Pemilu Indonesia di Mata Internasional

Rabu, 10 April 2019 - 07:33 WIB
Pemilu Indonesia di Mata Internasional
Pemilu Indonesia di Mata Internasional
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

PERHATIAN dunia internasional sedang tertuju pada pemilu yang akan kita lakukan satu minggu lagi. Saya pribadi menerima kunjungan dari sahabat-sahabat diplomat di ASEAN dan Eropa.

Mereka menanyakan hal serupa: Siapa yang kira-kira berpeluang menang dan apa kondisi yang bisa terjadi setelah pemilu? Saya yakin bahwa mereka juga pergi berkeliling bertanya ke beberapa narasumber lain di Indonesia demi mengonfirmasi apakah ada konsistensi jawaban dari satu nara sumber dengan nara sumber lainnya.

Pertanyaan pertama dapat mudah dijawab dengan memberitahukan hasil-hasil survei yang sudah berlangsung dalam setahun terakhir ini. Saya mencatat frekuensi survei rata-rata adalah seminggu sekali dalam tiga bulan terakhir. Jarak penelitian antara lembaga survei bisa semakin dekat menjelang hari pemilihan.

Hal ini berarti kecenderungan pemilih untuk menetapkan pilihannya juga semakin pasti. Yang yakin pasti makin yakin, sementara yang masih tidak yakin lebih besar kemungkinannya untuk golput alias tidak memilih sama sekali.

Pertanyaan kedua yang mungkin sulit dijawab karena kondisi dalam negeri kita juga tidak kebal dari hal-hal yang terjadi di luar negeri. Persepsi kita yang mendefinisikan apakah dinamika yang terjadi di luar sebagai ancaman atau peluang.

Persepsi ini juga yang nanti akan mengarahkan tindakan kita. Apabila kita menganggap dinamika di luar sebagai ancaman maka kita akan lebih hati-hati dan kritis dalam relasi dengan negara-negara sahabat di luar.

Sebaliknya apabila kita melihat dinamika di luar sebagai peluang, kita akan cenderung untuk mengabaikan sikap atau tindakan negara-negara sahabat yang mungkin berlawanan dengan prinsip politik luar negeri kita.

Masalahnya lagi bahwa persepsi kita juga tidak lepas dari pengaruh dunia luar. Media massa sekarang ini di dalam dan luar negeri lebih banyak menyampaikan opini daripada fakta.

Akibatnya yang lahir dari pemikiran kita bukan analisis berdasarkan data, melainkan informasi berbasis opini orang lain. Oleh sebab itu, penting untuk melihat apa yang dilihat oleh masyarakat luar negeri terhadap kita dan bagaimana perasaan mereka terkait informasi yang mereka terima.

Pertama adalah rasa takjub terkait dengan kuantitas dan kualitas pemilu kita. Mereka mencatat bahwa pemilu di Indonesia adalah pemilu langsung memilih presiden terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS).

Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke-4 setelah AS. Jumlah penduduk ini memberi arti bagi mereka tentang betapa rumitnya proses pemilu di negara yang distribusi fasilitasi pelayanan publiknya seperti listrik atau internet belum merata. Ini juga merupakan salah satu pemilu dengan sistem manual terbesar.

Kedua, pemilu kita juga akan menjadi pemilu paling rumit sedunia karena serentak memilih presiden-wakil presiden, DPR, DPRD I/II dan DPD dalam satu hari.Khusus untuk warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri, pencoblosan dilakukan antara 8–14 April 2019 agar keseluruhan suara yang masuk bisa dihitung sekalian dengan suara di dalam negeri pada 17 April. Jumlah pemilih di dalam negeri sekitar 190 juta orang, sementara di luar negeri ada sekitar 2 juta orang.
Di Amerika, negara yang terbesar ketiga di dunia, pemilu mereka dilakukan bertahap. Ada pemilu presiden-wakil presiden, pemilu anggota kongres, pemilu gubernur, dan sebagainya yang dilakukan dalam jangka waktu yang tidak sama.

Ada negara bagian yang mengizinkan waktu pencoblosan beberapa bulan lebih dulu dibandingkan hari resmi yang ditetapkan pemerintah federal. Di India, negara terbesar kedua di dunia yang juga mempraktikkan demokrasi, waktu untuk pencoblosan berlangsung selama sebulan.

Ketiga adalah politik uang. Masyarakat Indonesia masih rentan terhadap politik uang yang berasal dari para kandidat dan terutama adalah mereka yang mengincar kursi DPR/DPRD.

Pemilu lima tahun lalu juga banyak menemukan kompetisi praktik-praktik jual-beli suara di antara para kandidat. Penangkapan politisi sebuah partai politik minggu lalu dengan uang pecahan Rp20.000 semakin mengonfirmasi persepsi tersebut.

Keempat adalah rasa khawatir dengan menguatnya politik identitas. Analisis ini terutama merujuk pada frekuensi aksi atau kampanye dengan menggunakan agama tertentu dalam kampanye.

Rasa khawatir itu bukan merujuk ke salah satu pasangan tetapi kecenderungan arah politik Indonesia yang cenderung semakin konservatif untuk memenangkan simpati pemilih. Negara-negara lain ini misalnya merujuk kepada ketegangan politik identitas di Pilkada DKI dua tahun lalu yang ternyata memiliki kesinambungan dan keterkaitan dengan pemilu saat ini. Pertanyaan mereka terutama adalah keingintahuan apakah pola ini akan terus menguat setelah pemilu selesai?

Kelima, dan mungkin ini perlu perbaikan di dalam negeri dan materi diplomasi publik kita di luar negeri, adalah asumsi bahwa di Indonesia masih kental praktik-praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi.

Masyarakat luar negeri yang memiliki perspektif liberal lebih sensitif untuk mengangkat kasus-kasus pelanggaran HAM seperti pembubaran diskusi, pembatasan kebebasan berbicara, diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan minoritas, persekusi terhadap LBGT, dan masalah perubahan iklim. Mereka memiliki persepsi bahwa politisi dan politik Indonesia masih belum banyak berubah karena belum ada perbaikan terhadap masalah-masalah tersebut.

Kasus-kasus diskriminasi terhadap etnis keturunan Tionghoa di Indonesia juga menjadi fokus perhatian negara-negara yang mayoritas berpenduduk etnis China. Kasus Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI terutama menjadi kasus yang terus dibahas, karena relevansinya dengan materi kampanye tahun ini.

Kita mungkin memerlukan waktu yang panjang untuk mengubah persepsi dunia internasional tentang Indonesia. Pekerjaan yang paling penting justru memulai perubahannya dari dalam negeri kita sendiri.

Kita sebagai warga negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baik demokrasi di Indonesia, karena itu akan berdampak langsung terhadap persepsi warga dunia. Para kandidat dan pendukung perlu percaya bahwa cara yang baik akan menghasilkan hasil yang baik juga karena siapa pun yang terpilih pasti akan membutuhkan bantuan dan pengalaman orang lain yang mungkin saat ini berbeda pandangan politik. Pemilu akan berjalan lima tahun sekali, sementara kebangsaan dan kehidupan bernegara berjalan selama-lamanya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5781 seconds (0.1#10.140)