Apa Kabar Dakwah Berbasis Komunitas
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel danWakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim
PADA 15-17 Februari 2019, Muhammadiyah akan menyelenggarakan Sidang Tanwir di Bengkulu. Tanwir merupakan bentuk permusyawaratan tertinggi setelah muktamar. Berbagai soal mutakhir berkaitan dengan dinamika organisasi, keumatan, dan kebangsaan akan diputuskan di tanwir. Tema yang diusung tanwir kali ini adalah "Beragama yang Mencerahkan". Tema ini terasa sejalan dengan makna kata "tanwir" yang berarti pencerahan.
Muhammadiyah tampak sekali ingin menghadirkan pemahaman keagamaan yang mencerahkan umat. Komitmen ini penting karena pada tahun-tahun politik ajaran agama yang sakral sering kali dibajak untuk kepentingan politik kekuasaan. Jika agama dipahami menurut kepentingan elite politik, pasti akan menghadirkan kerancuan. Pasti terjadi silang pendapat pemahaman terhadap ayat atau hadis. Hal itu terjadi karena pemahaman terhadap ajaran agama bercampur dengan meningkatnya syahwat kekuasaan kelompok elite.
Tema "Beragama yang Mencerahkan" juga relevan dengan komitmen Muhammadiyah untuk menghadirkan model dakwah yang menggembirakan. Dalam muktamar ke-47 di Makassar pada 3-7 Agustus 2015, Muhammadiyah mencanangkan pentingnya program dakwah berbasis komunitas. Strategi ini penting agar semua komunitas yang ada di tengah-tengah masyarakat merasakan dakwah pencerahan (da‘wah al-tanwiriyah) Muhammadiyah. Dakwah berbasis komunitas lahir karena dilandasi kesadaran kalangan insider Muhammadiyah.
Aktivis Muhammadiyah menyadari program dakwahnya belum menyentuh seluruh komunitas. Jika dilacak ke belakang, model dakwah komunitas itu berkaitan dengan konsep gerakan jamaah dan dakwah jamaah (GJDJ). Dakwah komunitas dan GJDJ sama-sama menekankan pentingnya pendekatan kultural. Pendekatan kultural merupakan jawaban terhadap kritik dakwah Muhammadiyah yang dirasa kurang berempati pada seni dan budaya. Kemasan (packaging) dakwah Muhammadiyah juga sangat normatif, kering, kurang adaptif, dan kehilangan selera humor.
Dakwah Muhammadiyah juga belum menyasar generasi milenial yang bergabung dalam komunitas virtual (virtual community ). Kelompok virtual merupakan komunitas yang banyak berinteraksi melalui dunia maya seperti blog, Facebook, Twitter, Telegram, dan WhatsApp. Jumlah komunitas virtual ini sangat besar. Menurut Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, pengguna internet di Tanah Air terus meningkat. Kini pengguna jasa internet tidak kurang dari 139 juta orang. Berarti lebih dari separuh jumlah penduduk negeri tercinta berinteraksi melalui media sosial (medsos).
Dakwah Muhammadiyah juga harus menyasar komunitas khusus seperti kelompok sosialita yang melibatkan wanita kelas atas. Demikian juga dengan komunitas pehobi seperti penggemar motor gede (moge), hijabers, bikers, otomotive clubs, bookers, pencinta alam, dan travelers. Semua komunitas ini seharusnya merasakan sentuhan dakwah pencerahan Muhammadiyah.
Komunitas marginal di perkotaan juga harus menjadi sasaran dakwah. Di antara komunitas marginal yang membutuhkan perhatian serius adalah pekerja seks komersial (PSK), pecandu narkoba, pemulung, penghuni panti jompo, dan anak jalanan.
Harus diakui, sejauh ini tema sentral dakwah Muhammadiyah masih seputar pemberantasan takhayul, bid ’ ah , dan churafat (TBC). Dakwah anti-TBC mungkin cocok untuk kader dan aktivis Muhammadiyah. Namun di kalangan komunitas lain, model dakwah anti-TBC justru bisa memicu resistensi. Dampaknya dakwah Muhammadiyah kurang diterima masyarakat perdesaan, abangan, sinkretis, muslim nominalis, kelompok marginal, dan komunitas khusus. Dakwah Muhammadiyah pun kurang populis.
Pada konteks itulah aktivis Muhammadiyah berkomitmen untuk mengubah metode dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Pendekatan kebudayaan mengharuskan mubalig Muhammadiyah lebih berempati pada budaya lokal. Apalagi keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta pada 2010 mengamanatkan untuk menerapkan metode dakwah kultural. Dengan begitu mubalig Muhammadiyah harus mempelajari budaya lokal. Bukankah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, telah mengajarkan cara mengapresiasi budaya?
Kiai Dahlan dikenal sangat akomodatif pada budaya lokal. Sebagai contoh Kiai Dahlan mengadakan salat dua hari raya (‘Idayni) di lapangan, berkhotbah dengan bahasa lokal, dan membentuk badan amil zakat. Bahkan dalam film Sang Pencerah garapan Hanung Bramantyo, Kiai Dahlan digambarkan sebagai sosok yang mahir bermain biola. Kiai Dahlan telah menjadikan alunan musik biola yang merdu sebagai media dakwah pencerahan.
Teladan Kiai Dahlan mengharuskan mubalig Muhammadiyah memahami bahwa komunitas yang ada di tengah-tengah masyarakat sejatinya sedang berproses menjadi muslim sejati. Karena itu dakwah harus disajikan menurut kemampuan berpikir berbagai komunitas. Dakwah juga harus dikemas dengan mudah (taysir) dan menggembirakan (tabsyir). Tidak seharusnya dakwah keagamaan disertai dengan ujaran kebencian (hate speech) kepada komunitas lain.
Jika dakwah berbasis komunitas sukses, Muhammadiyah akan menjadi tenda kultural bagi berbagai komunitas. Termasuk komunitas atas, menengah, bawah, marginal, virtual, dan khusus. Komunitas abangan dan sinkretik juga akan semakin bersahabat dengan kemasan dakwah Muhammadiyah. Syaratnya mubalig Muhammadiyah tidak boleh menafikan, apalagi menghantam budaya lokal dengan vonis sesat. Justru yang harus dilakukan adalah menjadikan berbagai budaya sebagai media berdakwah.
Jika hal itu dilakukan, dakwah pencerahan Muhammadiyah akan dirindukan masyarakat. Akhirnya semoga model dakwah berbasis komunitas sukses mengajak berbagai kelompok keagamaan, ideologi, aliran keyakinan, dan kebatinan yang telanjur distigma sesat dan menyesatkan. Pertanyaannya, untuk memantapkan program dakwah pencerahan berbasis komunitas, apa yang sudah dipersiapkan? Pertanyaan ini penting direnungkan aktivis Muhammadiyah. Apalagi kini kehidupan sosial keagamaan sedang menghadapi tantangan revolusi industri 4.0 dan era disruptif.
Dosen UIN Sunan Ampel danWakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim
PADA 15-17 Februari 2019, Muhammadiyah akan menyelenggarakan Sidang Tanwir di Bengkulu. Tanwir merupakan bentuk permusyawaratan tertinggi setelah muktamar. Berbagai soal mutakhir berkaitan dengan dinamika organisasi, keumatan, dan kebangsaan akan diputuskan di tanwir. Tema yang diusung tanwir kali ini adalah "Beragama yang Mencerahkan". Tema ini terasa sejalan dengan makna kata "tanwir" yang berarti pencerahan.
Muhammadiyah tampak sekali ingin menghadirkan pemahaman keagamaan yang mencerahkan umat. Komitmen ini penting karena pada tahun-tahun politik ajaran agama yang sakral sering kali dibajak untuk kepentingan politik kekuasaan. Jika agama dipahami menurut kepentingan elite politik, pasti akan menghadirkan kerancuan. Pasti terjadi silang pendapat pemahaman terhadap ayat atau hadis. Hal itu terjadi karena pemahaman terhadap ajaran agama bercampur dengan meningkatnya syahwat kekuasaan kelompok elite.
Tema "Beragama yang Mencerahkan" juga relevan dengan komitmen Muhammadiyah untuk menghadirkan model dakwah yang menggembirakan. Dalam muktamar ke-47 di Makassar pada 3-7 Agustus 2015, Muhammadiyah mencanangkan pentingnya program dakwah berbasis komunitas. Strategi ini penting agar semua komunitas yang ada di tengah-tengah masyarakat merasakan dakwah pencerahan (da‘wah al-tanwiriyah) Muhammadiyah. Dakwah berbasis komunitas lahir karena dilandasi kesadaran kalangan insider Muhammadiyah.
Aktivis Muhammadiyah menyadari program dakwahnya belum menyentuh seluruh komunitas. Jika dilacak ke belakang, model dakwah komunitas itu berkaitan dengan konsep gerakan jamaah dan dakwah jamaah (GJDJ). Dakwah komunitas dan GJDJ sama-sama menekankan pentingnya pendekatan kultural. Pendekatan kultural merupakan jawaban terhadap kritik dakwah Muhammadiyah yang dirasa kurang berempati pada seni dan budaya. Kemasan (packaging) dakwah Muhammadiyah juga sangat normatif, kering, kurang adaptif, dan kehilangan selera humor.
Dakwah Muhammadiyah juga belum menyasar generasi milenial yang bergabung dalam komunitas virtual (virtual community ). Kelompok virtual merupakan komunitas yang banyak berinteraksi melalui dunia maya seperti blog, Facebook, Twitter, Telegram, dan WhatsApp. Jumlah komunitas virtual ini sangat besar. Menurut Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, pengguna internet di Tanah Air terus meningkat. Kini pengguna jasa internet tidak kurang dari 139 juta orang. Berarti lebih dari separuh jumlah penduduk negeri tercinta berinteraksi melalui media sosial (medsos).
Dakwah Muhammadiyah juga harus menyasar komunitas khusus seperti kelompok sosialita yang melibatkan wanita kelas atas. Demikian juga dengan komunitas pehobi seperti penggemar motor gede (moge), hijabers, bikers, otomotive clubs, bookers, pencinta alam, dan travelers. Semua komunitas ini seharusnya merasakan sentuhan dakwah pencerahan Muhammadiyah.
Komunitas marginal di perkotaan juga harus menjadi sasaran dakwah. Di antara komunitas marginal yang membutuhkan perhatian serius adalah pekerja seks komersial (PSK), pecandu narkoba, pemulung, penghuni panti jompo, dan anak jalanan.
Harus diakui, sejauh ini tema sentral dakwah Muhammadiyah masih seputar pemberantasan takhayul, bid ’ ah , dan churafat (TBC). Dakwah anti-TBC mungkin cocok untuk kader dan aktivis Muhammadiyah. Namun di kalangan komunitas lain, model dakwah anti-TBC justru bisa memicu resistensi. Dampaknya dakwah Muhammadiyah kurang diterima masyarakat perdesaan, abangan, sinkretis, muslim nominalis, kelompok marginal, dan komunitas khusus. Dakwah Muhammadiyah pun kurang populis.
Pada konteks itulah aktivis Muhammadiyah berkomitmen untuk mengubah metode dakwah dengan menggunakan pendekatan kebudayaan. Pendekatan kebudayaan mengharuskan mubalig Muhammadiyah lebih berempati pada budaya lokal. Apalagi keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta pada 2010 mengamanatkan untuk menerapkan metode dakwah kultural. Dengan begitu mubalig Muhammadiyah harus mempelajari budaya lokal. Bukankah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, telah mengajarkan cara mengapresiasi budaya?
Kiai Dahlan dikenal sangat akomodatif pada budaya lokal. Sebagai contoh Kiai Dahlan mengadakan salat dua hari raya (‘Idayni) di lapangan, berkhotbah dengan bahasa lokal, dan membentuk badan amil zakat. Bahkan dalam film Sang Pencerah garapan Hanung Bramantyo, Kiai Dahlan digambarkan sebagai sosok yang mahir bermain biola. Kiai Dahlan telah menjadikan alunan musik biola yang merdu sebagai media dakwah pencerahan.
Teladan Kiai Dahlan mengharuskan mubalig Muhammadiyah memahami bahwa komunitas yang ada di tengah-tengah masyarakat sejatinya sedang berproses menjadi muslim sejati. Karena itu dakwah harus disajikan menurut kemampuan berpikir berbagai komunitas. Dakwah juga harus dikemas dengan mudah (taysir) dan menggembirakan (tabsyir). Tidak seharusnya dakwah keagamaan disertai dengan ujaran kebencian (hate speech) kepada komunitas lain.
Jika dakwah berbasis komunitas sukses, Muhammadiyah akan menjadi tenda kultural bagi berbagai komunitas. Termasuk komunitas atas, menengah, bawah, marginal, virtual, dan khusus. Komunitas abangan dan sinkretik juga akan semakin bersahabat dengan kemasan dakwah Muhammadiyah. Syaratnya mubalig Muhammadiyah tidak boleh menafikan, apalagi menghantam budaya lokal dengan vonis sesat. Justru yang harus dilakukan adalah menjadikan berbagai budaya sebagai media berdakwah.
Jika hal itu dilakukan, dakwah pencerahan Muhammadiyah akan dirindukan masyarakat. Akhirnya semoga model dakwah berbasis komunitas sukses mengajak berbagai kelompok keagamaan, ideologi, aliran keyakinan, dan kebatinan yang telanjur distigma sesat dan menyesatkan. Pertanyaannya, untuk memantapkan program dakwah pencerahan berbasis komunitas, apa yang sudah dipersiapkan? Pertanyaan ini penting direnungkan aktivis Muhammadiyah. Apalagi kini kehidupan sosial keagamaan sedang menghadapi tantangan revolusi industri 4.0 dan era disruptif.
(kri)