Ulama Berpolitik

Jum'at, 03 Mei 2019 - 07:25 WIB
Ulama Berpolitik
Ulama Berpolitik
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

PADA Pemilihan Presiden 2019 ini diksi ulama masuk dalam wacana politik. Tidak sekadar wacana, bahkan terlibat dan melibatkan diri cukup jauh dalam gelanggang politik praktis.

Situasi ini telah dimulai sejak Pilkada DKI 2014 yang tanpa disengaja disulut dan digerakkan oleh Ahok. Secara dialektis sesungguhnya Ahok telah melambungkan nama dan posisi beberapa tokoh Islam yang kemudian punya peran dan posisi politik yang signifikan dalam panggung politik Indonesia.

Kemunculan Riziq Shihab dan beberapa nama lain yang tampil dan menjadi aktor gerakan massa dalam Pilpres 2019 ini tak bisa dipisahkan dari kasus Ahok yang menciptakan panggung—meskipun tanpa disengaja.
Pilihan Jokowi pada Ma’ruf Amin sebagai cawapres yang memiliki posisi sentral di MUI dan NU tentu saja tak lepas dari pertimbangan akan kapasitasnya sebagai ulama yang didukung secara emosional di kalangan warga NU. Sementara itu, kubu Prabowo juga memperoleh dukungan militan dari mereka yang menyebut dirinya komunitas Ijtima’ Ulama.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul dan perlu direnungkan, seberapa serius komitmen para ulama itu untuk mengawal demokrasi, kebinekaan dan penegakan konstitusi, mengingat ada beberapa ulama yang menganggap demokrasi itu menyalahi hukum Tuhan.
Umat Islam hanya boleh taat pada hukum Allah, sedangkan demokrasi dan konstitusi adalah hukum ciptaan manusia.

Lalu, mereka bisa saja menerima Pancasila selama sejalan dan menguntungkan paham dan agendanya, tapi akan menolak jika demokrasi itu menghalanginya. Kita jangan sampai melupakan sejarah bahwa bentuk republik adalah warisan dan amanat para pejuang dan pendiri bangsa yang mayoritas adalah juga ulama dan intelektual muslim.

Demokrasi Pancasila adalah jalan tengah antara sistem kesultanan dan republik model Barat yang sekuler. Meskipun paham dan gerakan komunisme sudah ditutup rapat di Indonesia, sebagai pemikiran tak ada yang bisa menutupnya—sekali sebuah ideologi tampil dalam bursa pemikiran. Tapi ideologi Islam yang mendukung kekhalifahan dan menganggap demokrasi itu produk thaghut yang kafir justru akhir-akhir ini berseliweran.

Di Timur Tengah, negara-negara yang menerapkan demokrasi umumnya tidak stabil, bahkan masuk daftar negara gagal. Di sisi lain, negara yang menerapkan kerajaan umumnya diktator.

Indonesia yang penduduknya sedemikian besar dan plural, pilihan paling cocok memang sistem demokrasi. Untuk kembali ke kerajaan tidak mungkin. Terlebih kekhalifahan yang ditawarkan Hizbut Tahrir, seluruh negara-negara Arab menolaknya. Indonesia yang majemuk sangat tidak tepat.

Jadi, keterlibatan ulama ke pusaran politik praktis sebaiknya memiliki visi dan program yang jelas, lalu dilempar ke tengah publik untuk diuji dan dikaji konsepnya. Sebab, ulama itu ada di mana-mana, tidak mengelompok hanya ke dalam satu kekuatan politik. Kalau ulama terlalu jauh masuk ke pusaran politik tanpa konsep yang jelas dan diterima publik, yang terjadi justru akan mendegradasi martabat ulama serta menggerogoti kepercayaan umat kepada ulama.

Bahwa ulama dan para sultan punya andil besar bagi lahirnya Republik Indonesia, itu fakta sejarah tak terbantahkan. Namun, perlu kita ingat selalu bahwa sistem republik dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara adalah amanat pendiri bangsa yang telah dikukuhkan dalam konstitusi. Dan itulah yang mengikat kita sebagai entitas bangsa. Melawan konstitusi bisa dianggap makar.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3210 seconds (0.1#10.140)