E-KTP WNA, Kemendagri; Amanah UU, Bukan Kepentingan Pilpres
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memastikan penerbitan dan kepemilikan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) warga negara asing (WNA) merupakan amanah UU Administrasi Kependudukan dan bukan untuk kepentingan Pilpres dan Pileg 2019.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Sesditjen Dukcapil) Kemendagri I Gede Suratha dalam diskusi Polemik MNC Trijaya dengan tajuk “E-KTP, WNA, dan Kita” di d'Consulate Resto & Lounge, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3).
Diskusi juga turut dihadiri di antaranya Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni, anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Firman Subagyo, dan Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ahmad Fathul Bari.
I Gede Suratha menyatakan, pembuatan dan penerbitan e-KTP untuk WNA hingga kepemilikan e-KTP oleh WA hakikatnya tidak perlu dipermasalahkan. Pasalnya ihwal tersebut telah tertuang jelas dan menjadi amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 24/2013.
Suratha membeberkan, pembuatan, penerbitan, hingga kepemilikan e-KTP WNA sudah berlangsung sejak 2006. Karena itu, e-KTP untuk WNA tidak ada hubungan dengan perhelatan pesta demokrasi Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.
"KTP elektronik untuk WNA itu adalah kewajiban. Ini diatur sejak 2006. Jadi clear, jangan sampai ada tanggapan kok ujug-ujug. Sampai saat ini ada 1.600 WNA yang miliki KTP elektronik. Walaupun orang asing punya e-KTP. Orang asing ini tidak bisa memberi suara di 17 April 2019 karena dia bukan warga negara Indonesia," tegas Suratha.
Dia membeberkan, untuk kepemilikan e-KTP WNA sebagian besar berada di wilayah yang memiliki sektor usaha pariwisata hingga pertambangan. Paling banyak, tutur Suratha, tersebar di Bali, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Para WNA pemilik e-KTP ini sudah lebih dulu memengaruhi Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) baik untuk bekerja di sektor pariwisata maupun pertambangan. Khusus pertambangan, WNA bekerja karena mendapat penugasan dari negaranya.
"Kegaduhan yang kita alami karena lebih banyak kurangnya kita beri informasi kepada masyarakat atau masyarakat yang kurang ambil informasi bahwa ini (e-KTP untuk WNA) ada sejak 2006. Tapi, petinggi (elite) saja juga belum banyak tahu. Ini kan sebagaimana warga negara kita juga ada di luar negeri diperlakukan dengan baik diberikan identitas," ucapnya.
Suratha menggariskan, sebenarnya masih banyak WNA yang belum mengurusi atau memiliki e-KTP meski sudah berada di Indonesia. Karena itu, Kemendagri mendorong WNA segera mengurus dan membuat e-KTP dengan persyaratan yang ada dalam UU Administrasi Kependudukan.
"Saat ini kami sedang merapikan distribusinya dari mana saja. Untuk WNA yang ada dalam DPT (daftar pemilih tetap), kami sudah komunikasi dengan KPU dengan Bawaslu. Kami meminta DPT kepada KPU dan sebaran data itu," ucapnya.
Titi Anggraeni menilai, ada lima faktor kepemilikan e-KTP WNA menjadi isu besar yang mudah membentuk persepsi publik terkhusus menjelang Pileg dan Pilpres 2019. Pertama, masyarakat masih memiliki pikiran sederhana bahwa e-KTP sebagai identitas khusus bagi warga negara Indonesia (WNI). Kedua, kesenjangan informasi antara pemahaman dan persepsi publik dengan ketentuan peraturan dan undang-undang yang ada.
"Padahal, dalam UU Administrasi Kependudukan, WNA juga bisa memiliki KTP elektronik. Kemudian banyak dari kita yang baru tahu bahwa WNA itu punya KTP elektronik. Isu ini memang mudah digoreng, ada asing dan aseng pula. Secara emosional mudah memprovokasi pemilih Indonesia karena masyarakat mudah diprovokasi terhadap isu asing dan ras," ucap Titi.
Ketiga, dia menuturkan, perhelatan Pemilu 2019 sangat kompetitif. Pasalnya, gelaran pilpres hanya menghadirkan dua calon.Sementara pileg mengharuskan partai-partai dapat mencapai parliamentary threshold atau ambang batas sebesar 4% untuk lolos ke parlemen.
Akibatnya, setiap suara pemilih sangat berarti bagi seluruh partai politik dan dua pasang calon presiden-calon wakil presiden. "Kalau dilihat Pasal 348 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, itu jelas hanya pemilik KTP elektronik yang bisa menggunakan hak pilihnya di 17 April nanti. Nah, e-KTP menjadi satu-satunya syarat bisa menggunakan hak pilih di TPS," bebernya.
Terakhir, menurut Titi, isu kepemilikan e-KTP oleh WNA menjadi isu besar dan menciptakan polemik karena isu menjadi sangat mudah oleh para pihak yang memiliki kepentingan dalam Pileg dan Pilpres 2019. Isu ini bisa diciptakan untuk mendelegitimasi salah satu pihak peserta pemilu dan secara bersamaan menaikkan elektabilitas mereka yang menggunakannya.
"Jadi, sebaiknya pemerintah harus mengambil langkah-langkah. Kemudian narasi publik harus direbut dan diluruskan agar tidak kadung menyebar dan pemahaman yang salah soal KTP WNA ini makin dipolitisasi. Kalau tidak diluruskan, ini berpengaruh pada Pemilu 2019, berpengaruh terhadap persepsi dan kepercayaan publik terhadap proses Pemilu 2019," ucapnya.
Firman Subagyo menyatakan, kepemilikan e-KTP oleh WNA termasuk yang terungkap belakangan bukanlah menjadi kesalahan pemerintah, apalagi pemerintahan Joko Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Firman mengatakan, penerbitan dan kepemilikan e-KTP WNA tidak perlu dipermasalahkan karena pemerintah hanya melaksanakan amanah UU. Andai pun pemerintah yang disalahkan, tidak bisa menyalahkan pemerintahan sekarang.
"Undang-undangnya kan produk lama, bukan produk pemerintahan di era Pak Jokowi. Kesalahan undang-undang yang ada kan juga tidak ada perbedaan identitas WNA, menurut pandangan saya, secara teknis dibedakan yaitu bahasa Inggris kan tidak bisa kasatmata. Di Amerika ada perbedaan warna sehingga warna ini, oh ini asing dan ini bukan," tegas Firman.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar ini menyatakan, isu penerbitan dan kepemilikan e-KTP WNA yang sedang muncul juga tidak bisa dikait-kaitkan atau dituduhkan untuk menguntungkan calon presiden petahana Jokowi. Guna menyelesaikan polemik WNA dan kepemilikan e-KTP tersebut, pemerintah dalam hal ini Ditjen Dukcapil Kemendagri bersama Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM harus mendata secara utuh jumlah WNA yang berada di Indonesia baik yang sudah maupun belum memiliki e-KTP.
"Verifikasi penting karena dokumen WNA ini ada di Imigrasi. Imigrasi bisa menjelaskan ke KPU ini lho WNA yang ada di Indonesia," tandasnya. Ahmad Fathul Bari mengatakan, pihak BPN Prabowo-Sandiaga sebelumnya pernah mengkritisi ada DPT ganda pada Pemilu 2019 ini, termasuk dugaan ada WNA yang masuk dalam DPT. Hanya saja, pihaknya dituduh sebagai penyebar hoaks. Rupanya belakangan, tutur Fathul, hal tersebut terbukti dengan DPT ganda dan kepemilikan e-KTP oleh WNA di Cianjur, Jawa Barat.
"Kami sudah kritisi masalah DPT ternyata terbukti ada. Di Canjur kasus ini dibilang superhoax, jangan sembarangan harusnya, pemerintah bisa lebih bijak. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah. Tim BPN di Indonesia Menang kasus ini ada program kami aksi single number," kata Fathul.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Sesditjen Dukcapil) Kemendagri I Gede Suratha dalam diskusi Polemik MNC Trijaya dengan tajuk “E-KTP, WNA, dan Kita” di d'Consulate Resto & Lounge, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3).
Diskusi juga turut dihadiri di antaranya Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni, anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Firman Subagyo, dan Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ahmad Fathul Bari.
I Gede Suratha menyatakan, pembuatan dan penerbitan e-KTP untuk WNA hingga kepemilikan e-KTP oleh WA hakikatnya tidak perlu dipermasalahkan. Pasalnya ihwal tersebut telah tertuang jelas dan menjadi amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 24/2013.
Suratha membeberkan, pembuatan, penerbitan, hingga kepemilikan e-KTP WNA sudah berlangsung sejak 2006. Karena itu, e-KTP untuk WNA tidak ada hubungan dengan perhelatan pesta demokrasi Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.
"KTP elektronik untuk WNA itu adalah kewajiban. Ini diatur sejak 2006. Jadi clear, jangan sampai ada tanggapan kok ujug-ujug. Sampai saat ini ada 1.600 WNA yang miliki KTP elektronik. Walaupun orang asing punya e-KTP. Orang asing ini tidak bisa memberi suara di 17 April 2019 karena dia bukan warga negara Indonesia," tegas Suratha.
Dia membeberkan, untuk kepemilikan e-KTP WNA sebagian besar berada di wilayah yang memiliki sektor usaha pariwisata hingga pertambangan. Paling banyak, tutur Suratha, tersebar di Bali, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Para WNA pemilik e-KTP ini sudah lebih dulu memengaruhi Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) baik untuk bekerja di sektor pariwisata maupun pertambangan. Khusus pertambangan, WNA bekerja karena mendapat penugasan dari negaranya.
"Kegaduhan yang kita alami karena lebih banyak kurangnya kita beri informasi kepada masyarakat atau masyarakat yang kurang ambil informasi bahwa ini (e-KTP untuk WNA) ada sejak 2006. Tapi, petinggi (elite) saja juga belum banyak tahu. Ini kan sebagaimana warga negara kita juga ada di luar negeri diperlakukan dengan baik diberikan identitas," ucapnya.
Suratha menggariskan, sebenarnya masih banyak WNA yang belum mengurusi atau memiliki e-KTP meski sudah berada di Indonesia. Karena itu, Kemendagri mendorong WNA segera mengurus dan membuat e-KTP dengan persyaratan yang ada dalam UU Administrasi Kependudukan.
"Saat ini kami sedang merapikan distribusinya dari mana saja. Untuk WNA yang ada dalam DPT (daftar pemilih tetap), kami sudah komunikasi dengan KPU dengan Bawaslu. Kami meminta DPT kepada KPU dan sebaran data itu," ucapnya.
Titi Anggraeni menilai, ada lima faktor kepemilikan e-KTP WNA menjadi isu besar yang mudah membentuk persepsi publik terkhusus menjelang Pileg dan Pilpres 2019. Pertama, masyarakat masih memiliki pikiran sederhana bahwa e-KTP sebagai identitas khusus bagi warga negara Indonesia (WNI). Kedua, kesenjangan informasi antara pemahaman dan persepsi publik dengan ketentuan peraturan dan undang-undang yang ada.
"Padahal, dalam UU Administrasi Kependudukan, WNA juga bisa memiliki KTP elektronik. Kemudian banyak dari kita yang baru tahu bahwa WNA itu punya KTP elektronik. Isu ini memang mudah digoreng, ada asing dan aseng pula. Secara emosional mudah memprovokasi pemilih Indonesia karena masyarakat mudah diprovokasi terhadap isu asing dan ras," ucap Titi.
Ketiga, dia menuturkan, perhelatan Pemilu 2019 sangat kompetitif. Pasalnya, gelaran pilpres hanya menghadirkan dua calon.Sementara pileg mengharuskan partai-partai dapat mencapai parliamentary threshold atau ambang batas sebesar 4% untuk lolos ke parlemen.
Akibatnya, setiap suara pemilih sangat berarti bagi seluruh partai politik dan dua pasang calon presiden-calon wakil presiden. "Kalau dilihat Pasal 348 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, itu jelas hanya pemilik KTP elektronik yang bisa menggunakan hak pilihnya di 17 April nanti. Nah, e-KTP menjadi satu-satunya syarat bisa menggunakan hak pilih di TPS," bebernya.
Terakhir, menurut Titi, isu kepemilikan e-KTP oleh WNA menjadi isu besar dan menciptakan polemik karena isu menjadi sangat mudah oleh para pihak yang memiliki kepentingan dalam Pileg dan Pilpres 2019. Isu ini bisa diciptakan untuk mendelegitimasi salah satu pihak peserta pemilu dan secara bersamaan menaikkan elektabilitas mereka yang menggunakannya.
"Jadi, sebaiknya pemerintah harus mengambil langkah-langkah. Kemudian narasi publik harus direbut dan diluruskan agar tidak kadung menyebar dan pemahaman yang salah soal KTP WNA ini makin dipolitisasi. Kalau tidak diluruskan, ini berpengaruh pada Pemilu 2019, berpengaruh terhadap persepsi dan kepercayaan publik terhadap proses Pemilu 2019," ucapnya.
Firman Subagyo menyatakan, kepemilikan e-KTP oleh WNA termasuk yang terungkap belakangan bukanlah menjadi kesalahan pemerintah, apalagi pemerintahan Joko Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Firman mengatakan, penerbitan dan kepemilikan e-KTP WNA tidak perlu dipermasalahkan karena pemerintah hanya melaksanakan amanah UU. Andai pun pemerintah yang disalahkan, tidak bisa menyalahkan pemerintahan sekarang.
"Undang-undangnya kan produk lama, bukan produk pemerintahan di era Pak Jokowi. Kesalahan undang-undang yang ada kan juga tidak ada perbedaan identitas WNA, menurut pandangan saya, secara teknis dibedakan yaitu bahasa Inggris kan tidak bisa kasatmata. Di Amerika ada perbedaan warna sehingga warna ini, oh ini asing dan ini bukan," tegas Firman.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar ini menyatakan, isu penerbitan dan kepemilikan e-KTP WNA yang sedang muncul juga tidak bisa dikait-kaitkan atau dituduhkan untuk menguntungkan calon presiden petahana Jokowi. Guna menyelesaikan polemik WNA dan kepemilikan e-KTP tersebut, pemerintah dalam hal ini Ditjen Dukcapil Kemendagri bersama Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM harus mendata secara utuh jumlah WNA yang berada di Indonesia baik yang sudah maupun belum memiliki e-KTP.
"Verifikasi penting karena dokumen WNA ini ada di Imigrasi. Imigrasi bisa menjelaskan ke KPU ini lho WNA yang ada di Indonesia," tandasnya. Ahmad Fathul Bari mengatakan, pihak BPN Prabowo-Sandiaga sebelumnya pernah mengkritisi ada DPT ganda pada Pemilu 2019 ini, termasuk dugaan ada WNA yang masuk dalam DPT. Hanya saja, pihaknya dituduh sebagai penyebar hoaks. Rupanya belakangan, tutur Fathul, hal tersebut terbukti dengan DPT ganda dan kepemilikan e-KTP oleh WNA di Cianjur, Jawa Barat.
"Kami sudah kritisi masalah DPT ternyata terbukti ada. Di Canjur kasus ini dibilang superhoax, jangan sembarangan harusnya, pemerintah bisa lebih bijak. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah. Tim BPN di Indonesia Menang kasus ini ada program kami aksi single number," kata Fathul.
(don)