggi, kenyataannya Indonesia mampu menekan inflasi pertanian dari 10,57 persen pada tahun 2014 menjadi 1,26 persen tahun 2017.
Tjipta Lesmana juga menyinggung ekspor kita ke Argentina berupa kelapa, kakao, cengkeh, kapas, pala, kelapa sawit, karet dan lainnya yang mencapai lebih dari Rp600 miliar. Ekspor buah ke Argentina juga mulai dirintis oleh Kementerian Pertanian.
Hal lain yang juga digarisbawahi oleh Tjipta Lesmana adalah kenaikan sangat signifikan dalam investasi di sektor pertanian. Jika pada 2013 investasi tersebut hanya Rp29,3 triliun, tahun 2018 mencapai Rp61,6 triliun.
Total investasi secara kumulatif dari 2013 lebih dari Rp 250 triliun.
Masih menurut angka BPS, pemerintah Jokowi diam-diam berhasil menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan.
Menurut BPS, NTP Pertanian 2018 sebesar 102,46, naik 0,42 persen dibandingkan tahun 2014 sebesar 102,03. Memang diakui oleh Prof Tjipta, kenaikan ini belum menggembirakan, sehingga semua pemangku kepentingan di bidang pertanian masih harus bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani.
"Dari aspek pemberantasan korupsi, kami kira Kementan era Jokowi sudah menggoreskan prestasi yang pantas dibanggakan. Amran Sulaeman bahkan berani mengundang KPK untuk berkantor di Kementan, memeriksa langsung tata-kelola di kementerian tersebut," tutur Tjipta.
Di era sebelumnya, sambungnya, Kementerian Pertanian terkenal sebagai salah satu kementerian yang "kotor”. Untuk itu, KPK telah memberikan penghargaan khusus kepada Kementan. Sementara itu, pada 2016 BPK memberikan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Kementan, antara lain, karena tata-kelola administrasinya yanmg dinilai bagus dan transparan.
"Tentang swasembada beras, analisis Bhima Yudhistira, tampaknya, juga harus dikoreksi. Apakah betul Indonesia sampai sekarang masih gagal mencapai swasembada beras? Yang dicatat sebagai data oleh Bhima mungkin impor beras pada 2018 sekitar 3 juta ton. Padahal impor tersebut hanya diperuntukkan bagi kebutuhan industri tertentu seperti pakan," bebernya.
"Dan sampai sekarang beras yang diimpor tahun 2018 masih disimpan di gudang alias belum dikonsumsi. Tapi, pada tahun 2016-2017 Indonesia benar-benar tidak impor beras," imbuhnya.
Secara keseluruhan, Prof Tjipta menegaskan prestasi Kementerian Pertanian dibawah kepemimpinan Andi Amran Sulaeman sulit dibantah. Presiden Jokowi sendiri beberapa kali secara terbuka memuji kinerja Menteri Pertanian.
"Bahwa di sana-sini ada suara miring yang menghantam Pak Amran, boleh jadi bermotifkan politik untuk mempengaruhi Presiden Jokowi mencopot Amran pada kabinet barunya pasca dilantik 20 Oktober 2019," tegasnya.
Lebih lanjut Tjipta menyebutkan, pelantikan presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2019 masih 5 bulan lagi. Tapi kasak-kusuk tentang susunan kabinet baru sudah merebak di masyarakat.
"Bisa saja sudah ada orang-orang yang ngebet jadi Menteri Pertanian dengan membonceng pengamat dan akademisi tertentu untuk menjatuhkan Amran," ujarnya.
"Ya kita buktikan saja nanti apakah Amran dilengserkan atau tetap dipakai Jokowi sebagai Menteri Pertanian," sambung Tjipta.
(maf)