Mencermati Esensi Hari Buruh Internasional Pasca Pemilu 2019
A
A
A
ISU ketenagakerjaan dan aksi unjuk rasa buruh diprediksi akan kembali menghiasi panggung politik nasional bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional atau 'May Day' yang jatuh pada 1 Mei 2019. Aksi unjuk rasa yang dilakukan buruh tersebut dapat dipahami sebagai cara mereka dalam menyuarakan tuntutannya terhadap masalah-masalah ketenagakerjaan, seperti status kekaryawanan, pembayaran tunjangan hari raya, dan hal lain yang bersifat peningkatan hak-hak buruh. Pekerjaan rumah yang dihadapi pemerintah Indonesia di bidang ketenagakerjaan memang masih seputar ketersediaan lapangan kerja, kualitas sumber daya manusia, dan tingkat upah serta jaminan sosial.
Berbicara mengenai isu lapangan kerja tentunya bukan lagi menjadi topik baru bagi kita. Sejak Indonesia merdeka, dari kepemimpinan sebelum-sebelumnya, pemerintah Indonesia terus berupaya membangun ekonomi nasional di berbagai sektor kehidupan. Tujuannya tentunya tak lain adalah dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi nasional yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Indonesia secara adil dan merata sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang, naik 2,39 juta orang dibanding Februari 2017. Sementara penduduk yang bekerja sebanyak 127,07 juta orang, atau bertambah 2,53 juta orang dibanding Februari 2017. Dari total 127,07 juta orang yang bekerja tersebut, sebanyak 7,64 persen masuk kategori setengah menganggur dan 23,83 persen pekerja paruh waktu. Rata-rata upah buruh pada Februari 2018 sebesar 2,65 juta rupiah, tertinggi di kategori Jasa Keuangan dan Asuransi, yaitu sebesar 4,13 juta rupiah, sedangkan terendah di kategori Jasa Lainnya, yaitu sebesar 1,44 juta rupiah.
Meski ajang Pemilu 2019 telah usai dilaksanakan dan hanya tinggal menunggu hasil resmi dari KPU, tak dapat dipungkiri kontestasi nasional tersebut telah menyebabkan polarisasi politik di masyarakat. Masyarakat Indonesia seolah-olah terbelah ke dalam dua kutub yang saling berseberangan atas sebuah kekuatan politik dan ideologi yang diusung pasangan capres dan cawapres. Pun demikian dengan gerakan buruh yang semakin terorganisir dalam serikat pekerja. Mereka tidak lagi hanya sekadar memperjuangkan kepentingan hak-haknya selaku pekerja saja, namun lebih dari itu, mereka secara terbuka juga mulai masuk ke ranah politik praktis.
Sejak era reformasi, sebenarnya serikat buruh/pekerja telah melakukan politik praktis sebagai partai politik peserta pemilu. Pada Pemilu 1999, misalnya, partai yang berasal dari serikat buruh/pekerja antara lain yaitu Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia, Partai Buruh Nasional, Partai Solidaritas Pekerja, Partai Pekerja Indonesia. Kemudian, pada Pemilu 2004, Partai Buruh Sosial Demokrat dan Pemilu 2009 Partai Buruh dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia.
Namun, faktanya, selama tiga kali menjadi peserta Pemilu, perolehan suaranya tidak begitu signifikan. Sebagai alternatinya, serikat buruh/pekerja harus berafiliasi dengan partai politik yang ada saat ini dalam rangka mengusung agenda membela kepentingan buruh.
Polarisasi Serikat Buruh/Pekerja Pada Pilpres 2019
Meski memiliki kesamaan dalam memperjuangkan hak-haknya kepada pemerintah, akan tetapi ketika berbicara pada tataran ideologi antara serikat pekerja satu dengan yang lain sangat sulit disatukan. Saat ini saja, diperkirakan ada sekitar 15 konfederasi serikat buruh/pekerja, belum termasuk serikat buruh/pekerja lainnya yang belum memiliki konfederasi yang jumlahnya mencapai ratusan.
Setiap serikat maupun konfederasi buruh/pekerja yang ada saat ini memiliki agendanya sendiri-sendiri, sehingga mengakibatkan terbelahnya kekuatan mereka. Kondisi inilah yang kemudian membuat kekuatan buruh menjadi rebutan para aktor politik, meski tak jarang mereka hanya dijadikan alat bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuan politiknya dan kemudian meninggalkannya ketika tujuan mereka memperoleh kekuasaan itu tercapai.
Pada peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2018 lalu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan Prabowo-Sandi. Sementara Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mendukung pasangan Joko Widodo-Maruf Amin. Baik KSBSI maupun KSPSI juga menyatakan dukungan untuk Jokowi pada peringatan Hari Buruh pada Mei 2018. Dengan melakukan itu, mereka berharap untuk mendapatkan kesepakatan yang lebih baik menyangkut masalah tenaga kerja.
Sejatinya, peringatan Hari Buruh atau 'May Day' tidak boleh dijadikan momentum untuk sosialisasi bagi peserta pemilu, baik itu partai politik maupun pasangan capres-cawapres. Kondisi semacam itu hanya akan membawa organisasi serikat buruh/pekerja semakin terkotak-kotak dan terkooptasi oleh kepentingan partai politik, yang berakibat tidak sejalannya esensi perjuangan kaum buruh dalam memperjuangkan hak-haknya.
Oleh karena itu, peringatan Hari Buruh harus murni diisi oleh para buruh yang memperjuangkan hak-haknya. Partai politik maupun politikus semestinya tidak mempolitisasi kepentingan kaum buruh pada saat mereka menyampaikan sejumlah tuntutan pada peringatan Hari Buruh. Alangkah lebih bijak apabila para aktor politik memainkan peranannya di ranah kebijakan pemerintahan untuk memperjuangkan aspirasi kaum buruh untuk memperoleh hak-haknya.
Dengan banyaknya konfederasi maupun serikat buruh/pekerja yang ada saat ini hanya akan membuat dasar pemikiran dan perjuangan kaum buruh semakin bias saat menghadapi kebijakan pengusaha ataupun pemerintah. Di sisi lain, pihak pengusaha dan pemerintah juga dipastikan akan bingung dalam menentukan konfederasi yang benar-benar merepresentasikan suara buruh/pekerja.
Kondisi tersebut tentunya tak lepas dari mudahnya syarat pendirian serikat pekerja atau serikat buruh sebagaimana yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, di mana mensyaratkan minimal 10 anggota sudah bisa mendirikan serikat pekerja. Akan tetapi, apabila dikehendaki perlunya revisi terhadap syarat minimal pendirian serikat buruh dalam UU tersebut, maka keinginan itu harus muncul dari gerakan buruh itu sendiri.
Sementara bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan semestinya mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pengusaha dan buruh tanpa membedakan status mereka dalam struktur masyarakat. Sudah saatnya negara memainkan peranannya dengan lebih seimbang tanpa merugikan kaum buruh dan pengusaha.
Oleh Dave Akbarshah Fikarno
(Anggota Komisi I FPG DPR RI)
Berbicara mengenai isu lapangan kerja tentunya bukan lagi menjadi topik baru bagi kita. Sejak Indonesia merdeka, dari kepemimpinan sebelum-sebelumnya, pemerintah Indonesia terus berupaya membangun ekonomi nasional di berbagai sektor kehidupan. Tujuannya tentunya tak lain adalah dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi nasional yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Indonesia secara adil dan merata sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang, naik 2,39 juta orang dibanding Februari 2017. Sementara penduduk yang bekerja sebanyak 127,07 juta orang, atau bertambah 2,53 juta orang dibanding Februari 2017. Dari total 127,07 juta orang yang bekerja tersebut, sebanyak 7,64 persen masuk kategori setengah menganggur dan 23,83 persen pekerja paruh waktu. Rata-rata upah buruh pada Februari 2018 sebesar 2,65 juta rupiah, tertinggi di kategori Jasa Keuangan dan Asuransi, yaitu sebesar 4,13 juta rupiah, sedangkan terendah di kategori Jasa Lainnya, yaitu sebesar 1,44 juta rupiah.
Meski ajang Pemilu 2019 telah usai dilaksanakan dan hanya tinggal menunggu hasil resmi dari KPU, tak dapat dipungkiri kontestasi nasional tersebut telah menyebabkan polarisasi politik di masyarakat. Masyarakat Indonesia seolah-olah terbelah ke dalam dua kutub yang saling berseberangan atas sebuah kekuatan politik dan ideologi yang diusung pasangan capres dan cawapres. Pun demikian dengan gerakan buruh yang semakin terorganisir dalam serikat pekerja. Mereka tidak lagi hanya sekadar memperjuangkan kepentingan hak-haknya selaku pekerja saja, namun lebih dari itu, mereka secara terbuka juga mulai masuk ke ranah politik praktis.
Sejak era reformasi, sebenarnya serikat buruh/pekerja telah melakukan politik praktis sebagai partai politik peserta pemilu. Pada Pemilu 1999, misalnya, partai yang berasal dari serikat buruh/pekerja antara lain yaitu Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia, Partai Buruh Nasional, Partai Solidaritas Pekerja, Partai Pekerja Indonesia. Kemudian, pada Pemilu 2004, Partai Buruh Sosial Demokrat dan Pemilu 2009 Partai Buruh dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia.
Namun, faktanya, selama tiga kali menjadi peserta Pemilu, perolehan suaranya tidak begitu signifikan. Sebagai alternatinya, serikat buruh/pekerja harus berafiliasi dengan partai politik yang ada saat ini dalam rangka mengusung agenda membela kepentingan buruh.
Polarisasi Serikat Buruh/Pekerja Pada Pilpres 2019
Meski memiliki kesamaan dalam memperjuangkan hak-haknya kepada pemerintah, akan tetapi ketika berbicara pada tataran ideologi antara serikat pekerja satu dengan yang lain sangat sulit disatukan. Saat ini saja, diperkirakan ada sekitar 15 konfederasi serikat buruh/pekerja, belum termasuk serikat buruh/pekerja lainnya yang belum memiliki konfederasi yang jumlahnya mencapai ratusan.
Setiap serikat maupun konfederasi buruh/pekerja yang ada saat ini memiliki agendanya sendiri-sendiri, sehingga mengakibatkan terbelahnya kekuatan mereka. Kondisi inilah yang kemudian membuat kekuatan buruh menjadi rebutan para aktor politik, meski tak jarang mereka hanya dijadikan alat bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuan politiknya dan kemudian meninggalkannya ketika tujuan mereka memperoleh kekuasaan itu tercapai.
Pada peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2018 lalu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan Prabowo-Sandi. Sementara Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mendukung pasangan Joko Widodo-Maruf Amin. Baik KSBSI maupun KSPSI juga menyatakan dukungan untuk Jokowi pada peringatan Hari Buruh pada Mei 2018. Dengan melakukan itu, mereka berharap untuk mendapatkan kesepakatan yang lebih baik menyangkut masalah tenaga kerja.
Sejatinya, peringatan Hari Buruh atau 'May Day' tidak boleh dijadikan momentum untuk sosialisasi bagi peserta pemilu, baik itu partai politik maupun pasangan capres-cawapres. Kondisi semacam itu hanya akan membawa organisasi serikat buruh/pekerja semakin terkotak-kotak dan terkooptasi oleh kepentingan partai politik, yang berakibat tidak sejalannya esensi perjuangan kaum buruh dalam memperjuangkan hak-haknya.
Oleh karena itu, peringatan Hari Buruh harus murni diisi oleh para buruh yang memperjuangkan hak-haknya. Partai politik maupun politikus semestinya tidak mempolitisasi kepentingan kaum buruh pada saat mereka menyampaikan sejumlah tuntutan pada peringatan Hari Buruh. Alangkah lebih bijak apabila para aktor politik memainkan peranannya di ranah kebijakan pemerintahan untuk memperjuangkan aspirasi kaum buruh untuk memperoleh hak-haknya.
Dengan banyaknya konfederasi maupun serikat buruh/pekerja yang ada saat ini hanya akan membuat dasar pemikiran dan perjuangan kaum buruh semakin bias saat menghadapi kebijakan pengusaha ataupun pemerintah. Di sisi lain, pihak pengusaha dan pemerintah juga dipastikan akan bingung dalam menentukan konfederasi yang benar-benar merepresentasikan suara buruh/pekerja.
Kondisi tersebut tentunya tak lepas dari mudahnya syarat pendirian serikat pekerja atau serikat buruh sebagaimana yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, di mana mensyaratkan minimal 10 anggota sudah bisa mendirikan serikat pekerja. Akan tetapi, apabila dikehendaki perlunya revisi terhadap syarat minimal pendirian serikat buruh dalam UU tersebut, maka keinginan itu harus muncul dari gerakan buruh itu sendiri.
Sementara bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan semestinya mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pengusaha dan buruh tanpa membedakan status mereka dalam struktur masyarakat. Sudah saatnya negara memainkan peranannya dengan lebih seimbang tanpa merugikan kaum buruh dan pengusaha.
Oleh Dave Akbarshah Fikarno
(Anggota Komisi I FPG DPR RI)
(maf)