Bachtiar Nasir: Kampanye Akbar Prabowo Sesuai Kearifan Lokal
A
A
A
JAKARTA - Pimpinan AQL Islamic Center Ustaz Bachtiar Nasir menampik kampanye akbar Prabowo-Sandi di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) merupakan kampanye identitas.
Dia lebih tepat menyebut kampanye Prabowo-Sandi sarat dengan kearifan lokal dan tidak melenceng dari tradisi orang Indonesia.
Menurut dia, kampanye presiden dan wakil presiden selama ini selalu identik dengan hura-hura, joget-joget, bukan sesuatu yang menyangkut kearifan Indonesia yang terdiri dari heterogenitas agama, suku, budaya, dan golongan.
"Saya merasakan atmosfer ketika peserta kampanye yang datang ke GBK tidak hanya muslim, tapi juga nonmuslim," ungkap Bachtiar di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)ini menyebutkan, di antara kearifan lokal yang terjadi di Senayan, yaitu berkibarnya bendera merah putih terbesar dibanding alat peraga lain, orasi kebangsaan dari tokoh lintas agama dan menyanyikan Indonesia Raya secara khidmat.
Menurut dia, kedua capres-cawapres juga kerap melakukan politik identitas seperti penyematan gelar adat oleh suatu suku, mendapatkan dukungan ulama, menggelar istigasah dan munajat kubra bahkan sampai kepada meralat doa seorang kyai yang dianggap salah mendoakan.
"Namun, atmosfer yang terjadi di Senayan sulit ditangkap oleh mereka yang melihat dari kacamata sekuler dari benaknya. Padahal, kegiatan di Senayan seperti kegiatan yang biasa banyak dilakukan seluruh umat," tuturnya.
Pengurus Dewan Pertimbangan MUI ini juga melihat kampanye kearifan lokal dari banyaknya bendera partai politik, organisasi masyarakat, komunitas, bahkan setiap individu yang datang semuanya berkumpul dalam satu balutan semangat perubahan dan semangat kebangsaan.
"Meskipun kampanye tersebut didominasi oleh para aktivis dan muslimah yang telah berhijrah dengan mengenakan cadarnya, tapi tidak ada diskriminasi terhadap mereka yang tidak menggunakan jilbab serta cadar sehingga suasana Indonesia bangetlah," tutur Bachtiar.
Dia menyebutkan kearifan lainnya, yaitu semua elemen masyarakat bagi membahu dengan semangat kerelawanannya membenahi kembali sampah yang ada di sekitar, membagikan makanan dan minuman bahkan berani merogoh kantongnya untuk dana kemenangan Prabowo-Sandi.
"Ketertiban setelah itu juga terjaga. Nah, ini yang saya sebut sebagai kampanye kearifan lokal. Semua berjalan sesuai dengan tradisi, adat dan istiadat orang-orang Indonesia," kata Bachtiar.
Dia berharap, tidak ada lagi pihak-pihak yang cepat memberi stigma negatif terhadap umat Islam seolah-olah identitas itu terlarang. Sebab, tidak mungkin mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam menjauhkan diri dari nilai-nilai tradisi Islam.
"Ini yang saya sebut sebagai kampanye kearifan lokal bukan politik identitas dalam kampanyenya. Semua berjalan dengan natural. Semua sesuai adat istiadat dan tradisi orang Indonesia. Ke depan, jika ada identik dengan Islam janganlah terlalu cepat distigma dengan sebuah identitas seakan akan melarang. Bagaimana mungkin kita menjauhkan umat Islam dari tradisi keislaman padahal umat Islam mayoritas di Indonesia," katanya.
Dia mengatakan, sebetulnya apa yang terjadi selama ini sering dilakukan oleh semua partai. Misalnya, memberikan gelar adat istiadat kepada calon presiden atau calon wakil presiden, juga pernah dialami oleh presiden sebelumnya.
Tradisi masuk pesantren, silaturrahmi antara tokoh, istigasah, selawatan, menurut dia, semuanya masuk kearifan lokal dalam tradisi keagamaan. "Bahhkan sempat terjadi kemarin deklarasi atas nama ulama, dari pasangan calon lain. Atau ada kesan silaturahmi sampai meralat doa. Itu semua hal-hal yang pernah terjadi tetapi kenapa kemudian jika dilakukan oleh mayoritas umat Islam bersama 02 diartikan sebagai politik identitas," katanya.
Dia lebih tepat menyebut kampanye Prabowo-Sandi sarat dengan kearifan lokal dan tidak melenceng dari tradisi orang Indonesia.
Menurut dia, kampanye presiden dan wakil presiden selama ini selalu identik dengan hura-hura, joget-joget, bukan sesuatu yang menyangkut kearifan Indonesia yang terdiri dari heterogenitas agama, suku, budaya, dan golongan.
"Saya merasakan atmosfer ketika peserta kampanye yang datang ke GBK tidak hanya muslim, tapi juga nonmuslim," ungkap Bachtiar di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)ini menyebutkan, di antara kearifan lokal yang terjadi di Senayan, yaitu berkibarnya bendera merah putih terbesar dibanding alat peraga lain, orasi kebangsaan dari tokoh lintas agama dan menyanyikan Indonesia Raya secara khidmat.
Menurut dia, kedua capres-cawapres juga kerap melakukan politik identitas seperti penyematan gelar adat oleh suatu suku, mendapatkan dukungan ulama, menggelar istigasah dan munajat kubra bahkan sampai kepada meralat doa seorang kyai yang dianggap salah mendoakan.
"Namun, atmosfer yang terjadi di Senayan sulit ditangkap oleh mereka yang melihat dari kacamata sekuler dari benaknya. Padahal, kegiatan di Senayan seperti kegiatan yang biasa banyak dilakukan seluruh umat," tuturnya.
Pengurus Dewan Pertimbangan MUI ini juga melihat kampanye kearifan lokal dari banyaknya bendera partai politik, organisasi masyarakat, komunitas, bahkan setiap individu yang datang semuanya berkumpul dalam satu balutan semangat perubahan dan semangat kebangsaan.
"Meskipun kampanye tersebut didominasi oleh para aktivis dan muslimah yang telah berhijrah dengan mengenakan cadarnya, tapi tidak ada diskriminasi terhadap mereka yang tidak menggunakan jilbab serta cadar sehingga suasana Indonesia bangetlah," tutur Bachtiar.
Dia menyebutkan kearifan lainnya, yaitu semua elemen masyarakat bagi membahu dengan semangat kerelawanannya membenahi kembali sampah yang ada di sekitar, membagikan makanan dan minuman bahkan berani merogoh kantongnya untuk dana kemenangan Prabowo-Sandi.
"Ketertiban setelah itu juga terjaga. Nah, ini yang saya sebut sebagai kampanye kearifan lokal. Semua berjalan sesuai dengan tradisi, adat dan istiadat orang-orang Indonesia," kata Bachtiar.
Dia berharap, tidak ada lagi pihak-pihak yang cepat memberi stigma negatif terhadap umat Islam seolah-olah identitas itu terlarang. Sebab, tidak mungkin mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam menjauhkan diri dari nilai-nilai tradisi Islam.
"Ini yang saya sebut sebagai kampanye kearifan lokal bukan politik identitas dalam kampanyenya. Semua berjalan dengan natural. Semua sesuai adat istiadat dan tradisi orang Indonesia. Ke depan, jika ada identik dengan Islam janganlah terlalu cepat distigma dengan sebuah identitas seakan akan melarang. Bagaimana mungkin kita menjauhkan umat Islam dari tradisi keislaman padahal umat Islam mayoritas di Indonesia," katanya.
Dia mengatakan, sebetulnya apa yang terjadi selama ini sering dilakukan oleh semua partai. Misalnya, memberikan gelar adat istiadat kepada calon presiden atau calon wakil presiden, juga pernah dialami oleh presiden sebelumnya.
Tradisi masuk pesantren, silaturrahmi antara tokoh, istigasah, selawatan, menurut dia, semuanya masuk kearifan lokal dalam tradisi keagamaan. "Bahhkan sempat terjadi kemarin deklarasi atas nama ulama, dari pasangan calon lain. Atau ada kesan silaturahmi sampai meralat doa. Itu semua hal-hal yang pernah terjadi tetapi kenapa kemudian jika dilakukan oleh mayoritas umat Islam bersama 02 diartikan sebagai politik identitas," katanya.
(dam)