IFSR 2019, Meninjau Kembali Jejak Kemaritiman Berbasis Jalur Rempah

Senin, 18 Maret 2019 - 13:59 WIB
IFSR 2019, Meninjau...
IFSR 2019, Meninjau Kembali Jejak Kemaritiman Berbasis Jalur Rempah
A A A
JAKARTA - Yayasan Negeri Rempah bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR) pada 19-24 Maret 2019 di Jakarta.

Mengangkat tema Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route, IFSR menjadi sarana untuk memperkenalkan kembali peranan penting Indonesia dalam skala global.

“Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa,” ujar Staf Ahli Menteri Bidang Sosio-Antropologi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Tukul Rameyo Adi dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (18/3/2019).

Selama enam hari berturut-turut, IFSR akan menjadi forum pertukaran pengetahuan dan pemahaman antarbudaya dengan mengedepankan kekuatan warisan budaya serta semangat multikulturalisme melalui narasi sosio-kultural-historis jalur rempah dan perdagangan maritim yang relevan dengan konteks kekinian.

Forum ini dihadiri para pembicara, narasumber, ahli, akademisi dari Indonesia dan negara-negara
sahabat, yakni Australia, Amerika Serikat, Filipina, India, Jerman, Korea, Malaysia, Portugal.

Dengan mengundang para narasumber dari negara-negara sahabat yang juga memiliki warisan budaya maritim ini, masyarakat luas dapat turut merayakan kesamaan maupun perbedaan budaya melalui program-program yang memungkinkan partisipasi publik.

Mulai dari diskusi ilmiah, bedah buku, talk show mengenai rempah-rempah, hingga permainan Spice Challenge & Boardgame Competition.

Perhelatan ini pun melibatkan relawan dari berbagai komunitas dengan latar belakang beragam. Dari para akademisi, peneliti, mahasiswa, eksekutif, hingga para ibu dan keluarganya.Semangat untuk saling berbagi yang tumbuh dari para relawan ini digawangi oleh Yayasan Negeri Rempah yang memiliki perhatian khusus pada pembelajaran publik agar lebih mengenal keberagaman Indonesia.
“Kami berharap IFRS bisa mengingatkan kembali akan kayanya warisan yang kita punya, seperti jalur rempah ini,” tutur Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Laksda TNI Purn Agus Purwoto.

Menilik sejarah, Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan 'negeri-negeri di atas angin', yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah hingga Eropa.

Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah
menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok
utama komoditas penting di dunia, yakni rempah-rempah.

Diperkirakan dalam perjalanan waktu danpada skala dunia, 400-500 spesies tanaman telah dipergunakan dan dikenal sebagai rempah. Di Asia Tenggara sendiri, jumlahnya mendekati 275 spesies (Prosea, 1999).

“Jadi, bayangkan saja ketika Eropa belum memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai
komoditas, rempah-rempah dari dunia Timur telah menyediakan khasiat, cita rasa dan aroma yang
dipergunakan sebagai bumbu masak, penawar racun dan obat, bahkan sampai bahan pengawet,”
tutur panitia penyelenggara IFSR dari Yayasan Negeri Rempah, Bram Kushardjanto.

Dengan peran sepenting itu, rempah-rempah menjadi komoditas utama yang mampu mempengaruhi
kondisi politik, ekonomi maupun sosial budaya dalam skala global. Para raja mengirim ekspedisi mengarungi samudera untuk mencarinya. Pedagang mempertaruhkan nyawa dan kekayaannya. Perang demi perang memperebutkannya. Dunia bergolak dan sejarah peradaban manusia berubah.

Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik dinilai meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun.

Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi, bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Wilayah tersebut menjelma sebagai ruang silaturahmi antarmanusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan dan praksis, melampaui konteks ruang dan waktu dipertemukan oleh laut dan samudera.

Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global ini menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji dan dimaknai kembali. “Apalagi ketika dewasa ini banyak bergulir pertarungan konsep seperti Jalur Sutera Maritim yang diusung Tiongkok, maupun ragam konsep tentang wawasan Indo-Pasifik yang kesemuanya menuntut Indonesia untuk mengambil peranan yang penting,” tutur Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri RI periode 2001 -2009 yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan Negeri Rempah.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7650 seconds (0.1#10.140)