91 Petugas KPPS Meninggal, Perludem: Pemilu 2019 Bukan Pemilu Serentak tapi Borongan
A
A
A
JAKARTA - Wacana mengenai evaluasi Pemilu Serentak 2019 mulai disuarakan sejumlah orang dan lembaga pemantau pemilu setelah melihat fenomena banyaknya para penyelenggara pemilu yakni ketua dan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia dan ratusan petugas pemilu 'terkapar' di rumah sakit karena beban kerja yang cukup melelahkan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengaku lembaganya salah satu yang sepakat proses pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 harus dievalusi.
"Sejak awal (pemilu serentak) diketok di MK (Mahkamah Kontitusi) kami waktu itu sudah mengeluarkan statmen kalau itu kami anggap pemilu borongan, bukan serentak," ujar Titi saat dihubungi SINDOnews, Selasa (23/4/2019).
Titi mengaku Perludem waktu itu ikut mengawal proses judicial review yang diajukan sejumlah pihak ke MK yang kemudian menghasilkan pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan serentak atau bersamaan dalam satu waktu.
Saat itu, tutur Titi, pihaknya ikut memberikan pendapat di dalam sidang MK bahwa istilah serentak idealnya cukup dilakukan untuk pemilihan Caleg DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pemilihan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan di waktu yang lain atau bersamaan dengan pemilihan kepala daerah.
"Misalnya 2,5 tahun berikutnya pemilihan anggota legislatif tingkat provinsi, kabupaten/kota plus kepala daerah. Jadi cottail efek juga berlaku di daerah," ujarnya.
Menurut Titi, dengan model pemilu serentak yang ditampilkan seperti 2019 ini maka sudah pasti akan menambah beban dan tugas para penyelenggara pemilu di tingkat TPS dan Kecamatan. Seharusnya para anggota KPPS cukup bekerja menyelesaikan tiga bentuk surat suara, namun mereka dipaksa menyelesaikan lima surat suara dengan batas waktu yang wajib dituntaskan.
"Akhirnya kita sekarang bisa melihat bagaimana para pejuang demokrasi kita ada yang sakit bahkan sampai meninggal, jumlahnya enggak sedikit," pungkasnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengaku lembaganya salah satu yang sepakat proses pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 harus dievalusi.
"Sejak awal (pemilu serentak) diketok di MK (Mahkamah Kontitusi) kami waktu itu sudah mengeluarkan statmen kalau itu kami anggap pemilu borongan, bukan serentak," ujar Titi saat dihubungi SINDOnews, Selasa (23/4/2019).
Titi mengaku Perludem waktu itu ikut mengawal proses judicial review yang diajukan sejumlah pihak ke MK yang kemudian menghasilkan pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan serentak atau bersamaan dalam satu waktu.
Saat itu, tutur Titi, pihaknya ikut memberikan pendapat di dalam sidang MK bahwa istilah serentak idealnya cukup dilakukan untuk pemilihan Caleg DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pemilihan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan di waktu yang lain atau bersamaan dengan pemilihan kepala daerah.
"Misalnya 2,5 tahun berikutnya pemilihan anggota legislatif tingkat provinsi, kabupaten/kota plus kepala daerah. Jadi cottail efek juga berlaku di daerah," ujarnya.
Menurut Titi, dengan model pemilu serentak yang ditampilkan seperti 2019 ini maka sudah pasti akan menambah beban dan tugas para penyelenggara pemilu di tingkat TPS dan Kecamatan. Seharusnya para anggota KPPS cukup bekerja menyelesaikan tiga bentuk surat suara, namun mereka dipaksa menyelesaikan lima surat suara dengan batas waktu yang wajib dituntaskan.
"Akhirnya kita sekarang bisa melihat bagaimana para pejuang demokrasi kita ada yang sakit bahkan sampai meninggal, jumlahnya enggak sedikit," pungkasnya.
(kri)