BW Sebut Pemilu 2019 Terburuk, Pemantau: MK yang Berhak Menilai Pelanggaran
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto menyebut Pemilu 2019 terburuk sejak reformasi 1998. Bahkan pria yang akrab disapa BW itu menggap, kecurangan Pemilu 2019 terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif.
Menanggapi hal ini, Koordinator Pusat Poros Mandat Warga untuk Keadilan (MWK) Girindra Sandino mengakui sejak awal kelompok sipil telah mengingatkan potensi darurat pemilu 2019 yang bukan pada konsekuensi teknis yang parah, namun kekhawatiran menjerumuskan bangsa kepada krisis politik dan ketatanegaraan.
"Mengenai penilaian bahwa pemilu kali ini buruk pasca reformasi dari sisi mana pihak-pihak tersebut menilai? Karena tidak ada poros politik tengah yang kuat untuk menyatakan dan menilai hal tersebut. Juga kita dapat melihat rekam jejak selama proses pemilu berlangsung," ujar Girindra saat dihubungi SINDOnews, Senin (22/4/2019).
Girindra menilai, terkait pernyataan BW yang juga anggota Badan Pemenangan Nasional paslon Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno apakah dianggap prematur atau tidak yang menyatakan pemilu 2019 terburuk sejak reformasi, menurutnya hal itu berpulang ke masyarakat untuk menilai.
Namun Girindra menilai, masih banyak hal yang positif ditunjukkan penyelenggara pemilu kali ini salah satunya terkait dengan partisipasi publik yang ikut mengawasi dan memantau. Ia menganggap, partisipasi politik bentuk kematangan masyarakat dalam berdemokrasi.
"Bahwa dari sisi teknis terjadi berbagai kelalaian dan banyaknya penyimpangan selama masih bisa diperbaiki oleh itikad baik dan masih ada pranata-pranata demokrasi yang dapat menanganinya masih ada harapan," ujarnya.
Maka itu, Girindra yang juga putra dari mantan Komisioner KPU, Mulyana W Kusuma itu menilai, jangan sampai penilaian satu pihak kemudian menganggap peran sipil gagal dalam penyelenggaraan kontestasi demokrasi. Girindra mengaku masih ada harapan untuk menyelesaikan hal-hal teknis segala bentuk penyimpangan dan kecurangan sesuai dengan mekanisme hukum dan aturan main yang legal yang sejak awal disepakati semua pihak.
"Dan yang dapat mengeluarkan bahwa telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM) adalah Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ada lagi yang berwenang selain MK," pungkasnya.
Menanggapi hal ini, Koordinator Pusat Poros Mandat Warga untuk Keadilan (MWK) Girindra Sandino mengakui sejak awal kelompok sipil telah mengingatkan potensi darurat pemilu 2019 yang bukan pada konsekuensi teknis yang parah, namun kekhawatiran menjerumuskan bangsa kepada krisis politik dan ketatanegaraan.
"Mengenai penilaian bahwa pemilu kali ini buruk pasca reformasi dari sisi mana pihak-pihak tersebut menilai? Karena tidak ada poros politik tengah yang kuat untuk menyatakan dan menilai hal tersebut. Juga kita dapat melihat rekam jejak selama proses pemilu berlangsung," ujar Girindra saat dihubungi SINDOnews, Senin (22/4/2019).
Girindra menilai, terkait pernyataan BW yang juga anggota Badan Pemenangan Nasional paslon Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno apakah dianggap prematur atau tidak yang menyatakan pemilu 2019 terburuk sejak reformasi, menurutnya hal itu berpulang ke masyarakat untuk menilai.
Namun Girindra menilai, masih banyak hal yang positif ditunjukkan penyelenggara pemilu kali ini salah satunya terkait dengan partisipasi publik yang ikut mengawasi dan memantau. Ia menganggap, partisipasi politik bentuk kematangan masyarakat dalam berdemokrasi.
"Bahwa dari sisi teknis terjadi berbagai kelalaian dan banyaknya penyimpangan selama masih bisa diperbaiki oleh itikad baik dan masih ada pranata-pranata demokrasi yang dapat menanganinya masih ada harapan," ujarnya.
Maka itu, Girindra yang juga putra dari mantan Komisioner KPU, Mulyana W Kusuma itu menilai, jangan sampai penilaian satu pihak kemudian menganggap peran sipil gagal dalam penyelenggaraan kontestasi demokrasi. Girindra mengaku masih ada harapan untuk menyelesaikan hal-hal teknis segala bentuk penyimpangan dan kecurangan sesuai dengan mekanisme hukum dan aturan main yang legal yang sejak awal disepakati semua pihak.
"Dan yang dapat mengeluarkan bahwa telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM) adalah Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ada lagi yang berwenang selain MK," pungkasnya.
(pur)