Isu Perempuan Terabaikan dalam Kampanye Pemilu 2019
A
A
A
JAKARTA - Keterwakilan suara perempuan di lembaga legislatif maupun eksekutif hingga saat ini masih dianggap minim. Padahal Undang-Undang Pemilu mewajibkan partai politik untuk menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Apalagi keseruan Pemilu 2019 hanya terfokus pada pemilihan presiden saja. Hal ini menyebabkan isu perempuan yang disuarakan melalui kampanye di tingkat legislatif tidak tersalurkan.
Dirut Eksekutif Migrant Care Indonesia Wahyu Susilo mengungkapkan, dominasi pemilu yang terfokus pada pilpres membuat agenda kelompok perempuan tidak tersalurkan dengan baik kepada masyarakat. Dominasi itu menyembunyikan agenda kelompok perempuan. Padahal, menurutnya, pemilu pada 2019 bukan hanya pilpres saja.
"Memang keseruan pemilu lebih banyak pada pilpres sehingga energi banyak ke sana. Kita mengingatkan bahwa pemilu bukan hanya pilpres, kita akan memilih (figur) eksekutif dan legislatif. Kami mendorong ada partisipasi penuh untuk perempuan yang mengakomodasi kepentingan perempuan ini,” tandas Wahyu dalam diskusi.
Wahyu menilai, pemilu legislatif juga tidak kalah penting daripada pilpres. Apalagi di tangan anggota legislatif-lah peraturan perundang-undangan dibuat, bujet dirancang dan diundangkan, kebijakan pemerintah akan termonitor. “Pemilih harus benar-benar memastikan calon legislator yang dipilih haruslah mumpuni, memiliki integritas, antikorupsi, dan sensitif mengenai permasalahan gender,” ujarnya.
Pemilu 2019, kata Wahyu, sangat maskulin sehingga berpotensi menyembunyikan agenda politik perempuan. Bahkan kuatnya pengaruh agama dalam penentuan kandidat dan agenda politik juga memiliki kontribusi signifikan meminggirkan agenda politik perempuan seperti perkawinan anak, sunat perempuan, penghapusan kekerasan perempuan, dan perlindungan pekerja migran.
“Pekerja migran adalah pekerjaan melintasi negara sehingga keterlibatan negara sangatlah penting. Seluruh aturan pekerja migran dibuat dalam bentuk legislasi dan politik. Salah satu hak yang harus dijamin adalah memastikan terselenggaranya perlindungan hak pekerja migran,” tandasnya.
Dalam konteks perlindungan hak pekerja migran, lanjut Wahyu, seharusnya pemilu bisa menghasilkan pemimpin dan legislator yang mengerti persoalan yang dihadapi pekerja migran. Jangan sampai pekerja migran yang kebanyakan di luar negeri tidak terwakili suaranya.
“Harus dibangun kesadaran bahwa betapa kontribusi pekerja migran Indonesia sangat besar untuk perekonomian negara sehingga penting untuk mendapatkan hak politik,” paparnya. Hal senada diungkapkan Direktur Institut Kapal Perempuan Misiyah. Menurut dia, pemilu saat ini tertutup oleh isu agama yang menjadi dasar perdebatan sehingga isu perempuan terabaikan.
“Dalam pemilu itu ada moralitas. Bahwa pemilu saat ini justru masuknya agama sebagai fokus moralitas, menjadi dasar untuk menilai pilpres. Moralitas calon anggota legislatif ini penting sehingga isu-isu perempuan akan menjadi penting. Misalnya (masalah) kekerasan seksual dalam pemilu legislatif ini sangat kurang (dibahas),” ujarnya.
Namun, menurut dia, ada ketakutan untuk menjadikan isu ini sebagai topik kampanye dan akan dianggap tabu. Misiyah mengatakan, agenda perempuan harus terus disuarakan. “Di mana letaknya perempuan? Kita harus menomorsatukan. Pemenuhan hak-hak korban ini harus terpenuhi. Para calon perwakilan perempuan harus punya perspektif di mana mereka harus mempunyai pluralisme gender, punya keberpihakan, punya keberanian, dan komitmen untuk menuangkan agenda isu dan hak perempuan menjadi agenda kerjanya,” tandasnya.
Koordinator Litbang dan Penelitian Koalisi Perempuan Indonesia Farida Indriyani mengungkapkan, pihaknya juga mendorong pemenuhan hak-hak dasar perlindungan perempuan di dalam pemilu. “Apa yang kami perjuangkan adalah bagaimana keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif. Kami mendorong sebanyak-banyaknya keterwakilan perempuan. Meski adanya pemilu di tahun 2019 ini justru hal itu terabaikan,” ujarnya.
Seharusnya, menurut dia, isu perempuan tidak terabaikan. Perempuan harus secara langsung terlibat dalam pemenuhan haknya oleh negara. Masalah perlindungan pekerja migran, kata Farida, juga perlu menjadi perhatian khusus. “Kami mengharapkan masalah ini bisa diperjuangkan oleh calon legislator perempuan karena kami berharap dia membawa permasalahan perempuan hingga ke parlemen,” tandasnya.
Dengan demikian konsistensi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan akan terwakili. Terutama dalam memperjuangkan masalah anak, misalnya mengenai anak putus sekolah dan perkawinan anak. “Perlindungan sosial juga bisa diperjuangkan oleh caleg perempuan. Saya yakin calon pemilih perempuan akan memilih perempuan. Harapan kita lebih banyak lagi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif agar bisa memperjuangkan masalah-masalah perempuan,” paparnya.
Dirut Eksekutif Migrant Care Indonesia Wahyu Susilo mengungkapkan, dominasi pemilu yang terfokus pada pilpres membuat agenda kelompok perempuan tidak tersalurkan dengan baik kepada masyarakat. Dominasi itu menyembunyikan agenda kelompok perempuan. Padahal, menurutnya, pemilu pada 2019 bukan hanya pilpres saja.
"Memang keseruan pemilu lebih banyak pada pilpres sehingga energi banyak ke sana. Kita mengingatkan bahwa pemilu bukan hanya pilpres, kita akan memilih (figur) eksekutif dan legislatif. Kami mendorong ada partisipasi penuh untuk perempuan yang mengakomodasi kepentingan perempuan ini,” tandas Wahyu dalam diskusi.
Wahyu menilai, pemilu legislatif juga tidak kalah penting daripada pilpres. Apalagi di tangan anggota legislatif-lah peraturan perundang-undangan dibuat, bujet dirancang dan diundangkan, kebijakan pemerintah akan termonitor. “Pemilih harus benar-benar memastikan calon legislator yang dipilih haruslah mumpuni, memiliki integritas, antikorupsi, dan sensitif mengenai permasalahan gender,” ujarnya.
Pemilu 2019, kata Wahyu, sangat maskulin sehingga berpotensi menyembunyikan agenda politik perempuan. Bahkan kuatnya pengaruh agama dalam penentuan kandidat dan agenda politik juga memiliki kontribusi signifikan meminggirkan agenda politik perempuan seperti perkawinan anak, sunat perempuan, penghapusan kekerasan perempuan, dan perlindungan pekerja migran.
“Pekerja migran adalah pekerjaan melintasi negara sehingga keterlibatan negara sangatlah penting. Seluruh aturan pekerja migran dibuat dalam bentuk legislasi dan politik. Salah satu hak yang harus dijamin adalah memastikan terselenggaranya perlindungan hak pekerja migran,” tandasnya.
Dalam konteks perlindungan hak pekerja migran, lanjut Wahyu, seharusnya pemilu bisa menghasilkan pemimpin dan legislator yang mengerti persoalan yang dihadapi pekerja migran. Jangan sampai pekerja migran yang kebanyakan di luar negeri tidak terwakili suaranya.
“Harus dibangun kesadaran bahwa betapa kontribusi pekerja migran Indonesia sangat besar untuk perekonomian negara sehingga penting untuk mendapatkan hak politik,” paparnya. Hal senada diungkapkan Direktur Institut Kapal Perempuan Misiyah. Menurut dia, pemilu saat ini tertutup oleh isu agama yang menjadi dasar perdebatan sehingga isu perempuan terabaikan.
“Dalam pemilu itu ada moralitas. Bahwa pemilu saat ini justru masuknya agama sebagai fokus moralitas, menjadi dasar untuk menilai pilpres. Moralitas calon anggota legislatif ini penting sehingga isu-isu perempuan akan menjadi penting. Misalnya (masalah) kekerasan seksual dalam pemilu legislatif ini sangat kurang (dibahas),” ujarnya.
Namun, menurut dia, ada ketakutan untuk menjadikan isu ini sebagai topik kampanye dan akan dianggap tabu. Misiyah mengatakan, agenda perempuan harus terus disuarakan. “Di mana letaknya perempuan? Kita harus menomorsatukan. Pemenuhan hak-hak korban ini harus terpenuhi. Para calon perwakilan perempuan harus punya perspektif di mana mereka harus mempunyai pluralisme gender, punya keberpihakan, punya keberanian, dan komitmen untuk menuangkan agenda isu dan hak perempuan menjadi agenda kerjanya,” tandasnya.
Koordinator Litbang dan Penelitian Koalisi Perempuan Indonesia Farida Indriyani mengungkapkan, pihaknya juga mendorong pemenuhan hak-hak dasar perlindungan perempuan di dalam pemilu. “Apa yang kami perjuangkan adalah bagaimana keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif. Kami mendorong sebanyak-banyaknya keterwakilan perempuan. Meski adanya pemilu di tahun 2019 ini justru hal itu terabaikan,” ujarnya.
Seharusnya, menurut dia, isu perempuan tidak terabaikan. Perempuan harus secara langsung terlibat dalam pemenuhan haknya oleh negara. Masalah perlindungan pekerja migran, kata Farida, juga perlu menjadi perhatian khusus. “Kami mengharapkan masalah ini bisa diperjuangkan oleh calon legislator perempuan karena kami berharap dia membawa permasalahan perempuan hingga ke parlemen,” tandasnya.
Dengan demikian konsistensi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan akan terwakili. Terutama dalam memperjuangkan masalah anak, misalnya mengenai anak putus sekolah dan perkawinan anak. “Perlindungan sosial juga bisa diperjuangkan oleh caleg perempuan. Saya yakin calon pemilih perempuan akan memilih perempuan. Harapan kita lebih banyak lagi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif agar bisa memperjuangkan masalah-masalah perempuan,” paparnya.
(don)