Pencandu Pornografi Permisif terhadap Perilaku Negatif
A
A
A
JAKARTA - Kasus anak terpapar pornografi sudah sangat mengkhawatirkan. Pornografi berdampak terhadap psikis dan mendorong pelakunya berperilaku menyimpang.
Pakar sosiologi pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Dr Elly Malihah MSi mengatakan, dampak buruk dari pornografi jika dikonsumsi oleh anak-anak, tentu tidak baik bagi perkembangan mental dan sosial anak.
Salah satu hasil penelitian, kata Elly, menunjukkan bahwa orang atau anak yang terpapar pornografi berdampak kerusakan pada bagian otak prefrontal cortex (PFC) lima kali lebih besar.
Dampak ini sangat terlihat pada pencandu narkotika lewat mata (narkolema) dibandingkan dengan narkotika yang PFC-nya hanya tiga kali lebih besar. “PFC adalah bagian otak yang berfungsi sebagai pengendali agar manusia bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Jika bagian ini (PFC) membesar, yang bersangkutan semakin permisif terhadap perilaku negatif karena sulit membedakan mana yang baik dan tidak baik. Salah satu faktor penyebab adalah mudahnya anak mengakses konten pornografi,” kata Elly kepada KORAN SINDO, kemarin.
Tanda-tanda seseorang merupakan pencandu narkolema, ujar Elly, mirip dengan pencandu narkoba. Mudah marah, terlihat lesu, atau tak bergairah jika dalam masa ketagihan (sakaw). Untuk mencegah agar anak tak terpapar pornografi, ujar Elly, orang tua harus responsif tentang konten internet yang menjadi konsumsi anak. Dengan sikap tegas, tapi cara lembut atau bijak, orang tua harus memeriksa telepon seluler (ponsel) anak secara rutin.
“Orang tua juga harus menjadi contoh dengan tidak mengakses pornografi, terlebih ketika sedang bersama anak-anaknya. Tinggalkan gadget, berkomunikasilah dengan anak-anak atau keluarga,” ucap Elly.
Jika anak telah terpapar pornografi, sebaiknya konsultasikan kepada psikolog atau psikiater. “Pemerintah harus berikhtiar mendeteksi dan menindak situs-situs pornografi dan atau pornoaksi, baik dengan teknologi maupun pencegahan lainnya,” tutur dia.
Di Kota Bandung, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, kasus asusila yang dipicu oleh tontonan negatif pornografi cukup tinggi. Selama 2018 Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Bandung menangani puluhan kasus asusila. Korbannya sebagian besar anak-anak, baik pria maupun wanita.
Faktor pemicu perbuatan tersebut adalah pornografi. Pelaku gemar menonton video porno dan melampiaskannya kepada anak-anak. Beberapa kasus asusila menonjol yang terjadi di Kota Bandung yang ditangani Unit PPA Polrestabes Bandung di antaranya kakek AS alias Abah, 67, yang mencabuli 13 anak di bawah umur di kediamannya di Pasir Koja, Kota Bandung pada Januari 2018.
Kemudian, pada Januari 2019 terungkap kasus guru les privat Matematika, DRP, 48, yang mencabuli 34 murid laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah pertama (SMP). Sebelum pencabulan dilakukan, DRP mengajak korban menonton video porno.
Pelaku melakukan pencabulan di tempat les privat miliknya di Jalan Mandala II Nomor 52 RT 11/02, Kelurahan Jatihandap, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung. Yang paling menggemparkan adalah kasus anak yang dipaksa terlibat dalam pembuatan video porno di dua hotel di Kota Bandung.
Kejahatan ini berhasil dibongkar oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jabar pada Desember 2018. Dalam kasus ini, polisi menetapkan enam tersangka, baik perempuan pemeran dalam video porno, ibu korban SU dan HN, perantara, dan sutradara. Para pelaku telah divonis hukuman penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
Mereka dinyatakan bersalah sesuai Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 29 Undang- Undang Nomor 44/2008 tentang Pornografi, dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam berkas terpisah majelis hakim memvonis otak pelaku pembuat atau sutradara dan penyebar video porno anak M Faisal Akbar dengan hukuman penjara selama tujuh tahun penjara, denda Rp250 juta subsider kurungan enam bulan.
Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia beberapa bulan terakhir membuat miris para orang tua. Mereka tak ingin pengaruh tontonan pornografi yang sekarang mudah diakses lewat gadget menjadi penyebabnya.
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Bagong Suyanto menuturkan, orang tua harus menyadari perubahan pola anaknya dalam mengisi waktu luang. Butuh perhatian lebih di masa emas anaknya. Apalagi, kebiasaan anak bisa terbentuk dari berbagai sektor. “Kalau anak di kamar bukan berarti lebih aman daripada di luar rumah,” kata Bagong kemarin.
Dia melanjutkan, serangan pornografi justru terjadi ketika anak mengakses internet. Mereka dengan leluasa berselancar di dunia maya tanpa ada batas. “Orang tua juga jangan terlalu gagap teknologi (gaptek),” ucapnya.Bagong juga menambahkan, para orang tua harus aktif dalam memahami dan memantau anaknya sehingga mereka memahami kebutuhan yang diinginkan sang buah hati. “Memang anak perlu ditawari alternatif permainan lain di luar gadgetdan internet,” jelasnya. Salah satu cara, katanya, bisa dilakukan dengan mengarahkan anaknya membaca.
“Anak harus punya pilihan alternatif dalam membangun kebiasaan,” sambungnya. Selain itu, interaksi anak dengan teman sebaya juga perlu diawasi. Termasuk ajakan serta kebiasaan anak yang berdampak negatif. Peran guru juga bisa dilakukan dengan melakukan pengembangan peran peer groupyang positif. “Peer groupini akan bisa mendeteksi serta menciptakan budaya baru bagi anak-anak,” katanya. (Agus Warsudi/Aan Haryono)
Pakar sosiologi pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Dr Elly Malihah MSi mengatakan, dampak buruk dari pornografi jika dikonsumsi oleh anak-anak, tentu tidak baik bagi perkembangan mental dan sosial anak.
Salah satu hasil penelitian, kata Elly, menunjukkan bahwa orang atau anak yang terpapar pornografi berdampak kerusakan pada bagian otak prefrontal cortex (PFC) lima kali lebih besar.
Dampak ini sangat terlihat pada pencandu narkotika lewat mata (narkolema) dibandingkan dengan narkotika yang PFC-nya hanya tiga kali lebih besar. “PFC adalah bagian otak yang berfungsi sebagai pengendali agar manusia bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Jika bagian ini (PFC) membesar, yang bersangkutan semakin permisif terhadap perilaku negatif karena sulit membedakan mana yang baik dan tidak baik. Salah satu faktor penyebab adalah mudahnya anak mengakses konten pornografi,” kata Elly kepada KORAN SINDO, kemarin.
Tanda-tanda seseorang merupakan pencandu narkolema, ujar Elly, mirip dengan pencandu narkoba. Mudah marah, terlihat lesu, atau tak bergairah jika dalam masa ketagihan (sakaw). Untuk mencegah agar anak tak terpapar pornografi, ujar Elly, orang tua harus responsif tentang konten internet yang menjadi konsumsi anak. Dengan sikap tegas, tapi cara lembut atau bijak, orang tua harus memeriksa telepon seluler (ponsel) anak secara rutin.
“Orang tua juga harus menjadi contoh dengan tidak mengakses pornografi, terlebih ketika sedang bersama anak-anaknya. Tinggalkan gadget, berkomunikasilah dengan anak-anak atau keluarga,” ucap Elly.
Jika anak telah terpapar pornografi, sebaiknya konsultasikan kepada psikolog atau psikiater. “Pemerintah harus berikhtiar mendeteksi dan menindak situs-situs pornografi dan atau pornoaksi, baik dengan teknologi maupun pencegahan lainnya,” tutur dia.
Di Kota Bandung, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, kasus asusila yang dipicu oleh tontonan negatif pornografi cukup tinggi. Selama 2018 Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Bandung menangani puluhan kasus asusila. Korbannya sebagian besar anak-anak, baik pria maupun wanita.
Faktor pemicu perbuatan tersebut adalah pornografi. Pelaku gemar menonton video porno dan melampiaskannya kepada anak-anak. Beberapa kasus asusila menonjol yang terjadi di Kota Bandung yang ditangani Unit PPA Polrestabes Bandung di antaranya kakek AS alias Abah, 67, yang mencabuli 13 anak di bawah umur di kediamannya di Pasir Koja, Kota Bandung pada Januari 2018.
Kemudian, pada Januari 2019 terungkap kasus guru les privat Matematika, DRP, 48, yang mencabuli 34 murid laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah pertama (SMP). Sebelum pencabulan dilakukan, DRP mengajak korban menonton video porno.
Pelaku melakukan pencabulan di tempat les privat miliknya di Jalan Mandala II Nomor 52 RT 11/02, Kelurahan Jatihandap, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung. Yang paling menggemparkan adalah kasus anak yang dipaksa terlibat dalam pembuatan video porno di dua hotel di Kota Bandung.
Kejahatan ini berhasil dibongkar oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jabar pada Desember 2018. Dalam kasus ini, polisi menetapkan enam tersangka, baik perempuan pemeran dalam video porno, ibu korban SU dan HN, perantara, dan sutradara. Para pelaku telah divonis hukuman penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
Mereka dinyatakan bersalah sesuai Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 29 Undang- Undang Nomor 44/2008 tentang Pornografi, dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam berkas terpisah majelis hakim memvonis otak pelaku pembuat atau sutradara dan penyebar video porno anak M Faisal Akbar dengan hukuman penjara selama tujuh tahun penjara, denda Rp250 juta subsider kurungan enam bulan.
Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia beberapa bulan terakhir membuat miris para orang tua. Mereka tak ingin pengaruh tontonan pornografi yang sekarang mudah diakses lewat gadget menjadi penyebabnya.
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Bagong Suyanto menuturkan, orang tua harus menyadari perubahan pola anaknya dalam mengisi waktu luang. Butuh perhatian lebih di masa emas anaknya. Apalagi, kebiasaan anak bisa terbentuk dari berbagai sektor. “Kalau anak di kamar bukan berarti lebih aman daripada di luar rumah,” kata Bagong kemarin.
Dia melanjutkan, serangan pornografi justru terjadi ketika anak mengakses internet. Mereka dengan leluasa berselancar di dunia maya tanpa ada batas. “Orang tua juga jangan terlalu gagap teknologi (gaptek),” ucapnya.Bagong juga menambahkan, para orang tua harus aktif dalam memahami dan memantau anaknya sehingga mereka memahami kebutuhan yang diinginkan sang buah hati. “Memang anak perlu ditawari alternatif permainan lain di luar gadgetdan internet,” jelasnya. Salah satu cara, katanya, bisa dilakukan dengan mengarahkan anaknya membaca.
“Anak harus punya pilihan alternatif dalam membangun kebiasaan,” sambungnya. Selain itu, interaksi anak dengan teman sebaya juga perlu diawasi. Termasuk ajakan serta kebiasaan anak yang berdampak negatif. Peran guru juga bisa dilakukan dengan melakukan pengembangan peran peer groupyang positif. “Peer groupini akan bisa mendeteksi serta menciptakan budaya baru bagi anak-anak,” katanya. (Agus Warsudi/Aan Haryono)
(nfl)