Selama Setahun, Pelanggaran Netralitas Didominasi PNS Daerah

Sabtu, 13 April 2019 - 06:23 WIB
Selama Setahun, Pelanggaran...
Selama Setahun, Pelanggaran Netralitas Didominasi PNS Daerah
A A A
JAKARTA - Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyebut selama satu tahun terakhir, pelanggaran netralitas mayoritas dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN) di instansi daerah baik di provinsi ataupun kabupaten/kota. Data pelanggaran itu dihimpun sejak Januari 2018 sampai Maret 2019.

Sehingga beragam kasus pelanggaran telah terjadi sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak maupun pemilu 2019. “Sebanyak 99,5% pelanggar netralitas ASN berstatus pegawai instansi daerah. BKN mencatat terdapat 990 kasus pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN sejak Januari 2018 sampai dengan Maret 2019,” kata Kepala Biro (Karo) Humas BKN Mohammad Ridwan di Jakarta, kemarin.

Ridwan memaparkan bahwa pelanggaran netralitas yang paling banyak dilakukan ASN yakni melalui media sosial (medsos). Mulai dari menyebarluaskan gambar sampai memberikan dukungan. Selain itu ada juga yang memberikan komentar dan ampai mengunggah foto untuk menyatakan keberpihakan terhadap pasangan calon (paslon) tertentu.

“Selain aktivitas medsos, pelanggaran netralitas yang diterima juga berupa bentuk dukungan secara langsung. Misalnya menghadiri kampanye paslon dan kegiatan yang bersinggungan dengan partai politik paslon,” tuturnya. Dia mengatakan bahwa jenis-jenis pelanggaran dalam medsos sebelumnya sudah dijelaskan BKN melalui Surat Edaran Kepala BKN Nomor 02/SE/2016.

Dalam surat edaran tersebut, ASN juga telah diingatkan untuk tidak memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan paslon baik secara langsung maupun tidak langsung. “Termasuk pula menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, WhatsApp, BBM, Line, SMS, Instagram, blog, dan sejenisnya,” ungkapnya.

Rekapitulasi data pelanggaran netralitas tersebut merupakan kolaborasi antara BKN melalui Kedeputian Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian (Wasdalpeg), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Aparatur Sipil Negara (KASN). Angka ini mungkin bisa bertambah mengingat jumlah tersebut di luar dari laporan yang masuk ke BKN.

“Total angka kasus itu di luar dari laporan yang diterima BKN melalui laman pengaduan LAPORBKN, email Humas, dan medsos,” ujarnya. Lebih lanjut Ridwan mengatakan bahwa kasus netralitas ASN berupa pemberian dukungan kepada paslon tertentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah 53/2010 Pasal 4. Tingkat sanksi yang dikenakan mulai dari pemberian hukuman disiplin sedang sampai berat.

“Untuk hukuman disiplin sedang sedang dilakukan melalui penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, penundaan kenaikan gaji berkala, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Sementara untuk hukuman disiplin berat dilakukan melalui pembebasan jabatan, penurunan pangkat selama tiga tahun, sampai dengan pemberhentian,” ungkapnya.

Sebelumnya KASN menyebut sejauh ini mayoritas rekomendasi sanksi pelanggaran netralitas ASN jelang pemilu 2019 adalah penundaan kenaikan gaji dan pangkat. Pasalnya banyak ASN yang melakukan pelanggaran disiplin sedang.

“Mayoritas (rekomendasi sanksi) sih saya tidak hafal. Tapi sebelum kampanye terbuka kebanyakan hukuman adminitratif. Selain itu yang sering saya lihat adalah penundaan kenaikan gaji berkala satu, sampai tiga tahun. Ada juga penundaan kenaikan pengkat berkala. Itu yang sering,” kata Wakil Ketua KASN Irham Dilmy.

Irham mengatakan kasus yang sering dilaporkan adalah temuan ASN ada di panggung kampanye. Dia pun menyebut berbagai alasan sering dilontarkan ketika dilakukan verifikasi atas laporan tersebut. “Misalnya laporan yang masuk adalah si ASN muncul dalam satu kampanye caleg bersama-sama duduk di panggung. Biasanya alasannya diundang. Ada lagi yang bilang ke panggung mau ambil kunci. Karena yang nyaleg pegang kunci kantor,” ungkapnya.

Menurutnya pelanggaran netralitas lebih bamyak terjadi pada pemilu legislatif. Sementara ketidaknetralan ASN dalam pemilu presiden lebih sedikit dilihat dari laporan yang masuk. “Ini banyak pelanggaran bukan karena pilpres tapi karena pileg. Pilpres itu ada tapi PNS tidak terlalu antusias untuk melakukan. Kan relevansi di daerah kecil. Yang nyata itu seperti penggunaan fasilitas negara lebih di kampanye pileg,” jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan jika dibandingkan pilkada, tindak lanjut rekomendasi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPPK) saat ini lebih baik. Menurutnya jika dalam pilkada banyak PPPK yang ada indikasi melindungi PNS tidak netral, tidak demikian saat pemilu kali ini.

“Untuk pilpres ini orang cenderung di-follow up. Alhamdullilah tindak lanjut itu di atas 80% sudah dilakukan. Setiap hari kita juga menerima tindaklanjut oleh wali kota/bupati, gubernur, menteri. Ya lebih baik dibanding pilkada,” pungkasnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1791 seconds (0.1#10.140)