Lima Faktor Polemik E-KTP WNA yang Membentuk Persepsi Publik
A
A
A
JAKARTA - Direktur Perludem Titi Anggraeni mengatakan, ada lima faktor kepemilikan Karta Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) Warga Negara Asing (WNA) yang membentuk persepsi publik.
Faktor pertama kata Titi, yakni pemahaman awam publik secara sederhana berpikir, bahwa KTP elektronik adalah bentuk identitas khusus bagi warga negara Indonesia.
Menurutnya, masyarakat masih menganggap seseorang yang memegang identitas tersebut, pasti berkewarganegaraan Indonesia. Faktor kedua, ada disparitas alias kesenjangan informasi antara apa yang dipahami dan menjadi persepsi publik dengan ketentuan peraturan yang ada.
"Ini karena isu itu tidak jadi perhatian. Banyak kita yang baru tahu bahwa WNA itu punya KTP elektronik," ujar Titi dalam diskusi akhir pekan Polemik oleh MNC Trijaya dengan tema 'E-KTP, WNA dan Kita', di D'consulate resto, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3/2019).
(Baca juga: Dukcapil Ungkap Fakta Masih Banyak WNA di Indonesia Belum Terdata)
Faktor ketiga lanjut Titi, kompetisi Pemilu 2019 begitu kompetitif karena Pilpres hanya menghadirkan dua calon, sedangkan Pileg ada Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Sehingga setiap suara sangat berarti bagi para partai politik.
(Baca juga: Masalah E-KTP karena Inisiatif Masyarakat dan Peran Pemerintah Kurang)
Lalu dalam Pasal 348 Undang-(UU) Nomor 7 Tahun 2017 menjelaskan, hanya pemilik KTP elektronik yang bisa menggunakan hak pilihnya 17 April 2019. KTP elektronik menjadi satu-satunya syarat bisa menggunakan hak pilih.
"Faktor terakhir yang menyebabkan isu KTP elektronik kepunyaan WNA menjadi polemik ialah karena isu tersebut memang begitu mudah dimainkan oleh mereka yang punya kepentingan," tuturnya.
Faktor pertama kata Titi, yakni pemahaman awam publik secara sederhana berpikir, bahwa KTP elektronik adalah bentuk identitas khusus bagi warga negara Indonesia.
Menurutnya, masyarakat masih menganggap seseorang yang memegang identitas tersebut, pasti berkewarganegaraan Indonesia. Faktor kedua, ada disparitas alias kesenjangan informasi antara apa yang dipahami dan menjadi persepsi publik dengan ketentuan peraturan yang ada.
"Ini karena isu itu tidak jadi perhatian. Banyak kita yang baru tahu bahwa WNA itu punya KTP elektronik," ujar Titi dalam diskusi akhir pekan Polemik oleh MNC Trijaya dengan tema 'E-KTP, WNA dan Kita', di D'consulate resto, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3/2019).
(Baca juga: Dukcapil Ungkap Fakta Masih Banyak WNA di Indonesia Belum Terdata)
Faktor ketiga lanjut Titi, kompetisi Pemilu 2019 begitu kompetitif karena Pilpres hanya menghadirkan dua calon, sedangkan Pileg ada Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Sehingga setiap suara sangat berarti bagi para partai politik.
(Baca juga: Masalah E-KTP karena Inisiatif Masyarakat dan Peran Pemerintah Kurang)
Lalu dalam Pasal 348 Undang-(UU) Nomor 7 Tahun 2017 menjelaskan, hanya pemilik KTP elektronik yang bisa menggunakan hak pilihnya 17 April 2019. KTP elektronik menjadi satu-satunya syarat bisa menggunakan hak pilih.
"Faktor terakhir yang menyebabkan isu KTP elektronik kepunyaan WNA menjadi polemik ialah karena isu tersebut memang begitu mudah dimainkan oleh mereka yang punya kepentingan," tuturnya.
(maf)